Terjadi gelombang bunuh diri di Angkatan Bersenjata Israel
PERANG GAZA
4 menit membaca
Terjadi gelombang bunuh diri di Angkatan Bersenjata IsraelSembilan anggota Komite Luar Negeri dan Pertahanan Knesset mengirim surat yang mendesak pembahasan segera atas lonjakan tajam kasus bunuh diri di militer Israel (IDF).
Gelombang bunuh diri di tentara Israel / TRT Russian
18 Juli 2025

Mereka tak lagi memahami untuk apa mereka berperang.

Pemerintah Israel dinilai mengabaikan permintaan para anggota dewan yang mendesak agar data terbaru segera disampaikan. Pihak otoritas berjanji baru akan mempublikasikannya enam bulan lagi, yakni pada Januari 2026.

Menurut para anggota Komite Urusan Luar Negeri Knesset, situasi ini “menimbulkan kekhawatiran dan merusak kepercayaan publik” terhadap militer Israel. Para anggota parlemen menyebut mereka tidak bisa menunggu selama itu, karena prajurit Israel—baik laki-laki maupun perempuan—mengalami tekanan psikologis yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Penting untuk segera menjelaskan situasinya dan memastikan semua langkah telah diambil guna mencegah kehilangan nyawa yang tidak perlu di kalangan militer,” tulis mereka.

Dalam surat tersebut juga disebutkan bahwa kekhawatiran terhadap moral dan kesehatan mental tentara Israel meningkat sejak dimulainya perang di Gaza. Data yang dikutip menyebutkan terdapat 38 kasus bunuh diri yang tercatat antara 2023 hingga 2024, dan 21 kasus sepanjang 2025. Hanya dalam dua bulan terakhir, angka bunuh diri meningkat 70 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Dalam pernyataan mereka, para anggota Knesset menyebut kejadian-kejadian ini sebagai pelanggaran serius terhadap disiplin dan kohesi di dalam unit tempur IDF. Mereka memperingatkan bahwa “kurangnya transparansi dapat semakin merusak kepercayaan publik terhadap otoritas Israel.”

Kasus bunuh diri terbaru melibatkan seorang tentara Israel yang terlibat dalam serangan di Jalur Gaza. Ia ditemukan tewas bunuh diri pada 15 Juli lalu di sebuah pangkalan militer yang terletak di Dataran Tinggi Golan, wilayah Suriah yang diduduki oleh Israel.

Menurut media lokal, tentara tersebut berasal dari brigade infanteri Nahal. Ini adalah kasus bunuh diri ketiga yang terjadi hanya dalam satu minggu terakhir.

Pejuang Hamas merespons surat dari anggota Knesset tersebut melalui saluran Telegram mereka dengan menyebut bahwa tentara Israel melakukan bunuh diri karena tidak memahami apa yang mereka perjuangkan.

“Mereka sadar bahwa ini bukan tanah mereka, tapi tanah Palestina. Rezim memaksa mereka pergi berperang, melakukan genosida, dan karena takut dipenjara dan diancam, mereka patuh. Tapi banyak yang tak sanggup menahan beban itu—dan bunuh diri. Untuk berperang, seseorang butuh semangat juang. Saudara-saudara kami dari perlawanan Palestina memilikinya,” tulis Hamas.

Menurut pernyataan tersebut, meski militer Israel memiliki “gunung persenjataan, kendaraan lapis baja, dan teknologi mutakhir, mereka tidak memiliki semangat, keyakinan, atau keteguhan hati” karena “kebenaran berpihak pada mereka yang berjuang untuk tanah air, kehormatan, dan kebebasan.”

Trauma akibat kekejaman yang dilakukan dan disaksikan

Media Amerika Serikat dan Israel, dalam laporan mengenai kasus bunuh diri tentara Israel, menyoroti nasib Eliran Mizrahi, seorang ayah berusia 40 tahun dengan empat anak. Menurut keluarganya, ia kembali dari medan perang sebagai sosok yang berbeda, mulai menderita gangguan stres pasca-trauma (PTSD), dan akhirnya bunuh diri setelah tahu dirinya akan dikirim kembali ke garis depan.

Seorang dokter militer Israel, yang enggan disebutkan namanya, mengatakan bahwa “banyak tentara sangat takut kembali ke medan perang dan tidak lagi mempercayai pemerintah.”

Profesor politik di King's College London, Aaron Bergman—yang pernah bertugas di IDF selama enam tahun—menyatakan bahwa perang di Gaza yang dipicu oleh Israel ini berbeda dari perang-perang sebelumnya, terutama dari sisi jumlah korban sipil yang sangat besar. Hal tersebut, katanya, sangat mengguncang para tentara.

Informasi serupa juga dikonfirmasi oleh PBB. Sejumlah pakar menyebut banyak tentara muda Israel mengalami keruntuhan mental setelah menyaksikan kematian warga sipil Palestina secara tidak adil di Gaza.

Psikiater Israel, Sherry Denile, mengatakan bahwa setelah terlibat dalam pertempuran di Jalur Gaza, banyak tentara kembali ke rumah dengan rasa bersalah, mengalami trauma berat, dan memasuki tahap kehancuran diri.

Ribuan tentara Israel saat ini sedang mencari bantuan di klinik psikiatri dan psikolog militer. Para dokter memprediksi bahwa jumlah tentara yang mengalami gangguan mental akibat perang akan melampaui jumlah korban luka fisik.

Sejumlah pakar militer percaya bahwa skala krisis kesehatan mental di tubuh militer Israel baru akan terlihat sepenuhnya setelah perang di Gaza berakhir.

Masalah lama yang baru disadari

Alarm baru saja dibunyikan mengenai kondisi psikologis tentara Israel, meski tanda-tandanya sudah terlihat jauh sebelumnya.

Epidemi bunuh diri di militer Israel sebenarnya sudah mencuat sebelum ini. Pada akhir 2024, terungkap bahwa jumlah kasus bunuh diri di kalangan tentara mencapai titik tertinggi dalam 13 tahun terakhir.

Sejak Oktober 2023, saat Tel Aviv meluncurkan serangan ke Gaza, ribuan tentara Israel meninggalkan medan perang akibat gangguan mental. Sebagai perbandingan, sepanjang tahun 2024 tercatat 82.700 orang meninggalkan Israel, sementara hanya 23.800 yang kembali. Rata-rata, ada 2.200 orang lebih banyak yang meninggalkan negara itu setiap bulan dibanding tahun sebelumnya.

Tren lain yang muncul di kalangan elite Israel adalah eksodus besar-besaran kalangan profesional, seperti dokter dan tenaga ahli lainnya, yang mulai meninggalkan Israel karena merasa negara tersebut tidak lagi memiliki masa depan.

SUMBER:TRT Russian
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us