Kelompok produsen panel surya asal Amerika Serikat kembali mengajukan permohonan kepada Departemen Perdagangan AS agar memberlakukan tarif baru terhadap impor panel surya dari Laos, Indonesia, dan India. Mereka menuduh negara-negara tersebut melakukan praktik perdagangan tidak adil yang mengancam keberlangsungan industri domestik.
Aliansi Amerika Perdagangan Manufaktur Surya, yang mewakili beberapa produsen lokal berskala kecil, mengklaim bahwa produk impor dari ketiga negara tersebut dijual di bawah biaya produksi, dengan subsidi pemerintah yang besar dan strategi dumping yang agresif.
Aliansi tersebut mengajukan petisi tersebut pada 17 Juli ke Departemen Perdagangan serta Komisi Perdagangan Internasional, seperti dilaporkan oleh Reuters.
Pengaju petisi ini mencakup perusahaan seperti First Solar yang berbasis di Tempe, Arizona, Qcells – divisi surya dari perusahaan Korea Hanwha – serta perusahaan swasta Talon PV dan Mission Solar.
Jumlah impor panel surya dari Laos, Indonesia, dan India melonjak drastis, mencapai $1,6 miliar pada 2023, meningkat tajam dari $289 juta pada tahun sebelumnya.
Aliansi tersebut menduga sebagian besar pabrik di Laos dan Indonesia sesungguhnya dimiliki oleh perusahaan China yang memindahkan produksi ke negara-negara ini untuk menghindari tarif ketat yang sudah diterapkan pada produk surya asal China.
Sementara itu, produsen India juga dikritik karena mendapat dukungan ekspor melalui program pinjaman dari Export-Import Bank India dan subsidi pemerintah daerah, terutama di wilayah Gujarat dan Maharashtra.
Tarif tinggi panel surya
Menurut Asosiasi Industri Energi Surya AS (SEIA), kapasitas produksi panel surya nasional telah meningkat menjadi 50 gigawatt tahun ini, dibandingkan hanya 7 gigawatt pada 2020. Meski begitu, kapasitas tersebut masih belum mencukupi untuk memenuhi permintaan pasar domestik yang diperkirakan akan menginstal hampir 43 gigawatt proyek setiap tahunnya hingga 2030.
Sebagian besar panel surya yang dipasang di AS saat ini diproduksi di luar negeri. Namun, kapasitas produksi domestik mulai tumbuh signifikan sejak diberlakukannya Inflation Reduction Act pada 2022, yang memberikan insentif pajak untuk mengurangi ketergantungan pada produk asal China.
Kasus ini bukan yang pertama kali diangkat oleh aliansi tersebut. Pada bulan April lalu, mereka berhasil memicu pemberlakuan tarif tinggi, bahkan mencapai 3.400 persen, pada panel surya impor dari negara-negara Asia Tenggara seperti Kamboja, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Pemerintah AS menyimpulkan bahwa negara-negara tersebut juga memanfaatkan subsidi negara untuk menjual produk dengan harga yang dianggap tidak adil.
Upaya ini menandai langkah terbaru dalam perlindungan industri energi terbarukan domestik di tengah persaingan global yang semakin sengit.
