Seiring matahari terbit di atas cakrawala Gaza yang penuh luka, kota ini tetap berdiri kokoh, semangatnya tak pernah padam meski ada tekanan dari pihak asing yang tak henti-hentinya. Presiden AS Donald Trump, yang dikenal dengan pendekatan transaksionalnya terhadap urusan global, kembali mengarahkan perhatiannya ke Gaza, membingkai masa depan Gaza dengan bahasa kesepakatan real estate dan insentif ekonomi. Namun, bagi warga Gaza, apa yang disebut sebagai visi Trump yang itu bukanlah sebuah usulan – melainkan penghinaan.
“Kami bukanlah kesepakatan bisnis. Kami bukan sebuah peluang investasi,” kata Hussam Lolo, 33 tahun, suaranya tak gentar meski ia merasa sangat kehilangan. "Trump menganggap Gaza seperti tanah yang bisa diambil alih, tapi dia tidak memiliki tanah ini. Hanya tangan-tangan warga Gaza sendiri yang akan membangun kembali apa yang telah dihancurkan.”
Kekecewaan Lolo menggemakan kemarahan kolektif yang lebih dalam di antara warga Palestina di Gaza. Selama beberapa generasi, tanah mereka telah dibom, rumah-rumah mereka dihancurkan, dan kehidupan mereka terganggu. Namun, mereka tetap teguh dalam penolakan mereka untuk dapat dibeli, digusur, atau dihapuskan.
“Dunia harus mengerti,” lanjutnya, “kami tidak mencari tempat baru untuk disebut rumah. Kami sudah memilikinya. Gaza adalah rumah kami, dan sekalipun kami tidak akan pernah meninggalkannya.”
Janji-janji palsu
Proposal Trump, yang ditutupi dengan janji-janji rekonstruksi dan kemakmuran, menyarankan agar warga Gaza meninggalkan tanah mereka, penderitaan mereka secara sinis dikemas ulang sebagai alasan untuk mengungsi. Namun, masyarakat Gaza bisa melihat di balik kedok itu. Tawaran yang dibungkus dengan basa-basi diplomatik itu tidak menghormati martabat atau sejarah mereka - ini melanggengkan narasi penghapusan yang telah diperjuangkan oleh rakyat Gaza selama beberapa generasi.
“Kami tidak menginginkan uang bersyarat dari Amerika,” kata Lolo. “Ada jutaan orang di seluruh dunia Arab dan Islam yang mencintai Palestina, yang akan mendukung kami tanpa meminta kami untuk pergi. Kami tidak perlu tersingkir dari tanah kami untuk menerima bantuan. Ini adalah hak kami, bukan bantuan.”
Noor Zaqout, 43 tahun, juga menentang anggapan bahwa migrasi paksa dilakukan demi kehidupan yang lebih baik. Dia telah hidup melalui kekacauan perang, melihat kehancuran tanah airnya, namun jati dirinya tetap terukir di lanskap Gaza.
“Ada perbedaan antara memilih untuk pergi dan diusir secara paksa. Rencana Trump bukan tentang memperbaiki kehidupan kami, melainkan tentang menyingkirkan kami,” katanya.
“Ini bukan tentang menemukan masa depan yang lebih baik. Ini adalah tentang mengambil hak kami untuk tinggal di tempat kami berada. Ini bukan tentang menemukan kedamaian; namun semata-mata tentang memaksa kami untuk menyerah.”
Bagi Zaqout, masalah ini sangat pribadi. Keluarganya, yang dulunya merupakan penduduk Gaza yang bangga, telah melihat kehancuran secara langsung, dan ikatan mereka dengan tanah ini sangat dalam. Ini adalah ikatan yang tidak dapat diputuskan oleh asing yang menjanjikan harapan yang lebih baik.
“Kerabat saya yang pergi dari Gaza sebelum perang, saat ini berharap bahwa mereka dapat kembali, bahkan meski Gaza telah hancur,” katanya, matanya dipenuhi dengan campuran rasa sakit dan penolakan. “Ini adalah rumah kami, identitas kami. Bagaimana Anda mengharapkan kami meninggalkan kenangan kami, jalan-jalan kami, kehidupan kami?”
Narasi Trump menggambarkan Gaza sebagai tempat yang tidak layak huni, membenarkan pemindahan dengan dalih kepedulian kemanusiaan. Namun, framing ini bersifat sinis dan keliru.
“Apakah Trump memerintahkan evakuasi Los Angeles ketika kebakaran hutan melanda kota itu?” Zaqout bertanya. “Apakah dia menyarankan warganya untuk pergi selamanya? Tentu saja tidak. Ini bukan tentang kondisi kehidupan di sini. Ini tentang politik, tentang usaha untuk membuat kami tersingkir. Gaza bukannya tidak bisa ditinggali, justru Gaza adalah tempat di mana orang hidup, mencintai, berjuang, dan mati untuk apa yang mereka yakini. Ini adalah rumah kami, dan kami tidak akan meninggalkannya.”
"Apakah Trump memerintahkan evakuasi Los Angeles ketika kebakaran hutan melanda kota itu? Tentu saja tidak."
Generasi-generasi perlawanan
Ayat Al-Ghossain, 27 tahun, menelusuri akarnya kembali ke masa perjuangan Palestina selama puluhan tahun. Seperti ribuan orang lainnya, keluarganya telah hidup melalui perang, pengungsian, dan pengasingan, namun mereka tetap berkomitmen pada tanah mereka. Bagi Al-Ghossain, tinggal di Gaza bukan hanya sebuah pilihan pribadi, namun juga sebuah pernyataan politik, sebuah penolakan terhadap kekuatan asing yang mendikte nasib mereka.
“Kakek saya tinggal di sini selama 80 tahun, ayah saya selama 70 tahun. Saya akan tetap tinggal, dan saya akan mengajari anak-anak saya bagaimana untuk tetap tinggal,” tegasnya, suaranya penuh keyakinan. “Tanah ini bukan sekadar tanah. Ini adalah sejarah kami. Identitas kami. Masa depan kami. Kami tidak akan menyerahkannya.”
Al-Ghossain mengutuk kebisuan dunia atas penderitaan warga Palestina di pengasingan. “Tidak ada yang berbicara tentang perjuangan para pengungsi Palestina, bagaimana mereka hidup tanpa identitas, tanpa kewarganegaraan, tanpa hak-hak dasar. Namun, di sini, di Gaza, kami memiliki identitas. Kami tidak akan melepaskannya.”
Baginya, penundaan dalam upaya rekonstruksi memperlihatkan kemunafikan intervensi asing.
“Kekuatan yang sama yang mengubah Gaza menjadi puing-puing sekarang ingin memainkan peran sebagai penyelamat?” tanyanya, suaranya diwarnai dengan ketidakpercayaan. “Jika mereka benar-benar peduli, mereka akan mengizinkan pembangunan kembali segera dimulai.”
Harga untuk bertahan hidup
Sementara para diplomat berdebat, warga Palestina menghadapi kenyataan pahit. Rumah-rumah tetap menjadi reruntuhan. Keluarga-keluarga mencari orang-orang terkasih yang hilang yang terkubur di bawah reruntuhan. Makanan dan obat-obatan langka. Namun, masyarakat tetap bertahan. Mereka bertahan bukan karena mereka tidak punya pilihan lain, tetapi karena mereka memiliki cinta yang mendalam dan tak tergoyahkan untuk tanah dan rakyat mereka.
Samah Hassanein, 30 tahun, tertawa getir saat ditanya apakah rencana Trump adalah solusi atau kejahatan.
“Pernahkah Anda melihat kejahatan dengan lapisan cat baru?” tanyanya, suaranya penuh dengan sarkasme. “Seperti itulah. Ini bukan solusi, ini adalah penghinaan.”
Ia menolak untuk menerima argumen bahwa Gaza tidak layak untuk kehidupan manusia.
Mereka telah mencekik Gaza selama bertahun-tahun, membuat kami berada di bawah blokade, dan kemudian berbalik dan mengatakan bahwa kami tidak dapat bertahan hidup di sini. Tapi kami masih disini, masih bernafas. Kami akan bertahan karena Gaza bukan hanya sebuah tempat, tapi juga sebuah bangsa,” ujar Hassanein, dengan kebanggaan yang terpancar dari suaranya.
Bagi Hassanein, jika ia harus pergi, hanya ada satu tujuan, yaitu Safed, rumah leluhur keluarganya di Palestina sebelum tahun 1948, yang dirampas oleh milisi Zionis dan kini menjadi bagian dari Israel.
“Apakah mereka akan merasa nyaman dengan hal itu?” katanya, sebuah pertanyaan retoris yang terus mengendap di benaknya.
Gaza - keras dan pantang menyerah
Terlepas dari penderitaan yang tak terbayangkan, warga Gaza bukanlah korban yang tak berdaya. Mereka adalah penulis cerita mereka sendiri, menolak untuk membiarkan kekuatan asing mendikte nasib mereka.
“Jika Trump ingin membangun sesuatu, biarkan dia membangun kembali rumah-rumah yang dihancurkan oleh bom yang didanai AS,” kata Lolo. “Tapi dia harus tahu bahwa apa pun yang dibangun kembali adalah untuk kami, bukan untuk warisan politiknya.”
Zaqout dan Hassanein menekankan bahwa masyarakat Gaza tidak mencari bantuan atau intervensi asing, tetapi lebih pada hak dasar untuk hidup merdeka di tanah mereka sendiri dengan bermartabat. Mereka menolak solusi-solusi dangkal yang mengabaikan isu-isu utama seperti blokade, pengeboman yang terus berlanjut, dan tiadanya kebebasan. Tuntutan mereka jelas: diakhirinya penindasan, pengakuan atas keberadaan mereka, dan kemampuan untuk membangun kembali masa depan mereka tanpa kesepakatan dari luar yang mengorbankan mereka.
“Kami tidak meminta izin untuk hidup. Kami menuntut agar dunia berhenti berusaha menghapus kami. Kami bukanlah sebuah statistik. Kami adalah Gaza, dan kami akan bertahan,” kata Hassanein.
Sebuah kota yang menolak untuk dihapus
Gaza bukanlah bidak catur yang bisa digerakkan sesuka hati. Ia adalah kota dengan sejarah, dengan budaya, dengan orang-orang yang menolak untuk dihapus. Suara Gaza lantang, jelas, dan pantang menyerah. Kota ini bukan hanya tempat penderitaan; kota ini adalah simbol perlawanan, simbol bertahan hidup, simbol semangat yang tak terpatahkan dari rakyatnya.
“Trump harus datang ke Gaza, melihat mayat-mayat yang masih terperangkap di bawah reruntuhan, melihat anak-anak yang bermain di tengah kehancuran, melihat para ibu yang berpegangan pada apa yang tersisa,” kata Al-Ghossain. “Jika dia benar-benar ingin membantu, biarkan dia memperbaiki apa yang telah rusak selagi kami masih di sini, bukan setelah memaksa kami menghilang.”
Lolo, Zaqout, Al-Ghossain, dan Hassanein berbicara mewakili sebuah kota yang telah mengalami hal yang tak terpikirkan. Suara mereka tidak berteriak minta tolong, melainkan mengaum dengan penuh perlawanan.
“Kami tidak akan pergi,” kata mereka, berulang-ulang. “Tanah ini adalah milik kami.”
Dan selama masih ada nafas di paru-paru mereka, Gaza akan tetap ada - tak terputus, pantang menyerah, tak terlupakan.
SUMBER: TRT WORLD