Pekan lalu, Amerika Serikat mengesahkan sebuah rancangan undang-undang yang bertujuan untuk melindungi para pemimpin Israel dari penangkapan atas peran mereka dalam genosida yang berlangsung terhadap warga Palestina selama 15 bulan terakhir.
Rancangan undang-undang tersebut—yang mengusulkan sanksi terhadap Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) sebagai balasan atas surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan menteri pertahanan Yoav Gallant—diajukan di tengah pergeseran kekuasaan di Kongres AS, dengan Partai Republik mengambil alih kendali kedua majelis.
Ashish Prashar, seorang ahli strategi politik dan mantan penasihat Inggris perdamaian Timur Tengah, berpendapat bahwa langkah AS ini menunjukkan standar ganda yang mengkhawatirkan dalam upaya penegakan hukum internasional.
“Negara Barat kembali membuktikan hal ini minggu lalu, tanpa keraguan sedikit pun, bahwa hukum internasional tidak pernah dimaksudkan untuk membuat mereka bertanggung jawab,” kata Prashar kepada TRT World.
“Mereka menjelaskan sebelumnya bahwa hukum internasional hanya untuk mengejar diktator Afrika dan Rusia, meskipun Sekutu Barat juga telah melakukan pembantaian, kejahatan perang, dan genosida berkali-kali.”
Rancangan undang-undang yang disebut Illegitimate Court Counteraction Act kini menuju Senat AS untuk persetujuan. RUU ini mengusulkan sanksi terhadap siapa pun yang membantu upaya ICC untuk mengadili warga Amerika atau Israel.
Sanksi tersebut mencakup pembekuan aset properti dan penolakan visa kepada warga asing yang secara material atau finansial mendukung upaya ICC.
Usulan sanksi ini muncul meskipun ada konsensus yang berkembang di antara badan internasional dan para ahli mengenai sifat kejahatan perang Israel di Gaza, yang digambarkan oleh ICJ sebagai genosida dalam putusan sementara mereka.
Prashar mencatat bahwa AS tidak akan ragu untuk menyebut tindakan semacam itu sebagai genosida jika itu menguntungkan kepentingannya. Dia menarik paralel dengan Sudan, di mana Pasukan Paramiliter Rapid Action Forces (RSF) dituduh melakukan genosida oleh pemerintahan Biden.
“(Namun) AS tidak akan pernah menyebut ini (pembantaian di Gaza) sebagai genosida,” kata Prashar.
Dengan menargetkan kepemimpinan tertinggi Israel pada November lalu melalui surat perintah penangkapan yang bersejarah ini, ICC telah membuka jalan bagi mekanisme akuntabilitas yang lebih luas dari sebelumnya.
Pejabat militer, entitas korporat, dan aktor lain yang terlibat dalam kejahatan sistematis Israel kini dihadapkan kepada pengawasan hukum.
Negara-negara yang terikat oleh Statuta Roma atau ICC Act dapat menerapkan universal jurisdiction untuk mengadili individu, termasuk pemimpin politik dan personel militer, atas keterlibatan mereka dalam genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Yurisdiksi ini berlaku tanpa memandang lokasi kejahatan atau kewarganegaraan terdakwa maupun korban.
Contoh pertama penerapan ini terjadi pekan lalu.
Dalam langkah bersejarah, pengadilan Brasil memerintahkan polisi untuk menyelidiki seorang tentara Israel yang dituduh melakukan kejahatan perang di Gaza. Perintah pengadilan untuk tindakan investigasi mendesak ini mewakili contoh penting penerapan ketentuan Statuta Roma di tingkat domestik.
“Saya menyarankan untuk pengacara internasional adalah mengambil model yang baru-baru ini diterapkan di Brasil dan menuntut orang-orang berdasarkan hukum internasional atas kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, di pengadilan domestik mereka,” tambah Prashar.
Akankah sanksi mengubah sikap Barat?
Setelah usulan sanksi AS terhadap ICC, banyak negara Barat, termasuk Inggris, Prancis, Jerman, dan Polandia, kemungkinan akan mengalami nasib yang sama dengan Washington.
“Saya berpendapat bahwa kita akan mendapatkan segelintir orang yang sama, pemerintahan yang sama yang secara konsisten menyangkal genosida Gaza ini, yang mempersenjatai genosida ini, yang tidak akan mengikuti ini,” kata Prashar.
“Sekarang, terserah sekutu Eropa untuk memiliki keberanian dan benar-benar melawan AS dan mengatakan, TIDAK, kami percaya pada penegakan hukum internasional.”
Washington secara historis telah menjadi tantangan besar bagi ICC, mereka secara aktif menentang Pengadilan ketika menyelidiki kejahatan perang yang melibatkan personel AS atau negara sekutunya, seperti Israel.
Taktik tekanan ini termasuk memberlakukan sanksi terhadap pejabat ICC dan melobi negara anggota untuk menarik dukungan dari penyelidikan yang dianggap tidak menguntungkan bagi kepentingan AS.
Terdapat pengungkapan yang merinci bahwa bertahun-tahun telah terjadi pengawasan dan spionase oleh intelijen Israel yang menargetkan pejabat Pengadilan.
AS sebelumnya memberikan sanksi kepada mantan jaksa ICC Fatou Bensouda dan staf ICC lainnya di bawah pemerintahan Trump atas penyelidikan Pengadilan terhadap kejahatan perang oleh Washington di Afghanistan dan sekutunya Israel di wilayah Palestina.
Yang menarik, Bensouda menerima ancaman langsung dari kepemimpinan Mossad, memperingatkannya agar tidak melanjutkan kasus yang dapat membahayakan keselamatan dirinya atau keluarganya.
Meskipun pemerintahan Biden kemudian mencabut sanksi ini, langkah saat ini untuk memperkenalkannya kembali menargetkan pengadilan ICC menimbulkan pertanyaan hukum dan etika yang signifikan.
Oposisi politik yang terbuka juga semakin intensif.
Pada April 2024, sekelompok senator dari partai Republik AS mengeluarkan peringatan kepada jaksa saat ini Karim Khan, mengancam sanksi terhadapnya, pejabat ICC, dan bahkan keluarga mereka jika surat perintah tersebut dilanjutkan.
“ICC dan para hakim tahu bahwa mereka akan dikenai sanksi, mereka akan dihukum, mereka akan diserang karena mengeluarkan surat perintah penangkapan ini,” kata Prashar.
“AS tidak menginginkan akuntabilitas apa pun untuk Israel atau AS sendiri, sebenarnya, mengenai kejahatan perang di gaza ini, akuntabilitas Israel adalah berarti akuntabilitas AS, karena AS memberikan dukungan penuh, baik politik maupun militer, untuk Israel melancarkan genosida ini.”
Namun, sanksi AS tidak mungkin menggagalkan penyelidikan ICC, langkah ini mungkin menciptakan hambatan operasional dalam penyelidikan, seperti pembekuan aset yang berbasis di AS atau membuat lembaga keuangan yang akan enggan menangani transaksi ICC.
Amerika Serikat, sebelumnya melancarkan kampanye anti-ICC yang menargetkan para jaksa dan stafnya, kampanye tersebut menghadapi kecaman global yang luas. Tidak ada negara-negara demokrasi Barat atau sekutu AS lainnya, kecuali Israel, yang mendukung kampanye tersebut.
Kali ini, kebijakan reaksi balik bisa menjadi lebih kuat, terutama di Eropa, di mana campur tangan AS dapat mengalihkan fokus dari kritik yang sah terhadap ICC ke upaya Washington menghalangi penegakan keadilan dan hukum.
SUMBER: TRT WORLD