Keputusan pemerintah India untuk melarang dua organisasi moderat Hurriyat – Awami Action Committee (AAC) yang dipimpin oleh Mirwaiz Umar Farooq, dan Jammu and Kashmir Ittihadul Muslimeen (JKIM) yang dipimpin oleh pemimpin Syiah, Masroor Abbas Ansari – di bawah undang-undang anti-teror yang ketat, mengejutkan banyak pihak. Namun, dalam banyak hal, langkah ini terasa sesuai. Meski tak terduga, keputusan ini tampaknya melengkapi strategi besar New Delhi dalam menangani isu Kashmir.
Jika ini hanya sekadar tindakan keras baru terhadap organisasi-organisasi Kashmir, pertanyaan yang muncul adalah, mengapa sekarang?
Politik pro-kemerdekaan di Jammu dan Kashmir telah lama dibungkam sejak India mencabut otonomi wilayah tersebut pada tahun 2019, membagi negara bagian itu menjadi dua Wilayah Persatuan, dan memberlakukan pemerintahan langsung dari New Delhi.
Segera setelah pembubaran wilayah tersebut, pemerintah melarang Jamaat-e-Islami, JKLF, Muslim League, Democratic Freedom Party, dan Dukhtaran-e-Millat, serta menangkap para aktivis dan pemimpin kunci. Baru-baru ini, pihak berwenang juga menindak literatur Jamaat dan melarang lebih dari 600 buku.
Sejak 2019, aktivitas politik AAC dan JKIM telah sangat dibatasi. Misalnya, Mirwaiz sebagian besar menghabiskan lima tahun terakhir dalam tahanan rumah, bahkan tidak diizinkan memberikan khutbah Jumat di Masjid Jamia Srinagar. Dalam beberapa bulan terakhir, ia hanya membuat seruan kecil untuk menghidupkan kembali dialog politik. Sementara itu, JKIM hampir tidak terdengar, terutama setelah pendiri mereka, Maulana Abbas Ansari, meninggal pada tahun 2022. Tidak ada bukti publik yang mengaitkan kelompok ini dengan wacana separatis baru-baru ini.
Larangan yang Tidak Beralasan?
Baik JKIM maupun AAC memiliki kesamaan. Sebagai faksi moderat dalam Hurriyat, mereka telah terlibat dalam aktivisme politik dan sosial-keagamaan selama lebih dari enam dekade.
Sejak 2019, pemerintah mengklaim adanya penurunan signifikan dalam militansi, dengan perkiraan terbaru menyebutkan jumlah militan aktif sebanyak 76 orang—59 di antaranya disebut sebagai warga asing. Jika klaim ini akurat, dan aktivitas politik para pemimpin Kashmir sudah efektif dinetralkan, apa alasan keamanan mendesak yang memerlukan larangan ini?
Perintah 11 Maret yang menyatakan AAC sebagai organisasi terlarang sebagian besar mengacu pada kasus-kasus lama—yang berasal dari tahun 2008-2011. Perintah ini memberikan sedikit bukti pelanggaran baru-baru ini. Sebaliknya, justifikasi yang diberikan lebih mengandalkan tuduhan samar tentang aktivitas anti-nasional, daripada pola pelanggaran yang nyata atau sedang berlangsung.
Langkah ini tampaknya bersifat spekulatif—berdasarkan asumsi tentang apa yang mungkin dilakukan AAC, daripada pelanggaran yang terbukti dalam lanskap politik saat ini. Larangan ini juga mengabaikan aspek penting dari sejarah Mirwaiz—dia bukan hanya seorang pemimpin Kashmir, tetapi juga korban militansi. Ayahnya, Mirwaiz Moulvi Farooq, dibunuh oleh penyerang tak dikenal pada 21 Mei 1990. Sehari kemudian, pasukan keamanan menembaki prosesi pemakamannya, menewaskan banyak pelayat. Mirwaiz muda mewarisi warisan spiritual dan politik ayahnya, dan akhirnya menjadi salah satu pendiri Konferensi Hurriyat – sebuah aliansi organisasi politik pro-kemerdekaan.
Sinyal yang Bertentangan
Perkembangan terbaru yang mengarah pada larangan ini menambah lapisan kebingungan. Pada tahun 2017, perlindungan keamanan kategori Z untuk Mirwaiz—pengawalan keamanan tingkat tinggi yang disediakan pemerintah—dicabut setelah seorang perwira polisi dikeroyok di Masjid Jamia. Namun, perlindungan ini baru-baru ini dikembalikan, yang mendorong mantan Ketua Menteri Omar Abdullah menyarankan bahwa situasi keamanan di Lembah Kashmir membaik. Pernyataannya, bagaimanapun, memicu reaksi publik.
Lebih lanjut, pada Januari, Mirwaiz Umar Farooq memimpin delegasi ke New Delhi dan menyampaikan memorandum enam poin kepada Komite Parlemen Gabungan tentang RUU Waqf. Memorandum tersebut menyatakan kekhawatiran atas kemungkinan pengambilalihan properti Waqf oleh pemerintah dan pengurangan representasi Muslim dalam amandemen yang diusulkan.
Pada saat yang sama, laporan media tertentu di India, yang mengutip sumber anonim, mengklaim bahwa pemerintah India sedang mempertimbangkan untuk kembali berdialog dengan Hurriyat guna memperluas basis perdamaian.
Namun, pengamat Kashmir yang berpengalaman memandang laporan ini dengan skeptis, mengingat pemerintahan Narendra Modi telah mengambil pendekatan keras di wilayah tersebut sejak 2019—membungkam perbedaan pendapat melalui penindasan media, pembatasan masyarakat sipil, penangkapan, dan taktik intimidasi.
Dalam konteks ini, waktu pelarangan ini menimbulkan pertanyaan. Apakah ini langkah pencegahan untuk menutup kemungkinan dialog politik yang diperbarui? Atau bagian dari strategi yang lebih luas untuk mengkonsolidasikan kekuasaan di Kashmir dengan menghilangkan bahkan suara non-negara yang paling moderat sekalipun?
Omar Abdullah
Larangan ini telah menuai kritik tajam dari beberapa tokoh politik, termasuk Omar Abdullah. Sementara laporan sebelumnya tentang kemungkinan kebangkitan dialog dengan Hurriyat tidak mendapatkan banyak perhatian, rangkaian peristiwa baru-baru ini telah memicu spekulasi baru.
Berbagai teori kini beredar: Salah satunya menyebut bahwa Omar Abdullah diam-diam melobi untuk larangan ini guna menghalangi upaya mendekati Hurriyat yang dapat mengancam ruang politiknya sendiri. Teori lain menyebut adanya perselisihan birokrasi—mengindikasikan bahwa sementara kantor Penasihat Keamanan Nasional mengembalikan keamanan kategori Z untuk Mirwaiz, Kementerian Dalam Negeri melanjutkan larangan tersebut.
Penjelasan yang paling masuk akal juga merupakan yang paling sederhana: larangan tersebut sejalan dengan agenda pemerintah pusat yang lebih luas untuk melemahkan lembaga-lembaga, membungkam perbedaan pendapat, dan mengonsolidasikan kontrol.
Penjelasan yang paling masuk akal juga yang paling sederhana: larangan ini sejalan dengan agenda pemerintah pusat untuk melemahkan institusi, membungkam perbedaan pendapat, dan mengkonsolidasikan kontrol.
Sementara dua teori pertama tetap spekulatif, teori ketiga cocok dengan pola kebijakan pemerintah Modi pasca-2019.
Membunuh dua burung dengan satu batu?
Jika larangan ini hanyalah langkah terbaru dalam strategi pemerintah untuk mengosongkan lanskap politik Kashmir, kemungkinan ini bukan yang terakhir. Pelemahan institusi—baik itu pro-kemerdekaan, pro-India, atau keagamaan—telah menjadi tren konsisten sejak 2019. Meskipun AAC dan JKIM sudah secara politik melemah, mereka masih memiliki pengaruh keagamaan dan sosial. Potensi untuk menghidupkan kembali atau memperluas pengaruh itu menjadi tantangan bagi ambisi pemerintah pusat: untuk sepenuhnya melucuti kekuasaan Kashmir—secara politik, sosial, dan ekonomi.
Namun, apakah larangan ini hanya untuk tujuan itu? Atau apakah ini manuver yang lebih terencana — yang bertujuan untuk melemahkan Hurriyat sekaligus mendiskreditkan kepemimpinan Kashmir yang pro-India? Jika yang terakhir, Omar Abdullah mungkin tanpa disadari telah bermain di tangan pemerintah Modi, dengan komentarnya yang tidak bijaksana tentang keamanan Z dan strategi menyerah diam-diam yang hanya semakin mengikis posisinya.
Apa pun itu, lanskap politik Kashmir terus dibentuk ulang — bukan oleh para pemimpinnya sendiri, tetapi oleh kekuatan yang bertekad untuk mengendalikannya dari jauh.