Salah satu alasan utama Kesultanan Ottoman mampu bertahan lebih dari 600 tahun adalah fokusnya yang kuat mereka dalam menjadikan Islam sebagai bagian integral dari pemerintahan. Ketika kesultanan yang dipimpin oleh Turkiye ini berkembang pesat setelah mewarisi Kekhalifahan Muslim dari Dinasti Abbasiyah pada tahun 1517, mereka tetap menekankan pentingnya konsensus ilmiah dalam isu-isu sosial dan keagamaan.
Oleh karena itu, pada tahun 1759, konsep "Kuliah Huzur-i Humayun" mulai berbentuk resmi. Diselenggarakan di hadapan Sultan Ottoman selama bulan Ramadan, kuliah-kuliah ini dirancang secara partisipatif di mana para ulama Muslim memberikan interpretasi terhadap berbagai ayat Al-Qur'an dan menjawab pertanyaan dari para mahasiswa dan hadirin lainnya.
Kuliah tahunan Huzur ini umumnya diadakan di dalam Istana Topkapi di Istanbul, pusat tertinggi Kesultanan Ottoman. Tradisi ini berlangsung selama 165 tahun hingga penghapusan Kekhalifahan pada tahun 1924 yang mengakhiri sejarahnya.
Gagasan untuk mendorong diskusi tentang isu-isu agama yang sensitif sudah ada sejak masa awal berdirinya negara Ottoman. Para sultan mengadakan pertemuan dengan para cendikiawan dan pemimpin agama untuk menghidupkan kembali kehidupan ilmiah dan keagamaan serta memastikan negara dan Dinasti Ottoman tetap berpegang pada nilai-nilai Islam.
Atas alasan yang sama, para Sultan Ottoman memberikan perhatian besar untuk mengundang ulama-ulama terkenal pada masanya ke istana mereka bersama para pelajar. Beberapa dari mereka bahkan diangkat sebagai guru pribadi.
Fatih Sultan Mehmed (Mehmed II), yang memimpin kesultanan dengan kemenangan militer yang menentukan antara tahun 1451 dan 1481, membawa tradisi membangun konsensus ini ke tingkat yang lebih tinggi. Ia memastikan kehadirannya dalam diskusi-diskusi tersebut dan memberikan perhatian besar untuk mendorong pemikiran agama dan ilmiah dalam masyarakat Ottoman.
Bagaimana jalannya kuliah Huzur ini?
Setidaknya enam ulama berpartisipasi dalam pelajaran pertama yang diadakan antara waktu salat Zuhur dan Ashar.
Pelajaran ini disebut "Kuliah Huzur-i Humayun" karena diadakan di hadapan sultan, yang mendengarkan apa yang disampaikan.
Sangat sedikit program keagamaan dan budaya dalam sejarah yang berlangsung secara teratur dan selama waktu yang begitu lama.
Para ulama yang menyampaikan pelajaran dalam kuliah Huzur disebut "mukarrir" (orang yang menjelaskan suatu subjek), sedangkan ulama yang mengajukan pertanyaan dan mendebat isi kuliah disebut "muhatap" (interlokutor). Untuk setiap satu mukarrir, terdapat lima muhatap. Jumlah pengajar, hari, jam, dan durasi kuliah dapat berubah dari waktu ke waktu.
Seluruh acara ini dikelola oleh Sheyhulislamlik (kantor Sheikh al Islam), yang memiliki wewenang tertinggi untuk mengeluarkan fatwa. Surah dan ayat yang akan diinterpretasikan dalam acara tahunan ini diumumkan oleh Sheyhulislamlik lima belas hari sebelum Ramadan. Mereka kemudian mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan mereka.
Kuliah ini diadakan dengan kebebasan ilmiah sepenuhnya. Sebuah ayat dibacakan dan diinterpretasikan oleh mukarrir, yang kemudian menjawab pertanyaan yang diajukan oleh para muhatap. Sultan mendengarkan semua hal, mulai dari kuliah hingga diskusi. Sebagian besar ulama menyusun presentasi mereka berdasarkan karya Qadi Beydawi, seorang ahli hukum, teolog, dan komentator Al-Qur'an asal Persia dari abad ke-13.
Yang membuat kegiatan ini begitu penting adalah bahwa para ulama menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur'an dengan memperhatikan hadits (perkataan Nabi Muhammad), fiqh (pemahaman mendalam), serta relevansi historis dan geografis. Ini adalah aktivitas yang jujur dan intelektual yang meningkatkan pemikiran rasional dan spiritual dalam Dinasti Ottoman.
Biasanya, para ulama yang berpartisipasi dalam kuliah Huzur diberi hadiah oleh sultan.
Tempat pertemuan ditentukan oleh sultan. Di sini, mukarrir duduk di sebelah kanan sultan, dan para muhatap duduk di samping mukarrir dalam formasi setengah lingkaran.
Nama-nama pria dan wanita yang akan mendengarkan kuliah di hadapan sultan disetujui oleh sultan.
Selama masa pemerintahan Abdulhamid II, kuliah diadakan di Istana Yildiz dua hari dalam seminggu selama bulan Ramadan. Beberapa deputi dan politisi juga diundang.
Pada masa pemerintahan Sultan Vahdeddin dan Khalifah Abdulmecid Efendi, pelajaran dilanjutkan di Istana Dolmabahce. Kuliah terakhir diadakan pada Mei 1923.
Di Perpustakaan Universitas Istanbul, terdapat lebih dari dua puluh "Buku Catatan Kuliah Huzur" yang ditulis tangan dan dihias dengan indah, kemungkinan berasal dari Perpustakaan Istana Yildiz.
Saat ini, di hadapan Sultan Maroko, pelajaran serupa dengan kuliah Huzur Ottoman, baik dari segi metode maupun isi, diadakan selama Ramadan. Pelajaran ini diterbitkan dalam bahasa Arab dan Inggris dengan nama Aldurus Alhasania. Para ulama agama dari seluruh negara Islam, termasuk Turkiye, diundang untuk menghadiri acara ini.