Presiden AS Donald Trump memberikan isyarat kemungkinan adanya perubahan rezim di Iran setelah jet-jet tempur Amerika menjatuhkan bom penghancur bunker di situs nuklir utama Teheran akhir pekan lalu.
Pernyataan Trump ini sangat berbeda dengan pernyataan Wakil Presiden JD Vance dan Menteri Pertahanan Pete Hegseth, yang mengklaim bahwa AS tidak berniat menggulingkan pemerintahan Iran.
“Tidak sesuai secara politik untuk menggunakan istilah ‘Perubahan Rezim,’ tetapi jika Rezim Iran saat ini tidak mampu membuat Iran hebat kembali, mengapa tidak ada perubahan rezim??? MIGA!!!” tulis Trump di platform media sosialnya, menggunakan huruf kapital di sebagian tulisannya dan menarik paralel dengan gerakan MAGA-nya.
Trump sebelumnya berjanji dalam kampanyenya untuk tidak menyeret AS ke dalam perang asing. Namun, perubahan sikap ini membuat kubu isolasionis dalam Partai Republik kecewa, karena mereka ingin militer AS tetap di luar perang yang dilakukan demi negara lain di tempat yang jauh.
Di masa lalu, AS telah melakukan perubahan rezim di banyak negara yang sebagian besar menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan seperti ketidakstabilan politik, kekerasan etnis, dan konflik sektarian.
Berikut adalah daftar singkat perubahan rezim yang didukung AS sejak Perang Dunia II yang menyebabkan perang saudara jangka panjang atau memperkuat kelompok-kelompok yang berseberangan dengan kepentingan AS.
Iran – 1953
Dengan dukungan Inggris, AS memainkan peran besar dalam menggulingkan pemerintahan yang terpilih secara demokratis di bawah Perdana Menteri Mohammad Mossadegh pada tahun 1953.
AS menempatkan monarki pro-Barat di bawah Shah Mohammad Reza Pahlavi, terutama untuk melindungi kepentingan minyak Barat dan melawan pengaruh Soviet di Iran.
Kudeta yang diatur CIA ini melibatkan suap, propaganda, dan kekerasan massa.
Meskipun AS berhasil menggantikan Mossadegh dengan Shah, kudeta ini memicu kebencian jangka panjang terhadap AS di kalangan rakyat Iran.
Shah memerintah Iran dengan tangan besi hingga tahun 1979, ketika revolusi yang dipimpin oleh pemimpin agama Ruhollah Khomeini menggulingkan monarki dan mendirikan pemerintahan yang sangat anti-AS.
Kudeta tahun 1953 ini sering disebut sebagai pemicu sentimen anti-Amerika di Timur Tengah.
Guatemala – 1954
Pada tahun 1954, AS mengatur penggulingan presiden terpilih secara demokratis Jacobo Arbenz, yang dianggap sebagai ancaman komunis karena reformasi tanahnya yang mengancam kepentingan bisnis AS.
CIA menggunakan perang psikologis, propaganda, dan pasukan tentara bayaran kecil yang dipimpin oleh perwira militer Carlos Castillo Armas untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Arbenz.
Meskipun kudeta berhasil pada saat itu dan Armas mengambil alih kekuasaan dengan dukungan AS, intervensi rahasia ini memicu lebih dari tiga dekade perang saudara (1960–1996), yang mengakibatkan sekitar 200.000 kematian dan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas.
Alih-alih membawa negara tersebut ke dalam lingkup pengaruh AS, ketidakstabilan politik justru memperkuat kelompok-kelompok kiri dan memicu sentimen anti-Amerika di Amerika Latin.
Kuba – 1961
AS berusaha menggulingkan pemerintahan komunis Fidel Castro pada tahun 1961 dengan rezim pro-AS, dengan mengorganisir “invasi” oleh para eksil Kuba yang dilatih CIA.
Invasi yang disebut-sebut itu gagal dalam hitungan hari setelah pasukan Kuba mengalahkan para pengungsi dengan telak. Kesuksesan ini memperkuat posisi Castro, yang mengonsolidasikan kekuasaannya dan mempererat hubungan dengan Uni Soviet.
Kegagalan kudeta ini memicu Krisis Rudal Kuba 1962, ketika dunia hampir terjerumus ke dalam perang nuklir skala penuh pada era Perang Dingin.
Vietnam Selatan – 1963
AS merencanakan dan melaksanakan penggulingan Presiden Ngo Dinh Diem pada tahun 1963, yang kebijakannya diduga merusak upaya Washington untuk melawan komunisme di negara tersebut.
CIA membantu enderal-jenderal Vietnam Selatan menggulingkan presiden, sementara Duta Besar AS Henry Cabot Lodge Jr. menyediakan dana.
Meskipun jenderal-jenderal tersebut menggulingkan dan membunuh presiden mereka, kudeta tersebut menciptakan kekosongan politik, melemahkan pemerintah Vietnam Selatan sambil memperkuat pemberontakan Viet Cong.
Ketidakstabilan tersebut membuka jalan bagi eskalasi keterlibatan militer AS, yang mengakibatkan lebih dari 58.000 kematian warga AS beserta jutaan korban Vietnam.
Seperti kudeta di Iran dan Guatemala, perubahan rezim yang didukung AS telah mengganggu stabilitas Vietnam Selatan dan merusak kepentingan jangka panjang AS di kawasan tersebut.
Irak – 1963
AS secara aktif mendukung kudeta Partai Baath pada tahun 1963 terhadap Perdana Menteri saat itu, Abd al-Karim Qasim, yang pro-komunis dan menolak bergabung dengan Republik Arab Bersatu yang bersekutu dengan AS.
AS memainkan “peran integral” dalam kudeta 1963, yang disebut sebagai “salah satu operasi CIA paling rumit dalam sejarah Timur Tengah”.
Qasim tewas, dan Partai Baath mengambil alih kekuasaan untuk sementara waktu. Namun, pemerintahan Baath kedua di bawah Saddam Hussein (1979–2003) mengubah Irak menjadi musuh AS dan menyebabkan perang, penindasan, dan ketidakstabilan regional.
Afghanistan – 1979-1989
AS mempersenjatai mujahidin Afghanistan pada 1980-an untuk menggulingkan pemerintah komunis yang didukung Soviet dan melawan pengaruh Kremlin selama Perang Dingin.
CIA secara rahasia mengalirkan miliaran dolar dalam bentuk bantuan, senjata, dan pelatihan, yang mengakibatkan penarikan pasukan Soviet dari Afghanistan pada 1989.
Namun, keterlibatan AS menyebabkan perang saudara (1989-96) di Afghanistan, yang membantu Taliban merebut kekuasaan. Sementara itu, Al Qaeda mendapatkan pijakan di wilayah tersebut, yang menyebabkan invasi AS pada tahun 2001 dan runtuhnya tatanan sipil selama dua dekade berikutnya.
Irak – 2003
AS menyerang Irak pada tahun 2003 untuk menggulingkan rezim Saddam Hussein, dengan alasan senjata pemusnah massal (WMD). AS berencana menggantikan rezim Saddam dengan apa yang disebut sebagai “demokrasi pro-Barat”.
Meskipun Washington berhasil menggulingkan rezim tersebut dalam waktu singkat, mereka tidak menemukan senjata pemusnah massal. Invasi tersebut memicu pemberontakan, sementara kekerasan sektarian melanda negara dan kelompok bersenjata melancarkan serangan terhadap pasukan AS.
Sementara itu, kelompok teroris seperti Daesh mendirikan basis di wilayah-wilayah yang tak terkendali, mengacaukan stabilitas seluruh kawasan.
Lebih dari 4.400 tentara AS dan ratusan ribu warga sipil Irak tewas, dengan Irak tetap dalam keadaan tidak stabil selama bertahun-tahun.