Pada 19 Maret, Suhair Ahmed Sharaf yang baru berusia enam tahun berdiri di Kamp Al-Nuseirat di Gaza tengah, menyaksikan kakek-neneknya bersiap menyembelih domba untuk dibagikan kepada tetangga, ketika sebuah misil Israel menghantam lokasi tersebut.
Kakek dan neneknya tewas seketika. Tetangga menarik Suhair dan kakaknya dari reruntuhan dan segera membawanya ke ambulans. Di rumah sakit, dokter menemukan serpihan logam tertanam di tulang belakangnya.
Dua hari setelah operasi, Suhair terbangun dari bius dan diberi tahu bahwa ia tak akan bisa berjalan lagi.
“Tak ada kata-kata untuk menggambarkan rasa sakit yang ia alami,” ujar sang ibu kepada TRT World. “Ia bertanya setiap hari, ‘Mama, aku bisa jalan lagi, nggak?’ Hati saya hancur setiap kali.”
Kini, hidup Suhair dipenuhi perjuangan. Ia membutuhkan bantuan untuk makan, tidur, bahkan sekadar duduk.
Dalam 21 bulan terakhir, Israel telah menewaskan lebih dari 57.000 orang di Gaza, wilayah yang luasnya setara kota Las Vegas namun memiliki tiga kali lipat penduduknya.
UNICEF mencatat antara 3.000 hingga 4.000 anak telah kehilangan satu atau lebih anggota tubuh, menjadikan Gaza sebagai wilayah dengan jumlah anak amputasi terbanyak per kapita di dunia.
PBB menyebut sedikitnya 14.500 anak kehilangan nyawa akibat serangan membabi buta Israel di salah satu wilayah terpadat di dunia. Jumlah korban luka mencapai sekitar 110.000 orang, termasuk 25.000 anak-anak.
Ibu Suhair mengatakan anaknya masih bermimpi bisa bermain dan menggambar kembali, tapi ketersediaan alat prostetik sangat terbatas. Keluarga kini berkoordinasi dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk pengadaan kaki palsu, namun izin keluar Gaza untuk prosedur medis sangat sulit diperoleh.
‘Tangan aku bakal tumbuh lagi?’
Sarah Musab Al-Barsh, 12 tahun, mengalami nasib serupa pada 23 Oktober 2024 di Kamp Jabalia. Ia tengah bersepeda bersama ayahnya untuk membeli makan siang ketika misil Israel menghantam permukiman mereka.
“Aku kehilangan ayah dan tanganku dalam sekejap,” ujar Sarah kepada TRT World. Pamannya yang berada di dekat lokasi kejadian segera memberikan pertolongan pertama dan memanggil paramedis.
Di rumah sakit terjadi kekacauan total, koridor dipenuhi korban luka. “Sarah bertanya padaku, ‘Mama, tangan aku bakal tumbuh lagi?’” kata ibunya.
Kini hidup Sarah tak terbayangkan beratnya. Yang paling ia rindukan adalah menggambar — kegemarannya sebelum kehilangan kedua tangan. “Hidupku benar-benar berubah,” katanya.
Ibunya kini bekerja sama dengan WHO untuk mendapatkan tangan palsu, namun berbagai hambatan birokrasi dan izin perjalanan menghambat akses Sarah terhadap alat prostetik.
Kisah Yousef Mohammed Hussein, 16 tahun, yang kehilangan kakinya akibat serangan Israel, juga tak jauh berbeda. Pada 6 Juni 2024, ia tengah tidur bersama keluarganya ketika bom menghantam rumah mereka pukul 4 pagi di Kamp Al-Nuseirat.
“Aku terbangun tergantung di pohon di depan rumah,” kata Yousef kepada TRT World. “Lalu aku jatuh ke atas mobil. Aku tidak bisa merasakan tubuhku.” Tetangga bergegas menyelamatkan para korban dan membawanya ke ambulans.
Beberapa hari kemudian, ia sadar dan mengetahui bahwa kedua orang tuanya dan dua saudara kandungnya tewas, dan kakinya telah diamputasi.
“Yang pertama terpikir saat itu adalah: aku tak akan bisa main bola lagi,” ujarnya. “Setiap kali melihat lukaku, aku kembali mengingat momen ledakan itu.”
Meski begitu, Yousef tak kehilangan harapan. Ia menantikan alat bantu gerak agar bisa menjalani hidup yang lebih normal.
Secercah harapan
Sidra Al Bordeeni, 8 tahun, kehilangan lengan karena serpihan bom saat bermain bersama kakaknya di Sekolah Nuseirat, yang dijadikan tempat pengungsian darurat.
Ibunya, Sabreen Al Bordeeni, mengatakan kepada TRT World bahwa kehilangan tangan membuat Sidra tak bisa lagi naik sepeda atau menggambar — dua hal yang sangat ia sukai.
Namun hidup Sidra berubah ketika Bioniks, perusahaan prostetik asal Pakistan, turun tangan.
Didirikan oleh Anas Niaz, seorang insinyur mekatronika, Bioniks memproduksi prostetik dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) dengan biaya jauh lebih murah dibanding perusahaan konvensional.
“Delapan puluh persen orang di dunia tidak punya akses ke alat prostetik, apalagi yang fungsional,” ujar Niaz kepada TRT World.
Prostetik “fungsional” meniru fungsi dan bentuk tangan asli, berbeda dengan prostetik “kosmetik” yang hanya menggantikan bentuk tubuh.
Sementara prosedur prostetik konvensional menuntut biaya tinggi dan kunjungan ke klinik khusus — hal yang hampir mustahil bagi anak-anak Gaza — Bioniks mampu menghapus hambatan itu, kata Niaz.
Untuk Sidra, staf di Klinik Mafaz di Amman menggunakan aplikasi pemindaian 3D untuk mengukur sisa lengannya. Bioniks kemudian memproduksi tangan prostetik khusus di Pakistan dan mengirimkannya ke Yordania.
“Cuma butuh lima sampai sepuluh menit, dan dia langsung bisa pakai,” ujar Niaz, menggambarkan momen ketika Sidra menjabat tangan ibunya dan memegang botol sebagai “tak ternilai.”
Lengan buatan Bioniks seharga sekitar $2.500 — hanya sebagian kecil dari harga $10.000 hingga $20.000 untuk prostetik buatan Amerika Serikat.
“Kami adalah perusahaan sosial. Enam puluh persen penyandang disabilitas hidup di wilayah terbelakang. Fokus kami adalah mereka,” jelasnya.
Lengan Bioniks tahan keringat, kuat, dan dilengkapi sensor yang dikalibrasi lewat aplikasi seluler, mengurangi kebutuhan akan kunjungan klinik, tambahnya.
Berbeda dari produsen konvensional yang hanya membuat 30–40 unit per bulan, Bioniks mampu memproduksi 500. Pabrik mereka yang bertenaga surya dan berbasis kontainer bisa ditempatkan di mana saja — bahkan di zona konflik.
“Kami ingin membuka laboratorium di Gaza atau Yordania,” kata Niaz. “Anak-anak tak seharusnya meninggalkan keluarganya hanya demi pengobatan.”