DUNIA
2 menit membaca
Penyerangan rumah doa di Padang lukai anak-anak, pemerintah dikritik karena lamban bertindak
Aksi kekerasan terhadap tempat ibadah di Sumatera Barat kembali memicu sorotan atas lemahnya perlindungan negara terhadap kelompok minoritas.
Penyerangan rumah doa di Padang lukai anak-anak, pemerintah dikritik karena lamban bertindak
Gereja Indonesia / AP
30 Juli 2025

Sebuah rumah doa milik jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugerah Padang diserang oleh sekelompok warga pada Minggu (27/7) sore di kawasan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang. Saat kejadian, kegiatan pendidikan agama tengah berlangsung dengan sekitar 30 anak hadir di lokasi. Dua anak berusia 8 dan 11 tahun dilaporkan terluka akibat serangan benda keras.

Video yang beredar menunjukkan sejumlah pria melempari bangunan dengan batu dan kayu, merusak jendela serta fasilitas di dalamnya. Mereka juga mengintimidasi jemaat yang berada di dalam, termasuk perempuan dan anak-anak.

Menurut pernyataan dari Setara Institute, insiden ini menunjukkan semakin memburuknya toleransi beragama di Indonesia. “Tindakan kekerasan ini bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga konstitusi,” kata organisasi tersebut dalam pernyataan resminya.

Penanganan hukum berjalan, tapi retorika pejabat dikecam

Kepolisian Daerah Sumatera Barat menyatakan telah menangkap sembilan orang pelaku, dan penyelidikan masih terus berlangsung. Wakapolda Brigjen Pol. Solihin menegaskan bahwa pihaknya akan menindak tegas siapa pun yang melakukan kekerasan dan main hakim sendiri.

Namun, reaksi dari Wali Kota Padang, Fadly Amran, justru menuai kecaman. Ia menyebut insiden itu sebagai “kesalahpahaman” karena warga mengira rumah doa tersebut merupakan gereja ilegal. Pernyataan ini dianggap menyepelekan kekerasan berbasis intoleransi yang terus berulang.

Setara Institute menilai pernyataan tersebut justru mengaburkan inti persoalan. “Pemerintah daerah seharusnya tidak menyederhanakan masalah ini hanya sebagai miskomunikasi,” ujar lembaga itu, dikutip dari The Jakarta Post.

Pola kekerasan berulang, perlindungan tak kunjung hadir

Penyerangan rumah ibadah di Padang hanya berselang beberapa minggu setelah peristiwa serupa di Sukabumi, Jawa Barat, di mana kegiatan retret mahasiswa Kristen dibubarkan paksa oleh warga. Dalam kedua kasus tersebut, narasi yang sama kembali muncul: “kesalahpahaman” dan “masalah administratif.”

Regulasi seperti SKB dua menteri tahun 2006 dinilai menjadi hambatan utama dalam mendirikan rumah ibadah, terutama bagi minoritas agama. Prosedur perizinan yang rumit sering dimanfaatkan oleh kelompok intoleran untuk menggagalkan pembangunan atau operasional tempat ibadah.

Meski pemerintah pusat telah menyatakan keprihatinan dan menjanjikan penanganan kasus, langkah konkret yang diambil masih dianggap belum cukup. Banyak pihak menilai, selama tidak ada kebijakan yang tegas dan perlindungan nyata, kelompok minoritas tetap akan menjadi sasaran kekerasan serupa di masa mendatang.

SUMBER:TRT Indonesia
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us