Bot menulis — bot memeriksa. Ke mana arah pendidikan di era AI?
BISNIS DAN TEKNOLOGI
6 menit membaca
Bot menulis — bot memeriksa. Ke mana arah pendidikan di era AI?Kecerdasan buatan semakin dalam merasuk ke dalam sistem pendidikan: mahasiswa menulis teks dengan bantuan AI, dosen memeriksa mereka dengan menggunakan alat yang sama. Pendidikan semakin mirip dengan percakapan mesin.
Bot menulis - bot memeriksa, pendidikan di era AI. / TRT Russian
22 Juli 2025

Saat ini, sulit menemukan mahasiswa yang tidak menggunakan kecerdasan buatan (AI). Menurut penelitian terbaru dari Institut Kebijakan Pendidikan Tinggi Inggris, pada tahun 2025, 92% mahasiswa mengaku menggunakan jaringan neural—angka ini meningkat dari sekitar dua pertiga pada tahun sebelumnya.

Awalnya, universitas mencoba melawan tren ini. Beberapa institusi memblokir akses ke ChatGPT, sementara yang lain memberlakukan larangan ketat dan mengancam dengan tindakan disipliner. Namun, teknologi ini terbukti terlalu cepat, praktis, dan tak tergantikan untuk tugas-tugas rutin seperti menulis esai, laporan, surat, hingga dokumen lainnya yang kini dapat dihasilkan dalam hitungan detik.

Universitas mulai mengubah pendekatan mereka, dan retorika pun melunak. AI kini telah menjadi bagian dari kehidupan akademik, meskipun masih dalam "batas yang diperbolehkan"—batasan yang hingga kini masih belum jelas.

Para dosen menyadari bahwa mahasiswa sering menyalahgunakan teks yang dihasilkan AI: menyerahkan tugas tanpa memeriksa fakta, mengutip sumber yang tidak ada, atau menyampaikan opini tanpa referensi. Masalah "halusinasi AI"—di mana jaringan neural menciptakan data yang tampak meyakinkan tetapi salah—juga masih menjadi tantangan.

Di sisi lain, semakin sulit membedakan antara karya manusia dan mesin. Detektor AI hanya memberikan penilaian probabilitas, yang sering kali tidak cukup akurat.

Bot vs Bot

Ketika AI pertama kali masuk ke ruang kelas, para dosenlah yang pertama kali khawatir, mengeluhkan bahwa mahasiswa menyerahkan esai yang ditulis oleh ChatGPT. Namun, kini situasinya berubah drastis—justru para dosen yang mulai dicurigai menggunakan AI untuk mengajar.

AI kini digunakan tidak hanya untuk belajar, tetapi juga untuk mengajar. Memeriksa puluhan tugas? Cukup unggah kriteria penilaian, skala nilai, dan contoh tugas "ideal"—sisanya akan dilakukan oleh jaringan neural. Pembuatan materi kuliah, tes, hingga komentar pada tugas mahasiswa juga semakin sering dipercayakan kepada mesin.

Mahasiswa pun mulai menyadari hal ini. Di forum-forum, mereka mengeluhkan bahwa materi kuliah terasa seperti ditulis secara otomatis, komentar pada tugas mereka berulang-ulang seperti salinan dari template. Banyak yang bertanya-tanya: mengapa harus membayar puluhan ribu dolar per tahun jika semuanya berubah menjadi permainan "bot menulis—bot memeriksa"?

Di Amerika Serikat, biaya rata-rata kuliah di universitas mencapai sekitar $18.000 per tahun. Untuk mahasiswa dari luar negara bagian, biayanya bisa mencapai $28.000. Di beberapa universitas swasta, biaya kuliah bahkan mencapai $60.000 per tahun atau lebih.

Para dosen mengakui bahwa AI telah menjadi alat standar. Mereka menggunakannya untuk merencanakan kursus, menyusun tugas, dan bahkan untuk menilai. Memeriksa tugas bukanlah bagian favorit dari profesi ini, dan jaringan neural menawarkan solusi cepat, terutama ketika pengawasan dari universitas lemah dan beban kerja sangat besar.

Namun, dalam upaya otomatisasi ini, aspek penting seperti umpan balik sering kali menjadi generik, dan penilaian kehilangan sentuhan personal. "Semua mendapatkan komentar yang sama. Ini bukan pendidikan, ini skrip," kata salah satu dosen dalam wawancara dengan Fortune.

Ironisnya, esai yang ditulis AI, yang mungkin dikritik oleh dosen, sering kali mendapatkan nilai tinggi dalam pemeriksaan otomatis. Akibatnya, mahasiswa yang benar-benar berusaha menulis sendiri bisa mendapatkan nilai lebih rendah dibandingkan mereka yang menyerahkan tugas yang dibuat oleh mesin.

Ironi lainnya adalah mahasiswa sering dihukum karena menggunakan AI, sementara dosen secara aktif menggunakan alat yang sama—meskipun hal ini jarang dibicarakan.

Beberapa dosen tidak melihat ini sebagai masalah. Logika mereka sederhana: jika mahasiswa secara massal menyerahkan tugas yang dibuat oleh AI, mengapa membuang waktu untuk memeriksa secara mendalam? Biarkan bot memeriksa apa yang ditulis oleh bot. Akibatnya, proses pembelajaran sering kali berubah menjadi dialog antar mesin—bot menulis, bot memeriksa, sementara manusia hanya mengamati dari samping.

Hasilnya adalah ketidakpercayaan timbal balik. Dosen tidak yakin siapa yang mereka nilai, sementara mahasiswa tidak tahu siapa dan bagaimana mereka dinilai. Algoritma mesin menjadi pihak yang secara efektif memberikan keputusan yang memengaruhi masa depan.

Sebuah hubungan simbiot

Namun, integrasi AI dalam pendidikan bukanlah bencana. Jika sebelumnya dunia akademik diliputi kepanikan, kini penilaian menjadi lebih tenang. Semakin sering terdengar pandangan bahwa jaringan neural bukanlah musuh, melainkan alat. Mereka menghemat waktu, membantu menyusun ide, dan menangani tugas-tugas besar.

Banyak yang kini melihat AI bukan sebagai pengganti manusia, tetapi sebagai mitra potensial, atau bahkan sekutu. Para ahli menekankan bahwa pertanyaannya bukan lagi apakah AI harus diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran, tetapi bagaimana melakukannya dengan bijak.

Dosen tetap memiliki keunggulan yang tidak dapat direplikasi oleh algoritma mana pun, setidaknya untuk saat ini: kemanusiaan, kemampuan membaca sinyal nonverbal, mempertimbangkan konteks dan keadaan pribadi mahasiswa, serta menjadi mentor yang hidup, bukan sekadar sumber informasi.

AI, di sisi lain, unggul dalam hal lain. Ia dapat dengan cepat memproses data dalam jumlah besar, melacak kemajuan individu, mengidentifikasi kelemahan dalam pembelajaran, dan menyesuaikan tugas sesuai dengan tingkat kebutuhan. Alat-alat modern bahkan mampu secara real-time menentukan di mana mahasiswa mengalami kesulitan dan langsung menawarkan solusi yang mungkin.

Dalam kolaborasi semacam ini, AI benar-benar menjadi asisten yang berguna, memungkinkan pendidik untuk melihat hal-hal yang mungkin terlewatkan oleh mata manusia. AI dapat berfungsi sebagai "pendapat kedua"—sistem checks and balances yang dapat digunakan dosen untuk memverifikasi penilaian mereka.

Keunggulan lainnya adalah algoritma tidak memperhatikan siapa yang ada di depannya. Mereka tidak memedulikan latar belakang, status sosial, atau perilaku mahasiswa di kelas—hal-hal yang terkadang dapat memengaruhi penilaian secara tidak sadar. Dalam hal ini, AI dapat membawa elemen objektivitas di tempat di mana manusia mungkin sulit memisahkan persepsi pribadi dari substansi pekerjaan.

Menurut Forbes, sekitar 60% dosen kini menggunakan AI untuk tugas-tugas rutin—mulai dari memeriksa ejaan, menyusun tugas, hingga melacak kemajuan mahasiswa.

Namun, simbiosis ini tidak hanya menyelesaikan masalah praktis. Semakin sering dibahas masalah lain yang kurang diperhatikan—burnout emosional pada dosen, yang sebagian dapat diatasi dengan bantuan AI yang mengambil alih sebagian beban kerja.

World Economic Forum juga percaya bahwa skenario paling produktif adalah kolaborasi.

Di China, misalnya, platform Squirrel Ai melayani 20 juta mahasiswa. Jaringan neural ini menyesuaikan kurikulum untuk setiap siswa, dan penciptanya yakin bahwa masa depan pendidikan terletak pada penggabungan kecerdasan manusia dan mesin. Dalam model ini, dosen bukan lagi sekadar "penyampai pengetahuan," tetapi "arsitek pembelajaran" yang merancang seluruh proses pendidikan.

Di Amerika Serikat, model serupa diterapkan oleh Carnegie Learning melalui platform MATHia, di mana AI mencatat jawaban benar dan salah, serta melacak cara mahasiswa berpikir. Berdasarkan data ini, dosen menerima sinyal real-time tentang kekurangan dan pencapaian siswa. Dalam model ini, AI tidak menggantikan pendidik, tetapi memperkuatnya. Dalam sinergi ini, AI digunakan bukan sebagai pengganti, tetapi sebagai mitra.

Bagi mahasiswa, mereka memiliki berbagai alat AI. Ada yang membantu mencari sumber, menjelaskan topik yang rumit, menyederhanakan logika, hingga menghasilkan gambar. ChatGPT tetap menjadi asisten serbaguna.

Namun, godaan untuk "jalan pintas" tetap ada. Saat ini, baik dosen maupun mahasiswa sama-sama menggunakan AI—hanya saja dengan cara yang berbeda. Ada yang mendelegasikan pemeriksaan tugas, ada pula yang menyerahkan pembuatan tugas kepada AI.

Bagi banyak mahasiswa, AI juga menjadi cara untuk bertahan dalam sistem pendidikan yang penuh tekanan—kesempatan untuk mengatur ulang tenaga dan menghemat waktu.

Dalam perubahan ini, terasa adanya pergeseran filosofi pendidikan itu sendiri. Seperti yang dicatat oleh The New Yorker, universitas selalu mengandaikan kesepakatan: mahasiswa setuju untuk menyelesaikan sejumlah tugas tertentu demi mendapatkan kualifikasi di akhir. Namun, apa yang terjadi jika seluruh proses ini hampir sepenuhnya dapat diotomatisasi? Apa yang tersisa dari proses pembelajaran itu sendiri?

Kemunculan jaringan neural mempertegas pertanyaan lama yang kini semakin relevan: mengapa kita belajar? Jika tujuannya hanya untuk mendapatkan gelar, maka AI pada dasarnya mempermudah jalan.

Namun, jika gelar bukan sekadar selembar kertas, melainkan cerminan pengetahuan dan keterampilan nyata, maka semuanya menjadi lebih rumit. Keterampilan sejati tetap dibutuhkan, terutama yang tidak dapat dihasilkan secara instan. Meski begitu, beberapa di antaranya perlahan mulai tergeser.

SUMBER:TRT Russian
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us