IKLIM
3 menit membaca
Krisis iklim jadi 'ancaman eksistensial': Putusan bersejarah Mahkamah Internasional
Meski tak mengikat secara hukum, para ahli menilai putusan ini akan sulit diabaikan dalam kasus-kasus iklim mendatang karena mewajibkan negara melindungi sistem iklim berdasarkan hukum internasional.
Krisis iklim jadi 'ancaman eksistensial': Putusan bersejarah Mahkamah Internasional
Aktivis iklim berdemonstrasi di luar ICJ menjelang pendapat penasihat penting tentang masa depan aksi iklim global pada 23 Juli 2025. / Reuters
24 Juli 2025

Mahkamah Internasional (ICJ), pengadilan tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa, menegaskan bahwa perubahan iklim merupakan "ancaman mendesak dan eksistensial" dalam putusan terkait kewajiban hukum negara-negara untuk bertindak menghadapi krisis tersebut.

Opini hukum yang disampaikan pada Rabu itu, meskipun tidak mengikat, diperkirakan akan membentuk arah kebijakan iklim global di masa depan.

Sebelum putusan dibacakan, para pendukung aksi iklim berkumpul di luar gedung ICJ di Den Haag sambil meneriakkan: "Apa yang kita inginkan? Keadilan iklim! Kapan? Sekarang!"

Meski bersifat nasihat, hasil pertimbangan 15 hakim ICJ ini tetap memiliki bobot hukum dan politik. Para ahli hukum meyakini bahwa kasus-kasus iklim ke depan kemungkinan besar tidak akan mengabaikan putusan ini.

“Putusan ini sangat penting; bisa menjadi salah satu yang paling berdampak di era kita karena menyentuh inti dari keadilan iklim,” ujar Joie Chowdhury, pengacara senior di Centre for International Environmental Law.

Majelis Umum PBB meminta dua pertanyaan untuk dipertimbangkan oleh para hakim: apa kewajiban negara berdasarkan hukum internasional dalam melindungi iklim dari emisi gas rumah kaca, dan apa konsekuensi hukum bagi negara yang merusak sistem iklim?

Dalam sidang yang berlangsung dua minggu pada Desember lalu, negara-negara kaya dari kawasan Global North berpendapat bahwa perjanjian iklim yang ada—termasuk Perjanjian Paris 2015 yang sebagian besar bersifat sukarela—harus dijadikan dasar tanggung jawab.

Sebaliknya, negara berkembang dan negara-negara kepulauan kecil menuntut langkah yang lebih kuat, dalam beberapa kasus bersifat mengikat, untuk menekan emisi dan mendesak negara penghasil emisi terbesar memberikan bantuan finansial.

Perjanjian Paris

Pada 2015, lebih dari 190 negara sepakat dalam Perjanjian Paris untuk berupaya membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius (2,7 derajat Fahrenheit).

Namun, kesepakatan itu belum berhasil menekan laju emisi gas rumah kaca secara global.

Akhir tahun lalu, dalam laporan Emissions Gap Report terbaru yang menilai janji iklim negara terhadap kebutuhan nyata, PBB menyatakan bahwa kebijakan iklim saat ini dapat menyebabkan pemanasan global lebih dari 3°C (5,4°F) di atas tingkat pra-industri pada tahun 2100.

Seiring meningkatnya upaya publik untuk menuntut tanggung jawab pemerintah dan perusahaan, jumlah gugatan terkait iklim pun melonjak. Menurut data Juni dari Grantham Research Institute on Climate Change and the Environment di London, hampir 3.000 kasus telah diajukan di hampir 60 negara.

Namun, hasilnya masih beragam.

Pada Mei lalu, pengadilan di Jerman menolak gugatan seorang petani asal Peru terhadap perusahaan energi Jerman, RWE. Meski kalah secara hukum, para pengacara dan aktivis lingkungan menyebut kasus yang berlangsung selama satu dekade itu tetap menjadi kemenangan moral yang menginspirasi gugatan serupa.

Awal bulan ini, Inter-American Court of Human Rights, yang memiliki yurisdiksi atas 20 negara di Amerika Latin dan Karibia, juga mengeluarkan opini hukum yang menyatakan bahwa anggotanya harus bekerja sama dalam menghadapi krisis iklim.

Para aktivis menilai opini Mahkamah Internasional hari Rabu ini semestinya menjadi titik balik, meski putusannya bersifat penasihat.

Putusan tersebut juga bisa membuka jalan bagi negara untuk menuntut negara lain terkait isu iklim seperti polusi atau emisi.

“Mahkamah bisa menegaskan bahwa ketidaktindakan dalam krisis iklim, khususnya oleh penghasil emisi besar, bukan sekadar kegagalan kebijakan—melainkan pelanggaran hukum internasional,” ujar Vishal Prasad dari Fiji, salah satu mahasiswa hukum yang melobi pemerintah Vanuatu agar membawa kasus ini ke ICJ.

Secara teori, negara bisa saja mengabaikan putusan ICJ, namun para ahli hukum menyatakan bahwa sebagian besar negara cenderung enggan melakukannya.

“Opini ini menerapkan hukum internasional yang bersifat mengikat, yang sebenarnya telah disepakati oleh negara-negara,” tambah Chowdhury.

SUMBER:Reuters
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us