Pada musim ini setiap tahun, Istanbul berubah menjadi mozaik warna. Tulip yang bermekaran penuh tumbuh dari umbinya, menghiasi taman-taman, halaman masjid, dan sepanjang promenade Bosphorus, menari dalam nuansa merah, ungu, kuning safron, dan putih.
Namun, tulip bukan sekadar tanaman hias. Secara historis, bunga ini menjadi simbol politik, barang mewah, dan lambang identitas. Pada awal abad ke-18, tulip mendefinisikan sebuah periode khas yang dikenal sebagai Lale Devri (1718–1730), atau Era Tulip.
Meskipun tulip menjadi bunga yang melambangkan masa keemasan budaya Ottoman, seorang pelukis Prancis, Jean-Baptiste Vanmour, yang berhasil mengabadikan keindahan di sekitarnya. Lewat kuasnya, karyanya merekam menggambarkan orang-orang, upacara kemegahan, dan intrik kekuasaan yang memberikan kilau pada Era Tulip.
Lahir pada tahun 1671 di Valenciennes, Prancis utara, Vanmour tertarik ke Timur dan tiba di Istanbul pada usia 18 tahun sebagai bagian dari rombongan diplomatik. Perannya secara resmi adalah pelukis istana untuk Duta Besar Prancis Charles de Ferriol, yang dikirim oleh Raja Louis XIV ke Sublime Porte. Namun, tugas ini berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar: catatan visual seumur hidup tentang dunia yang jarang dilihat orang Eropa dengan begitu dekat.
Karya-karyanya menangkap baik kemegahan diplomasi maupun kehalusan kehidupan sehari-hari: dervish, pedagang, kasim istana, pedagang kaki lima, dan tentu saja, sultan dengan busana mewah. Seni Vanmour mendokumentasikan semaraknya sebuah kota di persimpangan kekaisaran, dan masyarakat yang sedang merundingkan identitasnya antara Timur dan Barat.
Vanmour membaur dengan kehidupan lokal; ini bukanlah Timur yang dibayangkan dari studio di Paris. Ini adalah Istanbul yang diamati dari dekat, menjadikannya saksi puncak kejayaan dan kemudian Era Tulip.
Eveline Sint Nicolaas, penulis Belanda dan pakar Vanmour, menulis dalam bukunya tahun 2003 An Eyewitness of the Tulip Era: “Vanmour dan lukisannya tidak hanya menjadi dokumen visual untuk adat dan kostum Turki pada Era Tulip (1718–1730), tetapi juga memainkan peran penting dalam pembentukan lingkungan artistik baru di Kekaisaran Ottoman.”
Rentang seni yang luas ini menempatkan Vanmour berbeda dari pendahulunya, seniman Eropa seperti Pieter Coecke van Aelst, saudara Gentile dan Giovanni Bellini, serta Albrecht Durer, yang semuanya tertarik pada budaya Ottoman antara tahun 1480-an hingga 1550-an.
Repertoar mereka juga berpusat pada kehidupan kerajaan, urusan istana, adegan sejarah, dan tentu saja potret.
Namun, seperti yang ditulis sejarawan Philip Mansel dalam ulasannya: “Hanya sedikit pelukis yang meninggalkan catatan lengkap tentang Istanbul—atau bahkan kota lain—seperti Jean-Baptiste Vanmour.”
Karya Vanmour bukanlah Timur yang dibayangkan dari studio di Paris. Ini adalah Istanbul yang diamati dari dekat.
Era Tulip: Keindahan sebagai diplomasi
Periode paling produktif Vanmour bertepatan dengan Lale Devri, masa damai, eksperimen artistik, dan keanggunan istana di bawah Sultan Ahmed III.
Tulip menjadi simbol zaman itu, tidak hanya di taman, tetapi juga dalam puisi, arsitektur, dan tekstil. Tulip melambangkan kehalusan, kesenangan, dan kepercayaan kosmopolitan kekaisaran.
Lukisan Vanmour mencerminkan etos yang sama. Meskipun ia tidak melukis tulip sebagai subjek botani, karyanya hidup di dalam dunia yang dihiasi oleh bunga itu. Perhatiannya pada kostum, postur, dan upacara mencerminkan nilai-nilai budaya yang diwakili oleh tulip: keanggunan, harmoni, dan semacam kemewahan yang terkendali.
Jika pelukis Belanda seperti Jan Brueghel the Elder memberi kita tulip dalam bentuk still-life selama Tulipomania, Vanmour memberi kita masyarakat yang hidup dalam masa keemasannya.
Kesuksesan Vanmour sebagai seniman tidak terpisahkan dari lingkungan diplomatiknya. Para pelindungnya, baik Prancis maupun Belanda, memberinya akses ke Divan, audiensi kerajaan, dan adegan-adegan yang biasanya tertutup bagi orang luar.
Karya-karyanya yang paling terkenal diterbitkan di Paris pada 1714–15 sebagai Recueil Ferriol, sebuah album berisi 100 ukiran yang menggambarkan masyarakat Kekaisaran Ottoman. Dari pendeta Armenia hingga Janissari, dari pedagang Yunani hingga pelayan Afrika, album ini menawarkan potret luas dan teramati dengan cermat tentang kehidupan kekaisaran.
Ironisnya, nama Vanmour tidak muncul di halaman judul. Namun, gambar-gambarnya membentuk pemahaman Eropa tentang Timur selama beberapa generasi. Ia tidak hanya melukis untuk masa depan—ia membentuk persepsi.
Reputasinya terus berkembang seiring waktu; pesanan berikutnya dari duta besar seperti utusan Belanda Cornelis Calkoen memungkinkannya masuk ke sudut-sudut kekuasaan Ottoman yang paling eksklusif.
Pada tahun 1725, Vanmour dianugerahi gelar Peintre ordinaire du Roy en Levant oleh Louis XV—sebuah pengakuan resmi untuk seorang pria yang, pada saat itu, telah menjadi lebih dari sekadar pelukis. Ia, pada dasarnya, adalah seorang dokumentaris kekaisaran dan sejarawan visual dari salah satu babak paling mewah dalam sejarahnya.
Hari ini, tulip masih bermekaran setiap musim semi di Lapangan Sultanahmet, di mana pameran festival menggemakan kemegahan masa lalu. Mereka mengingatkan kita pada saat di mana bunga adalah simbol politik, keindahan adalah diplomasi, dan seni adalah alat kekuatan lunak.
Jean-Baptiste Vanmour mungkin tidak melukis tulip secara langsung. Namun, dunianya dipenuhi oleh bunga itu—di taman, pada jubah, dalam puisi, dan dalam citra diri berlapis dari sebuah kekaisaran yang sedang berkembang.
Jika ia masih hidup hari ini, ia mungkin menjadi bagian dokumentaris, bagian influencer, seorang etnografer visual dari sebuah zaman. Sebaliknya, warisannya bertahan di arsip, museum, dan montase digital, menawarkan kita jendela yang hidup ke salah satu babak sejarah yang paling kaya secara artistik.