Tsunami hukum yang telah lama diperingatkan para analis Israel tampaknya semakin dekat. Pada hari yang sama saat 27 negara Barat mengeluarkan pernyataan publik yang memperingatkan akan ada “tindakan lanjutan” untuk mendukung gencatan senjata segera jika konflik di Gaza berlanjut, dua tentara Israel yang dituduh melakukan kejahatan perang ditangkap dan diperiksa oleh otoritas Belgia.
Dalam hukum internasional, negara dapat dimintai pertanggungjawaban atas kejahatannya melalui dua cara: negara tersebut dapat dikenai sanksi atau dikeluarkan dari organisasi internasional, dan para pejabat serta bawahannya yang melakukan, memerintahkan, membantu, atau mendukung kejahatan tersebut dapat dituntut di pengadilan internasional maupun domestik.
Pekan lalu, Emergency Conference of The Hague Group mempertemukan 30 negara Global Selatan di Bogota, Kolombia, untuk bergerak lebih dari sekadar kecaman dan mengambil langkah kolektif berdasarkan hukum internasional.
Dua belas dari negara tersebut sepakat untuk segera menerapkan enam langkah, termasuk menghentikan pengiriman senjata ke Israel dan menuntut kejahatan internasional di yurisdiksi nasional mereka berdasarkan prinsip yurisdiksi universal. Mereka juga mengundang negara lain untuk bergabung sebelum Sidang Umum PBB berikutnya pada bulan September.
Penangkapan di Belgia difasilitasi oleh Hind Rajab Foundation dan Global Legal Action Network (GLAN), yang juga aktif di berbagai yurisdiksi lainnya. Kedua organisasi ini sebelumnya juga terlibat dalam penyelidikan yang memaksa seorang tentara Israel melarikan diri dari Brasil tahun lalu, serta dua tentara lainnya melarikan diri dari Amsterdam pada Februari.
Pesan mereka jelas: tentara Israel yang dituduh melakukan kejahatan di Gaza tak akan pernah bisa benar-benar merasa aman dari jerat hukum.
Apakah langkah-langkah ini menandai awal dari berakhirnya kekebalan hukum Israel — dan awal dari aksi hukum serta politik terkoordinasi untuk mempertanggungjawabkan kejahatan Israel di Gaza, di mana pasukannya telah menewaskan lebih dari 59.000 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak, dalam 21 bulan terakhir?
Ataukah upaya akuntabilitas ini akan tetap terbatas pada negara-negara Global Selatan dan masyarakat sipil?
Israel di hadapan pengadilan
Ada alasan untuk percaya bahwa para pembuat kebijakan di ibu kota negara-negara Barat tengah mengevaluasi ulang pendekatan mereka terhadap Israel.
Perdana Menteri Inggris Sir Keir Starmer mendapat tekanan dari dalam kabinetnya untuk segera mengakui Negara Palestina sebelum “tak ada lagi yang bisa diakui.”
Pertanyaan besarnya adalah apakah negara-negara ini akan bergerak melampaui isyarat simbolis seperti pengakuan, dan mengambil langkah nyata untuk mengakhiri kekebalan hukum Israel.
Meskipun Uni Eropa masih terbelah dalam hal penerapan sanksi ekonomi terhadap Israel — yang akan berdampak besar karena UE merupakan mitra dagang terbesar Israel — kampanye Palestina untuk keadilan internasional terus bergerak maju tanpa henti.
Meski Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mendapat sanksi luar biasa dari AS terhadap jaksa dan hakimnya, penyelidikan atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan Israel di Gaza dan wilayah lainnya tetap berlangsung.
Sebelum cuti, jaksa penuntut ICC telah mengumumkan bahwa kantornya tengah menyelidiki kejahatan yang terjadi tidak hanya di Gaza, tapi juga di Tepi Barat yang diduduki.
Para pemimpin sayap kanan Israel, termasuk Bezalel Smotrich dan Itamar Ben-Gvir, secara terbuka mengeluarkan pernyataan yang membenarkan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan telah dikenai sanksi oleh UE serta pemerintah Australia, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, dan Inggris.
Mereka, beserta para bawahannya di Settlement Administration, kemungkinan besar menjadi target utama jaksa penuntut atas dugaan kejahatan berdasarkan Statuta ICC.
Menurut laporan The Wall Street Journal, jaksa ICC telah menyiapkan surat perintah penangkapan terhadap sejumlah pemimpin pemukim sebelum ia cuti.
Meski AS dan Jerman — dua pemasok senjata terbesar Israel — tidak termasuk dalam 27 negara Barat yang mengeluarkan peringatan baru-baru ini, keduanya kini menghadapi tekanan untuk mengubah arah kebijakan.
Di AS, penolakan terhadap kejahatan Israel di Gaza datang dari kelompok yang tak terduga: basis pendukung Trump dari kalangan evangelis mulai berbalik arah setelah tempat ibadah Kristen di Wilayah Pendudukan Palestina, termasuk gereja Katolik di Gaza, diserang oleh Israel.
Laporan penting yang diterbitkan oleh Pelapor Khusus PBB Francesca Albanese pada Juni — yang juga dikenai sanksi oleh pemerintahan Trump — mengungkap peran perusahaan-perusahaan, banyak di antaranya berasal dari AS, dalam menopang kejahatan berkelanjutan Israel di wilayah pendudukan. Laporan itu memperingatkan bahwa perusahaan-perusahaan ini bisa dianggap turut serta dalam kejahatan genosida jika terus menjalankan bisnis dengan Israel atau tidak menarik investasi dari perusahaan yang terlibat.
KLP, perusahaan dana pensiun terbesar di Norwegia, telah menarik investasinya dari Caterpillar, produsen alat berat yang produknya, termasuk buldoser D-9, selama ini digunakan militer Israel untuk menghancurkan rumah-rumah warga Palestina.
Dana tersebut menyatakan, “Investasi pada Caterpillar merupakan risiko yang tak dapat diterima karena berpotensi ikut andil dalam pelanggaran hak-hak individu dalam situasi perang atau konflik, mengingat keterkaitan perusahaan dengan pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat yang diduduki.”
Di Belanda, sejumlah LSM mengajukan gugatan pidana terhadap booking.com, situs pemesanan perjalanan populer, dengan tuduhan pencucian uang dan mengambil untung dari kejahatan perang karena memfasilitasi penyewaan properti liburan di pemukiman ilegal Israel di atas tanah milik warga Palestina.
Arah angin mulai berubah?
Jerman, pemasok senjata terbesar kedua bagi Israel, saat ini sedang menghadapi gugatan dari Nikaragua di Mahkamah Internasional (ICJ), pengadilan tetap internasional lainnya di Den Haag.
Dalam gugatan tersebut, Nikaragua menyatakan bahwa Jerman telah memberikan dukungan politik, finansial, dan militer kepada Israel dengan “kesadaran penuh sejak awal” bahwa peralatan militer tersebut akan digunakan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional.
Menurut jajak pendapat terbaru, opini publik di Jerman telah bergeser drastis: 57 persen responden kini memandang Israel secara negatif menyusul aksi militer di Gaza. Setidaknya 73 persen percaya bahwa “ada kebenaran” dalam pernyataan yang menyebut aksi Israel di Gaza sebagai genosida.
Sementara itu, Israel kini menghadapi tuduhan melakukan kejahatan paling berat yang diakui hukum internasional — yakni genosida — dalam kasus yang diajukan Afrika Selatan ke ICJ berdasarkan Konvensi PBB tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida.
Di dalam negeri, sejumlah pengacara terkemuka Israel menerbitkan surat terbuka lain (bagian dari serangkaian surat serupa) yang memperingatkan pemerintah bahwa rencana memusatkan populasi Gaza di “kota kemanusiaan” yang dibangun di atas reruntuhan Rafah, jika dijalankan, “akan menjadi rangkaian kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan dalam kondisi tertentu, bisa termasuk kejahatan genosida.”
Untuk sementara, langkah-langkah untuk mengadili Israel kemungkinan besar masih akan terbatas pada pengadilan internasional dan negara-negara Global Selatan. Namun, penangkapan di Belgia dan gugatan terhadap perusahaan-perusahaan di Belanda bisa menjadi pertanda bahwa aktor-aktor dari negara-negara Global Utara mulai jenuh membela kejahatan Israel dan mulai bersikap lebih tegas — terlebih saat krisis kelaparan melanda Gaza.
Dukungan global yang masih dimiliki Israel setahun lalu — sebelum ia membunuh pemimpin senior Hamas, menyerang Hezbollah di Lebanon, membom fasilitas nuklir Iran serta pangkalan militer di Suriah dan Yaman — tampaknya mulai goyah.
Meski terlambat, sebagian pembuat kebijakan dan pakar hukum senior di Barat (lihat juga surat terbuka dari para pengacara Inggris) kini mulai menyadari bahwa perang di Gaza bukan soal “hak membela diri” Israel, melainkan soal penghukuman terhadap rakyat Palestina atas keteguhan mereka bertahan di tanah leluhur mereka.