Dari George Washington hingga Donald Trump: Sejarah tarif di Amerika Serikat
DUNIA
7 menit membaca
Dari George Washington hingga Donald Trump: Sejarah tarif di Amerika SerikatPara pendiri AS memandang tarif sebagai instrumen penting untuk menjadikan republik muda mereka mandiri secara ekonomi dari Inggris dan kekuatan asing lainnya. Kini, Donald Trump tampaknya membawa semangat serupa—kali ini ditujukan kepada China.
George Washington, presiden AS pertama, yang merupakan pemimpin Amerika anti-kolonial yang menentang kekuasaan Inggris, adalah pembela tarif yang gigih terhadap negara-negara asing, terutama Inggris Raya. Foto/Matt Slocum
15 April 2025

Minggu lalu, Amerika Serikat memberlakukan tarif dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya, menargetkan lebih dari 180 negara. Secara khusus, China terkena tarif sebesar 145 persen atas ekspornya ke AS.

Sebagai tanggapan, Beijing membalas dengan memberlakukan tarif sebesar 125 persen pada ekspor Amerika ke China—mengembalikan tarif yang awalnya diperkenalkan oleh pemerintahan Trump sebelum dinaikkan menjadi 145 persen pada Kamis lalu. Langkah perlawanan China terhadap kekuatan global ini merupakan tindakan yang belum pernah terlihat selama beberapa dekade.

Menghadapi perlawanan Beijing dan kritik tajam bahkan dari sekutunya sendiri, Trump mundur dengan memulai jeda 90 hari untuk semua tarif kecuali China dan menurunkan sebagian besar tarif menjadi 10 persen.

“Motivasi utama kebijakan baru Trump lebih bersifat politis daripada ekonomis. Retorika pemerintah AS sebenarnya cukup jelas menunjukkan hal itu,” kata seorang penasihat senior di badan pemantauan keuangan pemerintah Turkiye, yang meminta anonimitas karena sifat sensitif dari perannya, kepada TRT World.

Meskipun tarif Trump yang dikenakan terhadap teman maupun lawan adalah yang tertinggi yang pernah dilihat AS dalam lebih dari satu abad, banyak presiden dan pemimpin kongres Amerika telah lama menganggap tarif sebagai alat yang berguna untuk melayani berbagai tujuan ekonomi dan politik pemerintahan Amerika selama hampir 250 tahun.

Pada akhir abad ke-18, saat kelahiran Amerika Serikat, para Pendiri Bangsa menganggap tarif penting untuk menghasilkan pendapatan di era ketika negara baru tersebut belum memiliki pajak nyata untuk dikumpulkan dari warganya.

Dari tahun 1776, tahun Deklarasi Kemerdekaan dari kekuatan kolonial Inggris, hingga tahun-tahun Perang Saudara pada 1860-an, tarif menyumbang hampir 90 persen dari pendapatan pemerintah federal AS.

Meskipun pajak baru yang diperkenalkan setelah Perang Saudara mengurangi persentase tarif dalam pendapatan pemerintah secara keseluruhan, tarif tetap menyumbang setidaknya setengah dari pendapatan negara hingga awal abad ke-20.

Dalam tujuh dekade terakhir, peran tarif dalam menghasilkan pendapatan pemerintah telah menurun secara signifikan, hanya sekitar 2 persen dari pendapatan federal.

Pendiri bangsa sebagai pembela tarif

Selain tujuan finansial, para pemimpin awal AS—dari George Washington dan Alexander Hamilton hingga Thomas Jefferson—melihat tarif sebagai alat untuk membangun sistem ekonomi independen yang berbeda dari negara-negara Eropa, terutama Inggris, yang telah mendominasi koloni Amerika selama hampir 150 tahun.

“Saya tidak menggunakan porter atau keju di keluarga saya, kecuali yang dibuat di Amerika,” tulis George Washington dalam sebuah surat kepada Marquis de LaFayette, seorang perwira militer dan politisi Prancis yang pro-Amerika. Washington, presiden pertama negara itu dan pemimpin Perang Kemerdekaan, mendukung produksi domestik dibandingkan impor.

Seperti Washington, Alexander Hamilton—Menteri Keuangan pertama AS—adalah pembela kuat tarif dan subsidi yang dianggap penting untuk pengembangan manufaktur domestik, termasuk produksi senjata, dan untuk keamanan nasional.

Akibatnya, tidak mengherankan, undang-undang kedua yang disahkan oleh Kongres AS yang baru adalah Undang-Undang Tarif 1789 yang ditandatangani oleh Washington pada 4 Juli, hari ketika Deklarasi Kemerdekaan diproklamasikan, yang menetapkan tarif 5 persen pada semua impor ke negara bagian Amerika Utara.

“Rakyat yang bebas tidak hanya harus bersenjata, tetapi juga disiplin; untuk itu, diperlukan rencana yang seragam dan terorganisir dengan baik; dan keselamatan serta kepentingan mereka mengharuskan mereka mempromosikan manufaktur yang membuat mereka mandiri dari orang lain untuk pasokan penting, terutama pasokan militer,” kata Washington dalam pidato tahunan pertamanya kepada Kongres AS pada 1790.

Menariknya, Thomas Jefferson, seorang rival politik Washington dan penulis Deklarasi Kemerdekaan, memiliki kesepakatan dengan presiden pertama negara itu tentang penerapan tarif untuk melindungi dan mendukung pasar baru negara itu dari persaingan asing.

Jefferson menulis surat kepada politisi Benjamin Austin yang menyatakan: “Pengalaman telah mengajarkan saya bahwa manufaktur sekarang sama pentingnya bagi kemerdekaan kita seperti halnya kenyamanan kita… jika mereka yang mengutip saya sebagai pendukung opini berbeda akan mengikuti saya dalam membeli apa pun yang bukan asing di mana kain domestik setara dapat diperoleh, tanpa memperhatikan perbedaan harga.”

Surat itu ditulis pada tahun 1816 setelah Perang 1812 dengan Inggris Raya, yang sekali lagi menunjukkan kepada para pemimpin Amerika bahwa mereka tidak dapat bergantung pada bantuan atau senjata asing untuk mempertahankan diri dari ancaman eksternal.

Pada tahun yang sama, Kongres mengesahkan undang-undang tarif proteksionis untuk melindungi industri Amerika dari ekspor Inggris mulai dari produk besi hingga tekstil wol dan kapas serta barang-barang pertanian. Delapan tahun setelah undang-undang ini, pada tahun 1824, langkah protektif lainnya diberlakukan dengan meningkatkan bea impor pada produk asing.

Apakah tarif memicu perang saudara?

Para sejarawan masih memperdebatkan sejauh mana kebijakan tarif berperan dalam meningkatkan ketegangan antara wilayah industri di Utara dan wilayah agraris di Selatan.

Wilayah Utara sejak lama mendorong tarif tinggi guna melindungi industri domestiknya dari persaingan luar negeri, sementara wilayah Selatan mendukung tarif rendah karena mereka bergantung pada impor murah.

Pada tahun 1828, Kongres AS mengesahkan undang-undang tarif baru dengan bea masuk rata-rata lebih dari 25 persen. Kebijakan ini memicu kemarahan kaum Demokrat di Selatan, yang menyebutnya sebagai "Tarif Kebejatan" — istilah yang menunjukkan betapa jauhnya mereka menjauh dari negara-negara bagian industri di Utara.

Bahkan Carolina Selatan, yang menjadi negara bagian pertama yang memisahkan diri dari AS pada tahun 1860 dan memicu terbentuknya Konfederasi, pernah berusaha membatalkan undang-undang tersebut, meskipun tidak berhasil. Akhirnya, kompromi dicapai pada 1833 dengan menurunkan tarif menjadi sedikit di atas 20 persen.

Hingga akhir 1850-an, tarif di AS relatif rendah karena dominasi politik Demokrat Selatan di Kongres.

Namun, kemenangan Partai Republik yang mendukung tarif tinggi dalam pemilu 1860 mengubah arah kebijakan. Abraham Lincoln, seorang pendukung kuat proteksionisme, terpilih menjadi presiden. Dua hari sebelum pelantikannya, Kongres mengesahkan Undang-Undang Tarif Morrill 1861 yang secara drastis menaikkan tarif impor.

Lincoln pernah menyatakan bahwa jika Amerika diberi tarif protektif, maka mereka akan menjadi negara terhebat di dunia. Ia percaya bahwa kebijakan proteksionis akan menguntungkan produsen dalam negeri dan memperingatkan bahwa menolaknya bisa membawa kehancuran bagi ekonomi AS.

Ia menulis bahwa jika tarif yang cukup untuk perlindungan dikenakan pada barang-barang yang bisa diproduksi di dalam negeri dengan tenaga kerja yang setara dengan di luar negeri, seperti besi, maka barang tersebut pada akhirnya akan dijual lebih murah di pasar domestik karena tidak perlu menanggung biaya pengangkutan dari luar negeri.

Meski para akademisi berbeda pendapat apakah tarif secara langsung menjadi penyebab Perang Saudara, banyak suara dari Selatan saat itu yang menjadikan sengketa tarif sebagai salah satu alasan utama perpisahan mereka dari Uni.

Tarif, depresi hebat dan lahirnya pajak penghasilan

Sepanjang era Rekonstruksi pasca-Perang Saudara, tarif tetap menjadi pilar utama kebijakan ekonomi AS. Tarif melindungi industri baja, pertanian, dan tekstil — dan turut mendorong AS menjadi pemimpin global dalam Revolusi Industri pada 1880-an.

Dampak positif tarif terhadap perkembangan industri paling jelas terlihat di sektor baja AS. Produksi baja meningkat hampir sepuluh kali lipat, dari 1,25 juta ton menjadi lebih dari 10 juta ton antara tahun 1880-an hingga awal 1900-an.

Baja AS menjadi elemen penting dalam pembangunan jaringan rel kereta api nasional dan diekspor ke berbagai negara, termasuk ke Inggris. Selama Perang Dunia I, AS menjadi pemasok baja utama bagi pasukan Sekutu.

Meski tetap populer di kalangan politisi Republik dan beberapa wilayah di AS, peran tarif sebagai sumber utama pendapatan negara menurun drastis sejak diperkenalkannya pajak penghasilan pada 1913.

Presiden Demokrat Woodrow Wilson, yang memperkenalkan pajak penghasilan dan mereformasi sistem perbankan nasional, berhasil menurunkan tarif tinggi melalui Undang-Undang Tarif Underwood 1913.

Namun setelah Wilson, Partai Republik kembali menerapkan tarif tinggi, terutama melalui Undang-Undang Tarif Smoot-Hawley 1930 dalam upaya mengatasi Depresi Besar. Sayangnya, kebijakan itu malah memicu aksi balasan dari negara-negara lain terhadap tarif AS, memperburuk krisis ekonomi global.

AS kemudian menarik diri dari kebijakan tarif tinggi dengan memberlakukan Undang-Undang Tarif Timbal Balik 1934. Undang-undang ini berpihak pada filosofi liberalisasi perdagangan, dengan keyakinan bahwa tarif rendah dalam ekonomi global akan membawa kemakmuran dan pertumbuhan.

Sejak saat itu, tarif AS tetap rendah hingga munculnya kebijakan proteksionis dari Presiden Donald Trump. AS bahkan berperan penting dalam pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 1994 untuk menyeragamkan sistem tarif global.

Trump dan kembalinya tarif

Kebijakan tarif Presiden Trump menandai titik balik tajam dari konsensus dua partai selama puluhan tahun yang mendukung liberalisasi perdagangan. Pemerintahannya menaikkan bea masuk ke level tertinggi sejak tahun 1930-an, meskipun mendapat peringatan dari para ekonom.

Banyak ekonom membandingkan kebijakan Trump dengan Undang-Undang Smoot-Hawley — keduanya dianggap berisiko memicu resesi di AS dan mengancam stabilitas ekonomi global. Seperti Presiden Herbert Hoover di era Depresi, Trump juga mengabaikan saran dari banyak pakar dan pemimpin perdagangan.

Ekonom dan penulis Dan Steinbock mengatakan kepada TRT World bahwa tarif AS kini berada di level yang setara dengan tahun 1930-an, dan pararel ini seharusnya menjadi peringatan bagi para pembuat kebijakan di seluruh dunia. Ia menambahkan bahwa integrasi ekonomi global tampaknya mulai runtuh, dan negara-negara di Global South akan menanggung dampak terbesarnya.

SUMBER:TRT World
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us