Washington, DC — Perseteruan antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Ketua Federal Reserve Jerome Powell kini berubah dari ketegangan halus menjadi konflik terbuka.
Awalnya hanya sindiran ringan, kampanye Trump melawan Ketua The Fed yang ia tunjuk sendiri kini menjelma menjadi serangan terkoordinasi yang melibatkan berbagai lembaga pemerintah.
Dengan proyek renovasi kantor pusat The Fed senilai $2,5 miliar yang kini disorot dan sekutu Trump di berbagai komisi federal mulai bergerak, pertanyaan yang dulu hanya bersifat teoretis kini bergema di Washington: apakah Trump benar-benar bisa memecat Powell?
Secara hukum, jawabannya masih tetap: tidak. Namun dari sisi politik, tekanannya belum pernah sebesar ini.
Ketidaksukaan Trump terhadap Powell bukan rahasia lagi.
Dalam berbagai pertemuan, unggahan media sosial, bahkan dalam surat tulisan tangan, Trump terus melontarkan kritik. Ia menyebut Powell "terlambat" mengambil langkah saat krisis inflasi 2022 dan, baru-baru ini, karena menolak memangkas suku bunga meski Trump terus mendesak.
“Turunkan suku bunganya — banyak!” tulis Trump dalam catatan kepada Powell bulan lalu, menegaskan keinginannya untuk mendorong perekonomian menjelang tahun pemilu yang sulit.
Powell sendiri tetap tenang. Dalam konferensi pers dan rapat dengar pendapat, ia berkali-kali menegaskan bahwa kebijakan The Fed berbasis data, bukan tekanan politik.
Saat ditanya soal desakan Trump, Powell lebih sering memilih diam — sikap yang justru makin memicu amarah presiden.

Renovasi jadi titik panas baru
Minggu ini, amarah Trump tampak diarahkan secara lebih tajam.
Russell Vought, mantan Direktur Kantor Manajemen dan Anggaran Trump, menuduh Powell berbohong kepada Kongres soal membengkaknya anggaran renovasi kantor pusat The Fed.
Dalam surat terbuka, Vought menuduh Powell melanggar aturan pengawasan dan tetap melanjutkan proyek renovasi yang disebutnya “mewah” di jantung ibu kota.
“Presiden sangat terganggu dengan cara Anda mengelola Sistem Federal Reserve,” tulis Vought, sembari menyebut kepemimpinan Powell tidak sesuai dengan regulasi federal.
Biaya proyek itu, yang awalnya diperkirakan sebesar $1,9 miliar, melonjak menjadi $2,5 miliar — yang menurut pihak The Fed disebabkan oleh inflasi bahan bangunan, kekurangan tenaga kerja, dan perpanjangan masa sewa.
Pada bulan Juni, Powell mengatakan kepada Kongres bahwa renovasi tersebut tidak mengandung kemewahan apa pun: “tidak ada ruang makan VIP, tidak ada marmer baru... hanya lift lama yang masih digunakan.”
Namun, para pejabat Trump tidak percaya begitu saja.
Secara diam-diam, Trump mengganti tiga anggota Komisi Perencanaan Ibu Kota Nasional — yang mengawasi renovasi federal — dengan loyalis Gedung Putih, termasuk Wakil Kepala Staf James Blair.
Dalam rapat perdana komisi itu, Blair menyebut Powell mungkin telah menyesatkan Kongres dan menyerukan kunjungan lapangan serta pengungkapan rencana secara menyeluruh.
“Proyek ini bisa jadi menyimpang dari rencana... atau Ketua Powell tidak jujur kepada Komite Perbankan Senat,” kata Blair.
Hambatan hukum dan jalan memutar
Trump terus mendorong The Fed untuk memangkas suku bunga, berharap pinjaman yang lebih murah dapat mendorong belanja dan investasi, serta mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Namun Powell menahan diri, khawatir kebijakan tarif Trump bisa mendorong inflasi, dan menegaskan butuh data lebih kuat sebelum mengambil langkah.
Hal ini makin membuat Trump frustrasi — terutama karena ia tidak bisa secara langsung memecat Powell. Putusan Mahkamah Agung baru-baru ini justru menegaskan bahwa meskipun banyak pejabat eksekutif bekerja atas kehendak presiden, The Fed bersifat “quasi-private” dan sengaja dibuat independen dari intervensi politik jangka pendek.
“Hukumnya jelas,” kata para analis. “Independensi The Fed melekat dalam struktur kelembagaannya.”
Namun para sekutu Trump tampaknya mulai menempuh jalan lain: menyusun alasan hukum untuk memecat Powell “dengan sebab”, atau membuatnya cukup tertekan hingga mengundurkan diri.
Beberapa pihak menafsirkan tuduhan Vought dan penyelidikan Blair bukan sekadar kritik, tetapi upaya membangun kasus pelanggaran.
Peter Navarro, penasihat ekonomi senior Trump, bahkan menyebut Powell “salah satu Ketua The Fed terburuk dalam sejarah.” Menteri Perdagangan Howard Lutnick berkata tegas: “Dia harus berubah, atau dia harus pergi.”
Meski masa jabatan Powell baru akan berakhir Mei 2026, Trump mengisyaratkan bisa segera menunjuk pengganti — yang dikhawatirkan bisa menciptakan skenario “ketua bayangan” dan merusak otoritas Powell jauh sebelum ia resmi turun.
Bill Pulte, Kepala Badan Pembiayaan Perumahan Federal AS, menyambut baik kabar bahwa Powell mungkin mempertimbangkan untuk mundur.
Pasar keuangan siaga penuh
Gedung Putih membantah ada upaya formal untuk mencopot Powell. Seorang pejabat senior mengatakan kepada CNN bahwa Trump tidak merencanakan pemecatan.
Meski begitu, pasar keuangan tetap gelisah. Para analis memperingatkan bahwa upaya serius untuk mencopot Ketua The Fed bisa memicu gejolak di Wall Street, terutama jika dianggap sebagai sinyal berakhirnya independensi bank sentral.
“Jika pasar kehilangan kepercayaan pada The Fed, suku bunga tidak akan turun,” kata seorang analis. “Justru naik.”
Bahkan mantan pejabat The Fed pun mulai menyuarakan kekhawatiran.
“Efek pasar yang diperkirakan adalah alasan kuat untuk tidak mencoba mencopot ketua,” kata mantan Gubernur Daniel Tarullo. Kekacauan akan muncul jauh sebelum pengadilan memutuskan legalitas pemecatan.
Mungkin inilah sebabnya strategi pemerintahan Trump terlihat lebih halus: meningkatkan tekanan publik, mempersempit ruang hukum, dan membiarkan tekanan itu bekerja dengan sendirinya.
Siapa pengganti Powell?
Daftar calon pengganti Powell dari Trump mulai mencuat. Kevin Warsh, mantan gubernur The Fed yang vokal mengkritik kebijakan saat ini, menjadi kandidat utama.
Begitu pula Kevin Hassett, mantan penasihat ekonomi Trump, yang dulunya sempat membujuk presiden agar tidak memecat Powell, namun kini tampaknya lebih terbuka terhadap pergantian.
Pesan yang ingin disampaikan jelas: meskipun Powell tidak bisa langsung dipecat, ia bisa dipinggirkan oleh Gedung Putih.
Inti dari konflik ini bukan sekadar pertarungan dua tokoh kuat. Ini adalah pertarungan tentang masa depan The Fed.
Trump menginginkan suku bunga yang lebih rendah. Powell mengutamakan pengendalian inflasi. Di antara keduanya, ada ekonomi yang bergejolak, pasar yang cemas, dan jangkar keuangan dunia yang sedang meniti tali tipis antara data dan tekanan politik.