KONFLIK ISRAEL-IRAN
5 menit membaca
Di ambang badai: bagaimana konflik Israel-Iran mengancam 30 juta warga Turkiye Azerbaijan
Pemboman di Tabriz menjadi peringatan keras bagi kelompok etnis terbesar di Iran, yang kini menjadi sandera dalam permainan geopolitik yang lebih besar.
Di ambang badai: bagaimana konflik Israel-Iran mengancam 30 juta warga Turkiye Azerbaijan
Di ambang badai: bagaimana konflik antara Israel dan Iran mengancam 30 juta warga Turkiye Azerbaijan / Kementerian Luar Negeri Azerbaijan / TRT Russian
19 Juni 2025

Saat warga Tabriz mendengar deru jet tempur Israel di atas langit kota pada Senin pagi, 14 Juni, banyak di antara mereka untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun merasakan bahwa sejarah sedang mengetuk pintu rumah mereka. Salah satu kota terbesar di Iran mendadak menjadi pusat dari konflik yang dapat mengubah nasib 30 juta warga Turkiye Azerbaijan secara drastis.

Serangan terhadap bandara Tabriz bukan sekadar operasi militer; serangan itu sarat makna simbolis. Bagi Teheran, ini menjadi pengingat menyakitkan akan betapa rentannya wilayah strategis negara tersebut.

Tabriz adalah jantung kebudayaan Azerbaijan di Iran, kota tempat ratusan ribu warga biasa hidup dan bekerja. Ketika rudal menghantam bandara mereka, yang menjadi korban bukanlah “rezim” atau “program nuklir” — melainkan para ayah, guru, dokter, dan mahasiswa. Orang-orang yang hanya ingin hidup damai.

Simbolisme waktunya pun tak bisa diabaikan. Serangan itu terjadi pada hari Jumat, hari suci bagi umat Muslim.

Apa yang terjadi saat ini tak bisa dibenarkan. Serangan Israel ke Iran adalah bentuk agresi sepihak terhadap negara berdaulat, anggota PBB. Jika komunitas internasional memiliki keluhan atas kebijakan Iran, ada mekanisme global yang bisa ditempuh. Hak untuk menjalankan “keadilan” lewat senjata bukan milik satu negara pun.

Serangan terhadap sasaran sipil—bandara, jalan, infrastruktur—adalah pelanggaran langsung terhadap hukum humaniter internasional. Ketika Tabriz terbakar, rumah dan harapan rakyat biasa ikut hangus. Ketika bandara ditutup, jutaan orang di seluruh wilayah terisolasi.

Kita tidak boleh lupa: pelanggaran hukum yang sama sedang terjadi di Gaza. Pembantaian massal terhadap warga sipil, penghancuran rumah sakit, sekolah, bangunan tempat tinggal. Hari ini logika itu menjalar ke Iran. Besok — entah ke mana lagi.

Geografi kerentanan

Letak geografis membuat warga Turkiye Azerbaijan di Iran menjadi kelompok paling rentan dalam konflik ini. Azerbaijan Iran berada di barat laut negara itu, langsung berbatasan dengan Republik Azerbaijan. Hal ini menjadikan warga Turkiye Azerbaijan sebagai target pertama dalam setiap eskalasi.

Tabriz bukan hanya pusat administrasi. Kota ini adalah ibu kota budaya warga Azerbaijan, tempat bahasa, tradisi, dan identitas mereka dijaga selama berabad-abad. Kota yang telah melahirkan para penyair, ilmuwan, dan tokoh publik besar. Hari ini kota itu diserang — dan ini bukan hanya tragedi bagi Iran, tetapi bagi seluruh bangsa Azerbaijan.

Kepanikan warga, arus pengungsian, penutupan sekolah dan rumah sakit — inilah harga nyata dari “operasi militer” tersebut. Ketika perang berkecamuk, keluarga-keluarga mengumpulkan anak-anak mereka dan melarikan diri dari tanah kelahiran, tanpa tahu ke mana atau kapan mereka bisa kembali.

Kecurigaan dan tuduhan

Gelombang tuduhan bahwa warga Turkiye Azerbaijan “membantu” Israel menjadi beban tersendiri bagi komunitas tersebut. Media sosial dipenuhi spekulasi bahwa mereka membantu operasi Israel, menyuplai intelijen, bahkan menjadi “kolom kelima”.

Tuduhan ini bukan hanya tidak berdasar — tetapi juga berbahaya. Tuduhan ini membuka jalan bagi represi terhadap seluruh kelompok etnis yang sudah dalam posisi rentan. Ketika pihak berwenang mencari “pengkhianat” dan “mata-mata”, kelompok minoritaslah yang pertama dicurigai.

Baku secara resmi membantah tuduhan tersebut. “Beberapa media dan akun media sosial belakangan menyebarkan klaim sepenuhnya tidak berdasar dan dibuat-buat bahwa Azerbaijan merekrut warga Turkiye Azerbaijan untuk dijadikan agen dan dikirim ke Iran atas nama Israel,” ujar Hikmet Hajiyev, penasihat Presiden Azerbaijan, menyebut tuduhan itu “absurd dan fantastis”.

Menteri Luar Negeri Azerbaijan, Jeyhun Bayramov, juga menegaskan bahwa Baku tidak akan menjadi bagian dari perang orang lain. Dalam percakapan telepon dengan Menlu Iran Abbas Araghchi, ia menyatakan bahwa Azerbaijan tidak akan mengizinkan wilayahnya digunakan untuk menyerang Iran atau negara lain dalam konflik ini.

“Dalam pembicaraan tersebut, situasi akibat operasi militer Israel terhadap Iran dibahas. Ditekankan bahwa tidak mungkin ada negara mana pun menggunakan wilayah Azerbaijan untuk melawan negara ketiga, termasuk Iran yang merupakan negara tetangga dan sahabat,” ujar Kementerian Luar Negeri Azerbaijan.

Sandera dalam permainan besar

Warga Turkiye Azerbaijan di Iran adalah orang-orang yang menginginkan hal-hal sederhana: berbicara dalam bahasa ibu, mengajarkannya pada anak-anak mereka, menjaga budaya mereka. Mereka berjuang untuk hak-hak dasar: pendidikan dalam bahasa Azerbaijan, hak budaya, kesetaraan di mata hukum.

Namun hari ini, nasib mereka ditentukan oleh ambisi geopolitik orang-orang yang jauh dari kehidupan mereka. Politisi Israel menentukan target mana yang “sah” untuk dibom. Otoritas Iran menentukan siapa yang dianggap “pengkhianat potensial.” Politisi Barat memutuskan agresi mana yang pantas dikutuk dan mana yang bisa diabaikan.

Dan 30 juta warga Turkiye Azerbaijan tetap menjadi sandera dari keputusan-keputusan ini. Mereka tidak memilih perang ini. Mereka tidak ingin menjadi alat tawar-menawar dalam permainan besar. Namun merekalah yang harus membayar harga dari ambisi orang lain.

Permainan besar

Konflik terkait warga Turkiye Azerbaijan tidak bisa dipisahkan dari permainan geopolitik yang lebih luas. Upaya Eropa untuk mendiversifikasi pasokan energi—khususnya lewat koridor Israel dan Azerbaijan—mengubah aliansi regional dan memperburuk ketegangan di Kaukasus Selatan serta Timur Tengah.

Kekuatan-kekuatan Eropa, yang mengutamakan keamanan energi di atas hukum internasional, sebagian besar menahan diri dari mengutuk tindakan Israel di Gaza dan serangan Azerbaijan di Karabakh, sehingga secara tidak langsung turut menyuburkan ketidakstabilan, menurut para pengamat.

Integrasi ladang gas lepas pantai Gaza (yang diperkirakan memiliki cadangan 1,1 triliun kaki kubik) ke dalam jaringan energi Eropa menuntut kendali fisik Israel atas wilayah Gaza. Hal serupa juga berlaku untuk upaya menghubungkan produsen energi Asia Tengah ke pasar Eropa melalui Azerbaijan dan Turkiye.

Di persimpangan sejarah

Warga Turkiye di Azerbaijan Iran berada dalam situasi sulit, seperti juga seluruh rakyat Iran. Dampak dari perang antara Israel dan Iran terhadap wilayah ini sangat bergantung pada skala, durasi, dan stabilitas internal Iran sendiri.

Dalam jangka pendek, krisis keamanan dan ekonomi hampir tak terhindarkan; dalam jangka panjang, kekacauan dan bangkitnya nasionalisme etnis mungkin akan muncul.

Langkah-langkah strategis para aktor regional — Iran, Azerbaijan, Turkiye, Rusia, China, dan Israel — akan sangat menentukan arah perkembangan situasi ini.

Warga Turkiye di Iran adalah saudara kita dalam darah dan bahasa. Ketika rumah mereka terbakar oleh rudal Israel, sebagian dari jiwa kita ikut hangus. Ketika anak-anak mereka terbangun karena ledakan, seluruh anak-anak dunia Islam dan bangsa Turkiye ikut menangis.

Perang ini belum usai, tetapi satu hal sudah jelas: jika serangan Israel berlanjut, masa-masa penuh cobaan berat akan menanti warga Turkiye Azerbaijan di Iran. Tak ada jalan lain.

SUMBER:TRT Russian
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us