Presiden Rusia Vladimir Putin bertemu dengan para kepala kantor berita dalam Forum Ekonomi Internasional St. Petersburg. Salah satu topik utama yang dibahas adalah perang di Ukraina.
“Kami juga ingin mengakhiri konflik di Ukraina secepat mungkin, dan sebaiknya secara damai,” ujar Putin. Ia juga membahas penyebab eskalasi, kemungkinan solusi, serta syarat untuk bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
Menurut Putin, Kremlin menginginkan penyelesaian jangka panjang dan tidak akan mengizinkan adanya formasi bersenjata di wilayah negara tetangga yang dapat mengancam Rusia.
Ia juga mengiyakan pernyataan Presiden AS Donald Trump bahwa perang di Ukraina mungkin tidak akan terjadi jika seorang presiden dari Partai Republik menjabat saat itu. “Memang, mungkin jika Trump menjadi presiden, konflik ini tidak akan terjadi,” kata Putin.
Terkait kontak langsung dengan Zelensky, Putin menyatakan siap bernegosiasi, namun hanya pada tahap akhir proses perdamaian. Ia juga menegaskan tidak akan menandatangani dokumen apa pun karena mempertanyakan legitimasi pemimpin Ukraina. “Jika pemimpin utamanya tidak sah, maka seluruh sistem kekuasaan menjadi tidak sah,” ujarnya.
Situasi pun tampak menemui jalan buntu — Ukraina tidak dapat menggelar pemilihan presiden dalam kondisi perang dan serangan udara, sementara Rusia tidak bersedia menandatangani kesepakatan damai sebelum Kyiv menyelenggarakan pemilu.
Denis Denisov, pakar dari Universitas Keuangan di bawah Pemerintah Federasi Rusia, menjelaskan kepada TRT dalam bahasa Rusia mengenai peluang penyelesaian konflik dan apa saja yang menghambat tercapainya kompromi.
Jika Rusia terus bersikeras pada pemilu di Ukraina, apakah negosiasi damai tidak akan terjadi?
Ukraina menyatakan tidak bisa menggelar pemilu dalam kondisi perang. Rusia di sisi lain menyatakan tidak siap menuju perdamaian tanpa adanya pemilu. Tapi sebenarnya kita paham bahwa pernyataan semacam ini hanya menunjukkan posisi tawar masing-masing pihak — ini bagian dari strategi negosiasi.
Jadi saya tidak akan menyimpulkan secara mutlak bahwa Ukraina tidak bisa menyelenggarakan pemilu, atau bahwa Rusia sama sekali tidak bersedia berdamai tanpa itu. Banyak contoh di mana pemilu tetap digelar di tengah konflik bersenjata.
Bahkan Ukraina sendiri memiliki pengalaman semacam itu. Jika kita ingat situasi di Donbass sejak 2014, meskipun terjadi perang di wilayah itu, pemilu presiden, parlemen, dan lokal tetap dilaksanakan demi kepentingan politik.
Mekanisme apa yang bisa digunakan untuk keluar dari kebuntuan ini?
Semuanya tergantung pada interpretasi dan kemauan politik. Ini jelas merupakan ranah negosiasi. Jika ada kemauan politik dari kedua belah pihak, saya yakin dalam pertemuan di Istanbul yang direncanakan setelah 22 Juni, isu-isu seperti ini bisa dibahas.
Namun, tampaknya kedua belah pihak belum benar-benar siap untuk berdialog secara konstruktif. Ukraina, misalnya, bersikeras bahwa isu keamanan harus diutamakan, sementara hal lainnya menyusul. Padahal, praktik menunjukkan bahwa hanya negosiasi komprehensif di semua bidang yang bisa mengarah pada setidaknya pembekuan konflik — jika belum bisa mencapai perdamaian.
Di sisi lain, Rusia mengajukan tuntutan yang keras dan jelas — hingga sebagian pihak menilainya sebagai ultimatum. Pimpinan politik Ukraina, selama belum mengalami kekalahan total, jelas tidak akan menerima syarat-syarat tersebut. Karena itu, penting untuk mencari kompromi setidaknya pada isu-isu tertentu.
Dalam isu apa kompromi paling sulit dicapai?
Saat ini, isu-isu utama berada di ranah politik. Ini umum terjadi pada konflik berkepanjangan. Yang paling utama adalah soal integritas wilayah — baik bagi Ukraina maupun Rusia. Moskow tidak bersedia membahas status wilayah baru yang kini telah dicantumkan dalam Konstitusinya. Sementara Kyiv menolak mengakui wilayah tersebut sebagai bagian dari Rusia.
Isu mendasar berikutnya adalah penggunaan bahasa Rusia di wilayah Ukraina. Kyiv secara tegas menolak untuk membahasnya. Bagi Moskow, ini adalah prioritas, sebagaimana perlindungan terhadap populasi penutur bahasa Rusia.
Hal serupa juga terjadi pada Gereja Ortodoks Ukraina di bawah Patriarkat Moskow — ini menjadi isu sensitif dan sangat prinsipil.
Memang ada banyak persoalan yang dipandang fundamental oleh kedua belah pihak. Tapi jika ada kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk menemukan jalan keluar dan menyelesaikan konflik sesegera mungkin, maka isu-isu ini perlu dibahas. Untuk itu, kelompok ahli dapat dibentuk dan bekerja secara daring guna mencari solusi kompromi. Mekanisme dan algoritma untuk itu sudah tersedia.
Kepada siapa sebenarnya pernyataan Putin ditujukan?
Pernyataannya bersifat multi-arah. Ditujukan ke Amerika Serikat, warga Rusia, dan juga pihak Ukraina. Setiap audiens akan menafsirkannya secara berbeda, tergantung pada strategi informasi yang dibangun oleh media dan institusi yang mendukung kepemimpinan politik.