Pemerintah Indonesia menanggapi kekhawatiran terkait risiko terhadap hak-hak warga terhadap kesepakatan transfer data pribadi ke Amerika Serikat yang merupakan bagian dari perjanjian perdagangan kedua negara. Kesepakatan tersebut diumumkan setelah negosiasi selama berminggu-minggu, AS sepakat menurunkan tarif impor atas barang-barang Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) melalui siaran persnya memberikan klarifikasi atas pemberitaan yang berkembang terkait kesepakatan transfer data pribadi dalam Joint Statement on Framework for United States–Indonesia Agreement on Reciprocal Trade yang diumumkan oleh Gedung Putih pada 22 Juli 2025.
Sebagai bagian dari perjanjian perdagangan timbal balik dengan Amerika Serikat, Indonesia juga berjanji akan memberikan kepastian hukum terkait kemampuan untuk mentransfer data pribadi ke luar wilayahnya, khususnya ke AS.
Kemkomdigi menegaskan bahwa kesepakatan tersebut tidak berarti bentuk penyerahan data pribadi secara bebas ke Amerika Serikat. Kesepakatan ini menjadi pijakan hukum yang sah, aman, dan terukur dalam tata kelola lalu lintas data pribadi lintas negara.
Pengaliran data antarnegara akan tetap dilakukan di bawah pengawasan ketat otoritas Indonesia, berlandaskan prinsip kehati-hatian serta mengacu pada regulasi nasional, termasuk Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

Tantangan perlindungan data
Pemerintah menyatakan bahwa transfer data lintas batas merupakan praktik umum yang telah diterapkan secara global, termasuk oleh negara-negara anggota G7 seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Jerman, Prancis, Italia, dan Britania Raya.
Indonesia mengambil posisi sejajar dengan negara-negara tersebut dalam mengikuti dinamika tata kelola data digital internasional, tanpa mengabaikan kepentingan nasional dan kedaulatan hukum.
Meskipun negosiasi teknis masih berlangsung, para ahli memperingatkan bahwa kesepakatan ini berpotensi memperburuk sistem perlindungan data di Indonesia yang dianggap masih lemah.
“Jika terjadi kebocoran atau penggunaan data yang tidak tepat, menyelesaikan masalah akan jauh lebih rumit jika data tersebut berada di negara lain,” kata Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Eksekutif Pusat Studi Ekonomi dan Hukum sebagaimana disampaikan kepada AFP.
