Sebelum menjadi "titik awal revolusi Suriah", Daraa adalah tempat yang jarang dipikirkan orang. Kota ini hanyalah sebuah kota di bagian selatan yang berdebu di mana kehidupan berjalan lambat, dan urusan di Damaskus terasa jauh.
Namun, pada Maret 2011, sekelompok anak sekolah di kota ini melakukan sesuatu yang mengubah segalanya.
Delapan belas siswa dari Sekolah Dasar Al Arbaeen mengambil cat. Mereka menemukan dinding sekolah dan menuliskan beberapa kata di yang mereka dengar sebelumnya — "Rakyat menginginkan kejatuhan rezim."
Ini bukan pertama kalinya grafiti digunakan sebagai tindakan perlawanan di Suriah. Namun, seperti yang kemudian disaksikan dunia, ini adalah tempat yang salah, waktu yang salah, dan yang paling penting — orang yang salah berkuasa.
Atef Najib adalah kepala Cabang Keamanan Politik di Daraa, sepupu pemimpin rezim Bashar al Assad, dan seseorang yang menganggap setiap tindakan pembangkangan, sekecil apa pun, sebagai penghinaan pribadi.
Najib menyuruh anak-anak itu ditangkap. Menyiksa mereka. Mencabut kuku mereka. Memukuli dan membakar tubuh mereka. Ketika keluarga mereka memohon agar anak-anak itu dibebaskan, ia menertawakan mereka.
"Lupakan anak-anak kalian," katanya, seperti dilaporkan. "Jika kalian benar-benar ingin punya anak lagi, buatlah lebih banyak. Jika tidak tahu bagaimana caranya, kami akan kirim seseorang untuk mengajari kepada kalian."
Keluarga-keluarga yang hancur itu menceritakan kejadian tersebut ke media lokal. Segera kabar itu menyebar. Sebuah sumbu telah dinyalakan.
Seorang pria dari rezim
Najib lahir dalam kemewahan dan dibesarkan di lingkaran dalam kekuasaan pemerintahan Assad.
Keluarganya berasal dari Jableh, sebuah kota pesisir yang telah lama menjadi basis elit Alawit Suriah. Sebagai putra dari Fatima Makhlouf, satu-satunya saudara perempuan ibu Assad, Anisa Makhlouf, Najib lulus dari Akademi Militer Suriah.
Sejak awal, jalan didepannya sudah jelas. Najib tidak akan pernah menjadi politisi, tidak akan pernah menjadş sepupu Assad yang berpidato atau membuat kesepakatan. Perannya lebih kasar: menegakkan, menghukum, dan mempertahankan cengkeraman kekuasaan.
Najib bergerak melalui jajaran aparat keamanan Suriah yang brutal, hingga akhirnya ditempatkan di Daraa — pekerjaan yang seharusnya mudah.
Namun, Najib tidak pernah memiliki naluri sebagai seorang administrator. Ia memerintah dengan kekejaman. Dan ketika menghadapi tindakan pembangkangan, sekecil apa pun, tanggapannya bukan untuk meredam, tetapi untuk menghancurkan.
Masalahnya, pada tahun 2011, aturan lama tidak lagi berlaku.
Kasus Hamza al Khatib
Hamza al Khatib hanyalah seorang anak laki-laki, berusia 13 tahun ketika dia melangkah keluar ke jalan-jalan di Daraa. Kejahatannya sederhana: berbicara lantang. Dunia keluarganya hancur ketika ia ditangkap oleh pasukan Assad, dipukuli, dan disiksa.
Najib, yang memimpin cabang keamanan di Daraa, tidak peduli. Tubuh Hamza dikembalikan kepada orang tuanya, tak bernyawa, penuh luka, dan dimutilasi.
Wajah anak itu menceritakan apa yang terjadi dalam jam-jam tersebut, tangan yang berlumuran darah yang tidak akan pernah bisa menggenggam masa depan. Insiden terkenal ini tidak membuat orang takut untuk tunduk. Sebaliknya, itu memicu perlawanan.
Protes dimulai dari yang kecil — hanya beberapa lusin keluarga, kebanyakan kerabat anak-anak yang ditahan, berkumpul setelah salat Jumat. Namun kemudian datang tindakan keras. Pasukan keamanan melepaskan tembakan, menewaskan para pengunjuk rasa.
Pemakaman yang terjadi kemudian berubah menjadi protes yang lebih besar. Dan ketika mereka dibalas dengan lebih banyak peluru, kerusuhan menyebar.
Pada bulan April, demonstrasi telah meletus di seluruh Suriah. Ini bukan lagi tentang anak-anak itu. Demonstrasi ini adalah tentang ketakutan, penindasan, kemiskinan, dan korupsi selama bertahun-tahun. Pasukan keamanan merespons dengan lebih banyak penangkapan, lebih banyak pembunuhan.
Menghilang dari sorotan
Dalam kekacauan yang terjadi saat Suriah yang jatuh ke dalam perang, Najib menghilang dari sorotan. Ia dikenai sanksi oleh AS dan Uni Eropa pada 2011, tetapi tampaknya tidak berpengaruh: ia tidak perlu bepergian, dan kekayaannya tetap utuh.
Sementara tokoh-tokoh rezim lainnya didorong ke garis depan, berpidato atau mengawasi pengepungan, Najib tetap berada di dalam bayang-bayang.
Bahkan setelah Assad jatuh pada Desember 2024 — kekuasaannya berakhir oleh kekuatan revolusioner — tidak ada kabar tentang Najib. Beberapa mengira bahwa ia melarikan diri ke luar negeri.
Yang lain percaya ia bersembunyi di suatu tempat, menunggu situasi mereda. Namun, kejahatan masa lalu tidak bisa disembunyikan selamanya. Pada 31 Januari 2025, namanya muncul kembali.
"Dalam operasi yang ditargetkan, Direktorat Keamanan Publik di Latakia, bekerja sama dengan pasukan militer, berhasil menangkap Jenderal Atef Najib," seorang pejabat keamanan Suriah mengumumkan.
Ia ditangkap di Latakia, wilayah jantung keluarga Assad, sebuah wilayah di mana banyak tokoh rezim berlindung pada hari-hari terakhir perang yang juga secara efektif mengakhiri 61 tahun kekuasaan Partai Baath dan 53 tahun rezim Assad.
Setelah hampir 14 tahun, pria yang memainkan peran penting kekerasan dalam memicu mimpi buruk Suriah kini berada dalam tahanan dan akan diadili.
SUMBER: TRT WORLD