BISNIS DAN TEKNOLOGI
6 menit membaca
Kebangkitan mesin militer: Bagaimana AI menentukan irama perang?
Penggunaan kecerdasan buatan yang semakin meluas di medan perang justru membuat manusia menjadi korban terbesar.
Kebangkitan mesin militer: Bagaimana AI menentukan irama perang?
Senapan mesin yang dikendalikan dari jarak jauh dipasang pada kendaraan militer Israel selama serangan Israel di Jenin, di Tepi Barat yang diduduki Israel, 4 Maret 2025. / Reuters
5 Mei 2025

Pertumbuhan pesat kecerdasan buatan (AI) semakin menyita perhatian dunia, namun tidak ada yang lebih mencolok daripada penerapannya di ranah militer.

Bagi mereka yang mendukung perdamaian dan hak asasi manusia, serta bagi jutaan warga yang terjebak dalam konflik, mulai dari Palestina hingga Ukraina, penggunaan AI dalam perang menjadi perhatian yang sangat serius.

Diperkirakan setidaknya 20 negara telah membentuk program AI militer mereka sendiri. Di Amerika Serikat, Pentagon menjalankan lebih dari 800 proyek yang melibatkan AI, yang mencakup kendaraan otonom, analisis intelijen, dan pengambilan keputusan militer.

China pun tidak ketinggalan, berinvestasi besar-besaran dalam mengembangkan perang berbasis kecerdasan buatan.

Saat ini, pembicaraan tentang AI di dunia militer bukan lagi sekadar spekulasi, tetapi kenyataan.

Penggunaan AI dalam perencanaan dan operasi militer telah mengubah cara perang dilakukan, bahkan membentuk ulang dinamika konflik—mulai dari eskalasi hingga pengendalian perang itu sendiri.

Sudah digunakan

Ketika berbicara tentang AI dalam perang, gambaran yang muncul seringkali seperti yang terlihat dalam film: drone otonom menyerang target, unit siber meluncurkan serangan, dan mesin yang membuat keputusan hidup dan mati tanpa campur tangan manusia. Namun, ini bukan sekadar imajinasi masa depan. AI sudah diterapkan secara luas di militer, membentuk cara militer merencanakan dan bertempur.

AI digunakan dalam berbagai aspek, dari sistem pengawasan yang dapat memindai ribuan data dalam sekejap dan menandai ancaman lebih cepat daripada manusia, hingga kendaraan otonom yang bisa menemukan target dengan sedikit pengawasan. Sistem pertahanan udara berbasis AI juga mampu mengidentifikasi dan menetralisir ancaman dengan presisi yang tak tertandingi oleh manusia.

Tak hanya itu, serangan dan pertahanan siber semakin mengandalkan AI untuk memanipulasi medan perang digital, dengan keputusan yang semakin sering dipandu oleh algoritma, yang mampu memproses informasi lebih cepat daripada sistem komando manusia tradisional.

Penerapan AI ini telah menimbulkan kekhawatiran di tingkat global. Salah satu contohnya adalah penggunaan sistem AI oleh Israel dalam perang di Gaza, seperti Gospel dan Lavender, yang memberikan rekomendasi untuk penargetan serangan udara dengan pengawasan manusia yang minim.

Data yang tersedia menunjukkan bahwa AI berkontribusi pada tingginya jumlah korban sipil dan semakin kaburnya batas antara kombatan dan warga sipil.

Namun, masalah utama bukanlah pada AI itu sendiri, melainkan pada keputusan politik yang dibuat oleh para pemimpin yang memilih menggunakan teknologi ini dengan risiko tinggi terhadap nyawa warga sipil. AI di sini berfungsi sebagai cermin bagi mereka yang berkuasa, merasionalisasi keputusan-keputusan politik yang mengesampingkan tanggung jawab moral dengan alasan efisiensi.

AI dan Konflik

Ilmu hubungan internasional telah lama menekankan elemen-elemen seperti ketidakpastian, sinyal, dan kredibilitas dalam membentuk dinamika konflik. AI kini tengah merombak setiap elemen ini dengan cara-cara yang memerlukan perhatian serius.

Pertama, kemampuan AI untuk membuat keputusan cepat dan mengambil tindakan secara otonom dapat menurunkan ambang batas untuk terlibat dalam konflik. Ketika mesin dapat menilai ancaman dan meluncurkan respons dalam hitungan milidetik, biaya politik dan operasional yang dulunya membuat para pemimpin berpikir dua kali untuk memulai permusuhan kini berkurang.

Perubahan ini meningkatkan risiko krisis yang meluas di luar kendali sebelum pengambil keputusan manusia dapat campur tangan. Hambatan tradisional terhadap eskalasi, seperti waktu untuk pertimbangan, pengerahan pasukan yang terlihat, dan gesekan dalam pengambilan keputusan manusia, mulai runtuh.

Kedua, integrasi AI merusak model pencegahan tradisional. Pencegahan bergantung pada komunikasi yang jelas dan kerangka kerja pembalasan yang dapat diprediksi.

Namun, sistem AI dapat memperkenalkan ambiguitas baru dengan menciptakan proses pengambilan keputusan yang tidak transparan, yang membuat lawan sulit untuk membaca niat atau menilai kredibilitas ancaman.

Jika postur militer yang didukung AI tampak mampu meluncurkan serangan preemptive yang cepat, pihak lawan mungkin merasa tertekan untuk bertindak lebih cepat, yang justru dapat memperburuk ketidakstabilan.

Ketiga, AI meningkatkan risiko munculnya bentuk-bentuk eskalasi baru.

Interaksi antar mesin, seperti drone otonom yang bereaksi terhadap pertahanan misil otonom, dapat menghasilkan umpan balik yang sulit diprediksi atau dihentikan oleh manusia.

Eskalasi bisa menjadi semakin sulit dikendalikan justru karena kecepatan dan kompleksitas sistem AI melampaui kapasitas organisasi manusia.

Jika dilihat secara keseluruhan, tren-tren ini menandakan adanya pergeseran besar, meskipun para ahli masih berbeda pendapat soal ke mana arah perubahan ini akan membawa kita.

Namun demikian, bahayanya terletak pada transformasi diam-diam atas struktur-struktur yang selama ini menjadi fondasi dalam mengatur konflik—seperti mekanisme pengekangan, proses penyampaian sinyal, dan jalur untuk de-eskalasi.

Stabilitas strategis, yang sebelumnya bertumpu pada asumsi-asumsi tentang penilaian dan pertimbangan manusia, kini bisa terguncang oleh kenyataan baru yang digerakkan oleh mesin.

Deliberasi menjadi beban dalam perang

Keterlibatan AI dalam perang bukan sekadar mempercepat dinamika yang sudah kita kenal. Yang dipertaruhkan jauh lebih besar: dunia yang selama ini dibentuk oleh tempo manusia, etika manusia, dan naluri manusia kini harus berhadapan dengan medan perang yang dijalankan oleh logika mesin.

Inti dari perubahan ini adalah penyusutan waktu dalam pengambilan keputusan strategis.

Dengan sistem AI yang mampu membaca data pertempuran secara real-time, jeda antara deteksi dan tindakan makin tipis. Dalam kondisi seperti ini, proses pertimbangan manusia—yang dulu dianggap sebagai fondasi kebijakan luar negeri yang matang—malah bisa dianggap menghambat. Keunggulan taktis kini ditentukan oleh kecepatan merespons, bukan oleh kedalaman berpikir.

Logika yang muncul pun brutal: dalam perlombaan di mana siapa yang bereaksi lebih cepat yang menang, militer akan terdorong untuk mengotomatisasi lebih banyak, dan merenung lebih sedikit.

Budaya strategis yang dulu dibangun di atas refleksi, komunikasi, dan respons yang terukur semakin tidak cocok dengan kenyataan baru di medan perang yang dikendalikan algoritma. Dalam rezim waktu seperti ini, strategi berisiko berubah dari sesuatu yang dipilih secara sadar menjadi sekadar hasil sisa dari interaksi antar mesin.

Di saat yang sama, kecerdasan buatan memungkinkan terjadinya senjataisasi atas celah-celah dalam pengaturan otonomi.

Di mana pun ada batasan etis atau hukum yang mengatur cara sistem otonom seharusnya bertindak, akan selalu ada pihak yang mencoba memanfaatkan kelemahan itu. Akibatnya, perang juga akan ditentukan oleh siapa yang paling bersedia mengabaikan pembatasan terhadap mesin—dan membiarkannya bertindak lebih bebas.

Tingkat otonomi yang diizinkan dalam sistem militer berbasis AI juga bisa menjadi bentuk tekanan terselubung.

Dengan menunjukkan bahwa teknologi mereka bisa beroperasi tanpa keterlibatan manusia, sebuah negara dapat mengirim sinyal bahwa mereka siap menaikkan eskalasi, menantang pihak lain untuk ikut bertindak berani atau mundur. Bahkan sebelum peluru pertama ditembakkan, sinyal seperti ini bisa menambah tekanan dan memperbesar efek gertakan.

Yang sedang kita hadapi saat ini bukan sekadar revolusi teknologi.

Risiko salah kalkulasi, meningkatnya kekerasan yang tak terkendali, hingga terkikisnya kompas moral—semua kini terasa semakin dekat. Masa depan peperangan tidak hanya akan ditentukan oleh siapa yang memiliki sistem tercanggih, tetapi juga oleh pilihan-pilihan tentang bagaimana, dan sejauh mana, teknologi ini digunakan.

(Ini adalah bagian kedua dari seri empat bagian tentang bagaimana AI mengubah dunia. Selanjutnya: Perubahan ekonomi)

SUMBER:TRT World
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us