BISNIS DAN TEKNOLOGI
6 menit membaca
British Petroleum: Berakhirnya era raksasa minyak
Serangkaian kesulitan, invasi ke Ukraina, "mimpi hijau" dan perang tarif - bagaimana salah satu perusahaan minyak tertua di dunia sampai pada titik di mana ia menjadi sasaran potensial bagi pesaingnya.
British Petroleum: Berakhirnya era raksasa minyak
BP: Runtuhnya Raksasa Minyak / TRT Russian
30 Juni 2025

Rumor yang mengguncang pasar

Pada 25 Juni, berita energi mengguncang pasar keuangan. The Wall Street Journal memuat kabar mengejutkan: Shell dikabarkan sedang dalam pembicaraan untuk mengambil alih rivalnya asal Inggris, BP. Jika kesepakatan itu terjadi, ini akan menjadi merger minyak terbesar dalam satu generasi — penggabungan dua raksasa ikonik Inggris yang sudah lama menjadi bisik-bisik pasar.

Reaksi pasar langsung dramatis. Saham BP melesat 7% di perdagangan setelah jam bursa, sementara saham Shell turun 3,8%. Investor mencium peluang dari kelemahan satu pihak dan ambisi pihak lain.

Namun keesokan harinya, Shell dengan cepat membantah rumor tersebut. “Tidak ada negosiasi yang sedang berlangsung,” kata perusahaan, menyebutnya sebagai “spekulasi pasar semata.” Pada 26 Juni, Shell bahkan menegaskan tidak mempertimbangkan tawaran untuk membeli BP, yang otomatis melarangnya mengajukan penawaran selama enam bulan ke depan sesuai hukum Inggris.

Tapi mengapa rumor ini muncul? Apa arti semua ini bagi BP, perusahaan yang dulu menjadi raksasa energi terkuat di dunia?

15 tahun penurunan: dari Beyond Petroleum ke realita

Kisah penurunan BP adalah kronik ambisi, bencana, dan taruhan keliru selama satu setengah dekade. Untuk memahami bagaimana raksasa minyak ini kini dianggap sebagai target akuisisi, kita harus kembali ke April 2010.

Deepwater Horizon: bencana yang mengubah segalanya

20 April 2010, tragedi terjadi di Teluk Meksiko. Ledakan di platform pengeboran Deepwater Horizon menewaskan 11 orang dan menyebabkan tumpahan minyak laut terbesar dalam sejarah AS.

Seorang hakim federal menyatakan tumpahan itu akibat “kelalaian berat” dan “kesalahan disengaja” BP. Perusahaan setuju membayar lebih dari 65 miliar dolar dalam denda, biaya pembersihan, dan kompensasi kepada ribuan bisnis terdampak. Pembayaran masih berlanjut sekitar 1 miliar dolar tiap tahun.

Pada 2010, nilai BP turun lebih dari setengah, dan kapitalisasi pasar tak pernah kembali ke puncak sebelumnya. Ini menjadi retakan pertama di fondasi raksasa yang dulu tak tergoyahkan.

Russian Roulette dengan Rosneft

Namun Deepwater Horizon hanyalah awal dari serangkaian krisis. Pukulan berikutnya datang dari Rusia. Pada 2013, BP menjual sahamnya di usaha patungan Rusia, TNK-BP, dan sebagai gantinya mendapat 20% saham di Rosneft, produsen minyak terbesar Rusia.

Selama beberapa tahun, taruhan ini tampak menguntungkan dengan potensi menaikkan produksi minyak BP. Tapi menjadi pemegang saham kedua terbesar di perusahaan yang dikendalikan Kremlin berarti menanggung risiko politik besar.

Risiko itu nyata saat invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, memaksa BP melepas saham di Rosneft dan kehilangan aset senilai sekitar 25 miliar dolar yang menyumbang sepertiga produksi mereka.

Mimpi hijau dan kenyataan pahit

Krisis ketiga lebih halus tapi sama merusaknya. Di tengah perhatian global pada perubahan iklim, BP di bawah CEO Bernard Looney berambisi memimpin transisi energi.

Pada 2020, BP mengumumkan target ambisius mencapai emisi nol bersih pada 2050. Mereka berencana memangkas produksi minyak dan gas sebesar 40% pada 2030 dibanding 2019 dan berinvestasi besar di energi terbarukan.

Waktu itu tampak tepat: pandemi COVID-19 membuat permintaan minyak terendah dalam 30 tahun. Looney bahkan bilang puncak permintaan minyak global sudah tercapai.

Tapi ketika Rusia menyerang Ukraina, dunia berubah. Krisis energi memicu harga minyak dan gas melonjak rekor, dan perusahaan minyak termasuk BP mencatat keuntungan luar biasa. Fokus beralih dari energi bersih ke keamanan pasokan.

Tekanan investor membuat BP merevisi target pada 2023, memangkas rencana pengurangan produksi menjadi 25%. Pada Februari 2025, perusahaan malah membalikkan arah dan meninggalkan visi Looney, kembali ke bahan bakar fosil.

Kembali ke akar atau langkah putus asa?

CEO BP sekarang, Murray Auchincloss, mengakui perusahaan terburu-buru dan “terlalu jauh” karena optimisme yang “salah arah” soal transisi energi. Sebagai bagian dari “reset fundamental,” BP membatalkan rencana pengurangan produksi minyak dan gas dan akan menaikkan belanja di sektor ini hampir 20% menjadi 10 miliar dolar per tahun hingga 2027.

Sementara itu, pengeluaran untuk transisi energi — termasuk listrik bersih, biofuel, dan pengisian kendaraan listrik — akan dipotong tajam sekitar 70% menjadi 2 miliar dolar.

Namun strategi ini membawa risiko besar. Rasio utang bersih terhadap ekuitas BP sekitar 40% akhir tahun lalu, jauh lebih tinggi dari Shell, TotalEnergies, Chevron, dan ExxonMobil. Ini memaksa perusahaan memangkas pembelian kembali saham kuartalan saat raksasa minyak lain malah meningkatkan imbal hasil untuk pemegang saham.

Aktivis di gerbang

Kondisi BP yang melemah menarik perhatian salah satu investor aktivis paling disegani dunia, Elliott Investment Management. Hedge fund ini hanya mengalami kerugian dua tahun sepanjang hampir 50 tahun beroperasi, dan dikenal mampu mengganti manajemen puncak hingga memecah perusahaan.

Elliott kini memegang lebih dari 5% saham BP dan melancarkan kampanye agar perusahaan kembali fokus ke minyak dan gas, menuntut perubahan drastis seperti pemotongan biaya besar-besaran, penjualan aset, dan keluar dari energi terbarukan.

Beberapa dekade lalu, ide bahwa investor AS bisa membeli saham perusahaan ikonik Inggris dan memaksa perubahan strategi hampir tak terbayangkan. Ini bukti betapa rentannya posisi BP sekarang.

Perang tarif dan tantangan baru

Pukulan terakhir datang dari kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump. Setelah “hari pembebasannya,” nilai pasar BP merosot hampir seperempat, lebih parah dari kejatuhan pasca-bencana Deepwater Horizon.

Jatuhnya harga minyak global akibat perang tarif Trump sangat memukul BP. Perusahaan dinilai lebih rentan terhadap dampak tarif yang membuat harga minyak anjlok dari hampir 75 dolar per barel menjadi kurang dari 60 dolar, terendah dalam hampir empat tahun.

Saham BP turun hampir 17% sejak awal tahun, sementara Shell turun sedikit di atas 8%, dan ExxonMobil serta Chevron masing-masing turun sekitar 7%.

Pemburu dan mangsa

Dengan posisi BP yang melemah dibanding pesaing, muncul spekulasi perusahaan bisa menjadi target akuisisi, baik seluruhnya maupun sebagian. Kapitalisasi pasar Shell kini lebih dari dua kali lipat BP, sehingga merger semacam itu secara teknis memungkinkan.

Penggabungan kedua perusahaan akan menjadi salah satu akuisisi terbesar dalam sejarah industri minyak, menyatukan dua raksasa Inggris ikonik dalam kesepakatan yang telah dibicarakan selama puluhan tahun.

Calon pembeli potensial lainnya bisa berasal dari perusahaan minyak nasional di Timur Tengah. Kesepakatan dengan pembeli asal AS, meskipun bukan hal yang mustahil, kemungkinan besar akan kurang diterima oleh regulator Inggris.

Pelajaran bertahan hidup

Kisah BP menjadi peringatan bagaimana bahkan perusahaan terbesar sekalipun bisa rentan saat keputusan buruk, guncangan eksternal, dan perubahan kondisi pasar menumpuk. Mulai dari bencana lingkungan, risiko geopolitik, kegagalan ambisi iklim, hingga tekanan dari investor aktivis, BP menghadapi badai tantangan yang sempurna.

Pertanyaannya kini adalah, apakah perusahaan berusia 115 tahun ini mampu beradaptasi dan bangkit kembali, atau justru menjadi contoh lain bagaimana dunia yang terus berubah menelan bahkan para raksasa yang dulu paling kuat.

Rumor akuisisi memang mungkin terlalu dini, tapi hal itu menyoroti realita keras: di dunia energi saat ini, bahkan raksasa pun tidak kebal menjadi mangsa predator yang lebih tangguh.

SUMBER:TRT Russian
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us