Ditolak karena jilbab, perempuan Turkiye ini akhirnya lulus bersama putrinya bertahun-tahun kemudian
Ditolak karena jilbab, perempuan Turkiye ini akhirnya lulus bersama putrinya bertahun-tahun kemudian
Kisah Aycan Ozonay harusnya berakhir dalam diam, setelah ia kehilangan haknya untuk mengenyam pendidikan karena mengenakan jilbab usai kudeta 1997 di Turkiye. Namun kisah itu justru lahir kembali — dalam jubah wisuda yang ia kenakan bersama putrinya.
2 Juli 2025

Beberapa kisah tak dimulai dengan sorotan media atau pidato meriah. Kisah ini dimulai dalam irama tenang dari sebuah alat tenun.

Aycan Ozonay, kini berusia 49 tahun, pernah terpilih untuk mengajarkan tradisi sakral menenun kilim (karpet tradisional) di kota kelahirannya, Mardin, Turkiye. Namun harapan itu ikut ditarik ketika ia ditolak hanya karena mengenakan jilbab.

Di pusat komunitas perempuan yang dikenal sebagai CATOM, Aycan dipilih oleh para instrukturnya bersama satu kandidat lain untuk menjadi pengajar tenun pada tahun 1997.

Namun saat menghadiri wawancara, apa yang dikenakannya — sebuah jilbab — lebih menarik perhatian dibanding kemampuannya.

Temannya yang tidak berjilbab terpilih. Aycan dikesampingkan secara halus.

“Mereka bahkan tidak mengizinkanku mengajar menenun,” katanya kepada TRT World. “Tapi aku tetap tinggal sebagai murid. Dua tahun. Aku menunggu. Aku berharap. Aku termasuk yang terbaik. Tapi tak ada artinya.”

Aycan adalah korban dari larangan jilbab, yang membuat banyak perempuan dilarang masuk universitas, dunia kerja, bahkan upacara resmi.

Larangan ini berakar dalam sejarah politik Turkiye. Setelah kudeta militer 1980, negara memperkenalkan peraturan berpakaian di ruang publik yang melarang perempuan mengenakan jilbab di institusi pemerintahan.

Awalnya hanya berlaku untuk pegawai negeri seperti guru, pengacara, dan anggota parlemen, aturan ini kemudian meluas. Pada 1990-an, larangan menyentuh kampus dan institusi swasta.

Kebijakan ini diperketat pasca kudeta 1997, ketika militer mengeluarkan memorandum yang mengubah kehidupan sipil atas nama perlindungan sekularisme. Jilbab yang dulu menjadi ekspresi pribadi iman, berubah menjadi simbol perlawanan — dan pengucilan.

Larangan ini akhirnya dicabut melalui paket demokratisasi pada 2013.

Lahir pada 1976 di rumah batu pasir di Mardin, Aycan berasal dari keluarga besar dan sederhana. Kakeknya seorang pembuat pelana dengan 12 anak. Ayahnya bekerja serabutan, ibunya ibu rumah tangga. Ia anak keempat dari enam bersaudara.

Aycan mulai mengenakan jilbab pada usia 10 tahun, bukan karena paksaan, tapi karena keinginan sendiri. Pamannya menghadiahkan sehelai jilbab. Ia memakainya dengan bahagia.

“Itu datang dari dalam diriku,” katanya. “Aku merasa utuh karenanya.”

Namun sekolah menengah mengubah segalanya. Jilbab yang membuatnya merasa terlihat, menjadi alasan ia dipinggirkan. Guru-guru berbisik. Kepala sekolah menutup gerbang.

“Lepaskan, atau jangan masuk.”

“Aku bahkan tidak diizinkan masuk halaman sekolah,” katanya. “Mereka bilang: lepaskan, atau jangan masuk.”

Ia dipaksa memilih. Ia memilih jilbabnya. Bersamaan dengan itu, pendidikannya pun berakhir.

Aycan tak mendapatkan ijazah sekolah menengah. Mereka bilang ia hanya bisa kembali jika melepas jilbab. Ia tidak pernah melakukannya. Mimpi-mimpinya — lulus, menjadi guru — ikut terhenti. Jilbab menjadi garis yang tak mau mereka terima.

Kakaknya kehilangan pekerjaan sebagai pegawai negeri. Sepupu-sepupunya harus keluar negeri untuk kuliah karena berjilbab. Aycan, yang hanya ingin belajar, diberi satu jawaban: tidak ada ijazah, tidak ada kelas, tidak ada masa depan.

Yang ia tak tahu, ia hanyalah satu dari ribuan yang kehidupannya terguncang akibat kudeta yang memperparah larangan itu.

Setelah keluar dari sekolah, Aycan menempuh pendidikan Al-Quran dan kemudian belajar di SMA terbuka. Meski mahir dalam menenun, ia tetap ditolak menjadi pengajar.

“Mereka bilang aku cukup bagus. Tapi tidak dengan jilbab.”

Tahun-tahun berlalu. Ia menikah. Membangun keluarga. Mengasuh tiga anak. Hidup terus berjalan.

Namun luka itu tetap ada.

Perjalanan seorang pahlawan

Suatu hari, bertahun-tahun kemudian, putrinya, Sevval, mulai mempersiapkan ujian masuk universitas. Aycan duduk di sampingnya, membantunya melihat panduan pemilihan jurusan.

Lalu ia terdiam.

Motivasi terbesarnya ada di sana. Ia menemukan kuota khusus untuk perempuan di atas usia 34 tahun.

“Rasanya seperti takdir membukakan pintu kecil untukku,” katanya.

Ia mendaftar ke Program Perawatan Lansia di Universitas Mardin Artuklu tahun 2023. Sevval memilih jurusan Sosiologi.

Akhirnya, Aycan bisa memasuki kampus — bukan sebagai tamu, tapi sebagai mahasiswa. Dan kali ini, ia tidak sendiri. Putrinya berjalan bersamanya.

“Kami bersiap bersama setiap pagi,” kenang Aycan. “Kami berbagi kantin, ikut klub yang sama. Rasanya seperti muda kembali.”

Bagi Sevval, itu adalah momen pembuka mata.

“Awalnya orang-orang tidak percaya kalau ibu adalah mahasiswa,” kata Sevval. “Dosen-dosen bertanya kenapa aku membawa ibuku ke kampus. Saat tahu kami sekelas, mereka tercengang.”

Lewat perjalanan itu, Sevval melihat ibunya dari sudut pandang baru.

Ibu, istri, sekaligus pelajar

“Aku sudah mendengar kisahnya sejak kecil. Tapi baru kali ini, saat berjalan bersamanya, aku benar-benar merasakan dalamnya luka itu. Ia bukan hanya ibuku — ia adalah perempuan yang pernah dibungkam,” ujar Sevval.

Hari wisuda pun tiba dua tahun kemudian. Mereka berdiri berdampingan, berjubah, berjilbab, dan penuh semangat yang tenang.

“Saat kami melempar topi ke langit,” kata Aycan, “rasanya seperti semua mimpi yang pernah kukubur ikut terbang bersamanya.”

Ia terdiam sejenak. “Itu bukan sekadar ijazah. Itu keadilan.”

Bagi Sevval, momen itu tetap menyala dalam ingatannya. “Aku pernah wisuda sebelumnya, tapi yang ini berbeda. Ini milik kami. Seorang putri berdiri bersama ibunya. Sebuah mimpi yang menolak untuk mati.”

Pengalaman itu mengubah ikatan mereka. Yang tadinya sudah dekat, kini menjadi lebih dari sekadar ibu dan anak — mereka menjadi saksi atas kekuatan satu sama lain.

“Ia seorang mahasiswa, seorang ibu, seorang istri, dan seorang pekerja — semuanya sekaligus,” ujar Sevval. “Ia mengajariku bahwa perempuan tak harus memilih hanya satu peran.”

‘Aku bangga melihat Turkiye hari ini’

Terinspirasi oleh sang ibu, Sevval memulai proyek akademisnya sendiri — studi sosiologi yang didanai TUBITAK tentang budaya merpati di Mardin, meneliti hubungan manusia dan burung dalam kehidupan kota yang berubah.

“Kisah ibuku mengajarkanku bahwa merebut kembali masa lalu bisa membuka ruang bagi orang lain untuk terbang,” ujarnya.

Dan untuk para perempuan yang merasa sudah terlambat?

“Pendidikan tidak punya tanggal kedaluwarsa,” kata Aycan. “Jika aku bisa berbicara pada diriku yang dulu ditolak di gerbang sekolah, aku akan bilang: Suatu hari, kamu akan kembali. Bukan sendiri, tapi bersama putrimu.”

Sevval mengangguk. “Suatu hari nanti, aku akan bercerita kepada anak-anakku tentang hari itu, saat kami melempar topi ke langit. Akan kuceritakan bahwa ada jilbab di bawahnya. Dan ada kisah di dalamnya. Dan kisah itu milik kami.”

“Aku bangga melihat sejauh apa Republik Turkiye telah melangkah,” kata Aycan. “Melihat perempuan mengambil tempatnya yang sah di institusi publik, melihat anggota parlemen berjilbab mewakili kita, dan mengetahui bahwa pendidikan adalah hak semua orang.”

Sevval menambahkan, “Suatu hari nanti, aku akan berkata pada anakku bahwa topi yang kami lempar ke langit itu adalah simbol kebebasan.”

Dan Aycan punya pesan untuk para perempuan muda: “Aku ingin mengingatkan mereka bahwa pendidikan tak mengenal usia atau tenggat. Belajar adalah perjalanan seumur hidup. Kita harus terus bertumbuh, memperbarui diri, dan menyesuaikan dengan zaman.”

SUMBER:TRT World
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us