Sejumlah negara Asia menyambut lega pada Jumat setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan tarif impor yang dalam beberapa kasus lebih rendah dari yang sebelumnya diancamkan, serta ditunda selama satu minggu hingga 7 Agustus.
Namun, negara lain — termasuk Taiwan yang menjadi raksasa industri semikonduktor — masih berharap bisa menegosiasikan tarif yang lebih ringan. Ketidakpastian juga tetap menyelimuti aturan transshipment (pengiriman melalui negara ketiga) dan bea atas mobil Jepang.
Pengumuman Trump ini tidak mencakup China — eksportir terbesar kawasan yang kini sedang bernegosiasi dengan AS menjelang tenggat 12 Agustus — namun berikut reaksi dari beberapa ekonomi Asia lainnya:
Thailand: ‘keberhasilan besar’
Tarif sebesar 19 persen untuk Thailand dan Kamboja — dua negara yang baru saja mengalami bentrokan perbatasan yang menewaskan lebih dari 40 orang — jauh lebih ringan dibandingkan ancaman sebelumnya sebesar 36 persen.
Thailand menyebut hasil tersebut sebagai “keberhasilan besar” dan “pendekatan win-win yang bertujuan menjaga basis ekspor Thailand dan stabilitas ekonomi jangka panjang”.
Defisit perdagangan AS dengan Thailand mencapai $45,6 miliar pada tahun 2024, dengan ekspor utama berupa mesin, kendaraan, dan komponen otomotif.
Kamboja: ‘berita terbaik’
Perdana Menteri Kamboja Hun Manet menyebut keputusan itu sebagai “berita terbaik bagi rakyat dan perekonomian Kamboja untuk terus membangun negara”.
Sebagai produsen utama pakaian murah untuk merek-merek Barat, Kamboja sebelumnya terancam dikenai tarif hingga 40 persen.
Sementara itu, negara tetangga Vietnam telah menyepakati tarif yang diturunkan menjadi 20 persen bersama Washington pada awal Juli lalu.
Bagaimana dengan transshipment?
Namun, Washington juga berencana memberlakukan tambahan tarif sebesar 40 persen untuk barang-barang yang dikirim ke AS lewat negara ketiga — praktik yang dikenal sebagai transshipment.
Kebijakan ini berpotensi merugikan negara-negara Asia Tenggara yang memiliki rantai produksi terintegrasi erat dengan China.
Banyak pabrik di Kamboja, misalnya, dimiliki oleh investor China, dan Gedung Putih menuduh negara tersebut mengizinkan barang-barang China transit sebelum masuk pasar AS, demi menghindari tarif tinggi yang dijatuhkan pada Beijing.
Meski begitu, para pakar masih belum sepakat mengenai bagaimana Washington akan mendefinisikan barang-barang “transshipment” tersebut secara hukum.
Taiwan: masih berupaya
Presiden Taiwan Lai Ching-te menyebut tarif 20 persen yang diumumkan Trump sebagai “sementara... dengan kemungkinan pengurangan lebih lanjut bila kesepakatan tercapai”.
Sebelumnya, AS mengancam akan mengenakan tarif 32 persen pada Taiwan serta bea tambahan atas ekspor semikonduktor yang sangat besar dari pulau tersebut.
Permintaan tinggi terhadap chip AI asal Taiwan telah memperlebar surplus perdagangannya dengan AS, sehingga Taiwan menjadi salah satu target utama kebijakan tarif Trump.
“Washington membutuhkan Taiwan untuk mendukung rantai pasok yang tangguh serta manufaktur dan teknologi tingkat tinggi,” ujar Wakil Presiden Hsiao Bi-khim baru-baru ini.
Jepang: kebingungan soal mobil
Tarif sebesar 15 persen yang disepakati pekan lalu antara Jepang dan AS — turun dari ancaman sebelumnya sebesar 25 persen — dijadwalkan mulai diberlakukan pada 7 Agustus.
Namun, ekspor mobil Jepang saat ini masih terkena tarif 25 persen, dan Tokyo ingin tahu kapan tarif itu akan diturunkan juga.
“Jepang akan terus meminta pihak AS segera mengambil langkah-langkah untuk mengimplementasikan kesepakatan terbaru, termasuk pengurangan tarif atas mobil dan suku cadangnya,” ujar juru bicara pemerintah Yoshimasa Hayashi pada Jumat.
Kebingungan juga muncul atas klaim Trump bahwa Jepang — sebagai “bonus penandatanganan” — akan berinvestasi $550 miliar di Amerika Serikat, dengan proyeksi AS akan memperoleh kembali 90 persen dari keuntungan tersebut.