Sanksi besar-besaran dari Barat terhadap Rusia awalnya bertujuan untuk mengisolasi Kremlin dan memutus kemampuannya membiayai perang di Ukraina. Namun lebih dari dua tahun berlalu, ekonomi Rusia justru terbukti tangguh—dengan pertumbuhan 4,3 persen di atas perkiraan dan anggaran perang yang melimpah.
Sanksi tak mampu menghentikan serangan Moskow atau memangkas dana militernya. Sebaliknya, langkah tersebut justru membentuk ulang jalur perdagangan global dan memperkuat polarisasi geopolitik.
Meski demikian, Amerika Serikat kembali mengambil jalur serupa—kali ini terhadap Iran.
Dalam langkah terbarunya, Washington menjatuhkan sanksi baru terhadap individu dan entitas yang dituduh membantu Teheran menjual minyak secara diam-diam di pasar global.
Tujuan resminya? Memutus arus kas Iran dan memperlambat program nuklirnya.
Jika ini terdengar familiar, memang begitu kenyataannya. Selama beberapa dekade, AS telah menggunakan tekanan ekonomi untuk mengendalikan Iran. Sanksi baru ini menggemakan tindakan serupa yang dijatuhkan setelah Iran menembakkan rudal ke target Israel pada Oktober lalu.
Gagasan dasar sanksi sederhana: menimbulkan tekanan ekonomi guna mencegah konflik militer. Tapi apakah berhasil? Itu yang masih dipertanyakan.
Kini, Iran bersiap untuk menggelar pembicaraan terkait isu nuklir dengan perwakilan dari negara E3—Prancis, Jerman, dan Inggris—di Istanbul. Tujuannya adalah meredakan ketegangan seputar program nuklir Iran.
Yang mencolok, Amerika Serikat tidak diundang ke meja perundingan.
Senjata andalan AS
Saat ini, AS memiliki sanksi terhadap lebih dari sepertiga negara di dunia.
Lambat laun, sanksi menjadi alat kebijakan luar negeri default bagi Washington—bukan sepenuhnya perang, tapi juga bukan diplomasi. Meski punya potensi, alat ini sering kali terlalu kasar.
Sanksi bisa membekukan aset bernilai miliaran dolar, mengganggu industri, dan menekan pemerintahan—semua tanpa mengangkat senjata. Namun, dampaknya juga bisa menghantam warga sipil, merusak kredibilitas AS di mata sekutu, bahkan meleset dari target.
Pengecualian AS dari diplomasi nuklir Iran menunjukkan bahwa strategi sanksi bisa justru menyingkirkan Washington dari proses yang ingin ia pengaruhi.
“Sanksi adalah instrumen politik untuk memaksa dan menghukum,” ujar Olga Krasnyak, dosen Hubungan Internasional di Higher School of Economics, Moskow.
“Tujuannya mengubah perilaku negara. Tapi kalau perilaku itu berakar pada identitas nasional atau kedaulatan, sanksi justru memperkuatnya, bukan mengubah,” jelasnya kepada TRT World.
Contohnya, Kuba. Sanksi telah diberlakukan sejak era Perang Dingin. Pemerintahnya tetap tidak berubah, tapi warga sipil menghadapi kekurangan kronis pangan, obat, dan kebutuhan pokok lainnya.
Situasi serupa terjadi di Suriah. Meski AS dan negara Barat mulai melonggarkan sanksi era Assad, kelompok kemanusiaan menegaskan bahwa rakyat Suriah masih sangat membutuhkan bantuan.
Analis Javier Farje, pakar urusan internasional dengan fokus Amerika Latin, mengamini pandangan itu.
“Sanksi ekonomi ditujukan untuk menghukum pelanggaran—terorisme, pelanggaran HAM, atau agresi—atau memaksa perubahan perilaku. Tapi itu tidak selalu berhasil,” ujarnya kepada TRT World.
Ia kembali mencontohkan Kuba. “Embargo AS sejak 1960 adalah rezim sanksi tertua di dunia. Embargo itu melarang ekspor, membatasi akses dolar, dan memblokir perusahaan AS. Namun, rezim Kuba tetap bertahan, sementara rakyatnya hidup dalam keterasingan dan kelangkaan.”
Farje juga menyebut bahwa beberapa pemukim Israel yang mendorong pengusiran warga Palestina menghadapi larangan perjalanan dan pembekuan aset. Di sisi lain, AS justru menjatuhkan sanksi terhadap Pelapor Khusus PBB Francesca Albanese karena mengkritik genosida Israel—menunjukkan bahwa sanksi bisa lebih bersifat politis ketimbang adil.
Bukan hanya Iran yang terdampak
Sanksi memang dirancang untuk menyakitkan—dan sering kali berhasil. Mereka membekukan aset, memblokir akses bank, memutus hubungan dagang, dan menghantam industri.
Bagi Iran, dampak ekonominya sangat besar: inflasi tinggi, mata uang anjlok, dan kerugian diperkirakan mencapai lebih dari $1,2 triliun antara 2011 dan 2022, menurut ekonom Reza Zamani.
Minyak—urat nadi ekonomi Iran—menjadi semakin sulit dijual. Meski berusaha menghindari pembatasan, pendapatan per barel kini jauh lebih kecil akibat premi risiko, perantara, dan terbatasnya akses ke pasar Barat.
“Ekonomi Iran makin terdorong masuk ke dalam jaringan bayangan,” kata Mario Arturo Estrada dari Universiti Kuala Lumpur Business School.
“Untuk menghindari sanksi, Iran bergantung pada perantara, pedagang berisiko tinggi, dan jalur tidak resmi. Artinya, margin keuntungan menipis dan tekanan ekonomi makin berat.”
Namun, dampak sanksi juga merambat ke negara lain. Pengetatan pasokan minyak bisa mendorong kenaikan harga global. Bank dan perusahaan menghabiskan miliaran dolar untuk kepatuhan. Sanksi sekunder menghukum perusahaan negara ketiga yang tetap berbisnis dengan Iran, memicu efek domino di pasar internasional.
Ekonom Vicky Pryce memperingatkan bahwa sanksi adalah “alat yang menyimpang” dan sering gagal mencapai tujuan.
“Bukti menunjukkan bahwa sanksi jarang efektif. Negara yang ditargetkan bisa mencari celah, sering kali dengan bantuan pihak lain. Dan pada akhirnya, semua pihak, termasuk negara pemberi sanksi, ikut menanggung biaya,” jelasnya.
Iran masih mampu mengekspor minyak lewat jalur yang tidak transparan, mencerminkan keterbatasan mekanisme penegakan. Pola serupa terlihat di Rusia, Venezuela, bahkan di antara pemukim ilegal Israel yang disanksi Uni Eropa.
Industri kepatuhan terhadap sanksi kini menjadi bisnis bernilai miliaran dolar.
Di Washington, firma hukum, konsultan, dan penyedia perangkat lunak membantu perusahaan menghindari pelanggaran. Bank mempekerjakan analis untuk menyaring transaksi. Perusahaan global kini lebih fokus pada kepatuhan hukum daripada ekspansi pasar.
Hasilnya: ekonomi global yang makin hati-hati dan terfragmentasi. Banyak perusahaan memilih menghindari seluruh kawasan hanya untuk menghindari sanksi AS, meski aturannya sering tidak jelas dan terus berubah.
“Pasar gelap dan jaringan kriminal mulai mengisi kekosongan,” ujar Estrada. “Negara-negara yang terkena sanksi beralih ke penyelundupan dan perdagangan bawah tanah, menciptakan ekonomi informal di luar sistem Barat.”
Ia menambahkan, “Biaya kepatuhan sangat besar. Banyak perusahaan global mulai menarik diri dari kawasan yang terkena sanksi, memperkuat fragmentasi.”
Siapa yang untung, siapa yang rugi
Tidak semua sanksi berhasil. Afrika Selatan adalah salah satu contoh langka di mana sanksi global membantu mengakhiri apartheid. Pada 2010-an, sanksi juga mendorong Iran ke meja perundingan nuklir.
Namun, lebih banyak yang gagal. Korea Utara tetap bersenjata nuklir meski puluhan tahun disanksi. Rusia masih melanjutkan perang di Ukraina dengan tanker bayangan dan mitra dagang baru untuk melemahkan sanksi.
Iran pun bertahan dari tekanan AS. Kepemimpinan dan kebijakannya tak berubah. Sebaliknya, hubungannya dengan Rusia dan China justru makin erat—realignment yang kini membentuk ulang tatanan global.
Sistem sanksi AS bergantung pada dominasi dolar. Karena sebagian besar perdagangan dan sistem keuangan global berbasis dolar, Washington bisa mengawasi sebagian besar ekonomi internasional.
“Iran kini bersekutu erat dengan Moskow dan Beijing,” kata Estrada. “Aliansi BRICS—Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan—semakin solid. Jika mereka bersatu dan mengurangi ketergantungan pada dolar, pengaruh AS bisa melemah.”
Perubahan itu sudah mulai terjadi. Rusia dan China tengah membangun sistem pembayaran alternatif. Bank sentral negara-negara Global South mulai mendiversifikasi cadangan. BRICS bahkan mempertimbangkan untuk memperluas keanggotaan, termasuk mengajak Iran dan Turkiye.
Krasnyak melihat hal ini sebagai bagian dari transformasi global yang lebih besar.
“Sanksi mempercepat fragmentasi tatanan dunia. Kita bergerak dari sistem berbasis aturan yang dipimpin AS menuju dunia multipolar. Semakin besar tekanan Washington, semakin besar pula dorongan negara-negara ini untuk meraih kedaulatan—bukan hanya militer, tapi juga ekonomi dan teknologi,” ujarnya.
Farje sependapat, menambahkan bahwa sanksi hanya mempererat solidaritas di antara rezim yang ditargetkan.
“Ambil contoh Nicolas Maduro di Venezuela. Ia disanksi karena dugaan kecurangan pemilu. Asetnya di AS dibekukan, bahkan jet kepresidenannya disita. Tapi ia tak gentar—justru makin menjauh dari Barat,” katanya.
Pola yang sama tampaknya sedang terjadi lagi. Jelang pembicaraan nuklir di Istanbul bersama negara-negara Eropa, pejabat Iran menyatakan dengan tegas bahwa mereka "tidak memiliki rencana" untuk kembali berunding dengan Washington.
Ini sangat kontras dengan era JCPOA 2015, saat diplomasi yang dipimpin AS berhasil membawa Iran ke meja perundingan. Kini, diplomasi tetap berlangsung—tapi tanpa AS di ruangan.
Saat Iran bertemu dengan kekuatan Eropa di Istanbul dan AS terus memperluas daftar sanksinya, pertanyaan besarnya tetap: apakah sanksi masih alat pengaruh, atau justru tanda kebuntuan diplomasi?
Seperti kata Krasnyak, “Tidak ada prospek realistis bahwa AS akan mencabut sanksi terhadap Iran dalam waktu dekat, sebagaimana kecil kemungkinannya Iran akan mengubah kebijakan intinya. Ini bukan sekadar soal minyak atau nuklir—melainkan narasi keamanan yang telah mengakar, dan itu tak mudah diubah.”
Jika dinamika saat ini terus berlanjut, pembicaraan di Istanbul mungkin tak menghasilkan kesepakatan nuklir baru—namun bisa jadi menandai awal dari tatanan dunia baru, di mana sanksi kehilangan taji, dan diplomasi berjalan tanpa Washington sebagai pusatnya.