DUNIA
4 menit membaca
Demarkasi perbatasan membuka jalan pemulihan bagi hubungan Lebanon dan Suriah
Lebanon dan Suriah telah menandatangani perjanjian demarkasi perbatasan. Kesepakatan ini, yang didukung oleh pemerintah baru Suriah, dapat mengurangi penyelundupan, mengakhiri campur tangan politik, dan membawa stabilitas ke wilayah tersebut.
Demarkasi perbatasan membuka jalan pemulihan bagi hubungan Lebanon dan Suriah
Menteri Pertahanan Lebanon Michel Menassa dan Menteri Pertahanan Suriah Murhaf Abu Qasra berjabat tangan sementara Menteri Pertahanan Saudi Pangeran Khalid bin Salman Al Saud menyaksikan, di Jeddah, Arab Saudi, 27 Maret 2025. / Reuters
18 April 2025

Pada 27 Maret 2025, Menteri Pertahanan Lebanon Michel Menassa dan mitranya dari Suriah, Mourhaf Abou Qasra, menandatangani perjanjian keamanan di Jeddah. Kesepakatan ini bertujuan memperkuat koordinasi di perbatasan dan merespons ancaman militer, menyusul bentrokan mematikan yang menewaskan sepuluh orang.

Penandatanganan berlangsung di bawah mediasi Menteri Pertahanan Saudi, Pangeran Khalid bin Salman. Kesepakatan ini dipandang sebagai titik balik dalam sejarah hubungan kompleks antara dua negara bertetangga tersebut.

Perjanjian mencakup pembentukan komite hukum dan mekanisme bersama untuk meningkatkan keamanan dan stabilitas di sepanjang garis perbatasan. Ketegangan meningkat sejak awal Maret, setelah otoritas baru Suriah menuduh kelompok bersenjata Lebanon, Hezbollah, menculik dan membunuh tiga tentara Suriah.

Selama puluhan tahun, ketiadaan batas wilayah yang jelas telah memfasilitasi penyelundupan lintas batas, memperkuat kelompok bersenjata, dan memperpanjang pengaruh Suriah dalam politik Lebanon. Meski secara resmi mundur pada 2005 pasca pembunuhan mantan Perdana Menteri Rafik Hariri—yang secara luas dikaitkan dengan Damaskus—Suriah tetap mempertahankan cengkeramannya melalui jaringan intelijen, proksi politik, dan ekonomi.

Suriah pertama kali mengintervensi Lebanon pada 1976 saat perang saudara, dan memperkuat kehadirannya melalui Perjanjian Taif 1989. Hingga 2005, lebih dari 14.000 tentara dan agen intelijen Suriah berada di Lebanon di bawah rezim Assad.

Hubungan kedua negara didominasi oleh ketimpangan kekuasaan. Dewan Tinggi Suriah–Lebanon (SLHC), yang dibentuk pada 1991 melalui “Perjanjian Persaudaraan, Kerja Sama, dan Koordinasi”, malah menjadi sarana kontrol Damaskus atas keputusan-keputusan strategis Lebanon.

Kendati pasukan Suriah mundur, pengaruh mereka tetap terasa—terutama melalui kelompok Hezbollah yang didukung Iran. Kelompok ini mengisi kekosongan kekuasaan dan mempertahankan pengaruh Suriah lewat jalur politik dan militer.

Dengan berakhirnya pemerintahan Bashar al-Assad pada Desember 2024 dan terbentuknya pemerintahan baru di Damaskus, muncul harapan untuk membangun kembali hubungan atas dasar saling menghormati dan diplomasi antarpemerintah, bukan dominasi.

Pemulihan ini mensyaratkan penghapusan struktur lama seperti SLHC, serta menolak segala bentuk pengaruh asing yang membatasi kedaulatan Lebanon.

Langkah penting lainnya adalah menangani keberadaan Partai Ba’ath di Lebanon. Selama ini, partai tersebut beroperasi sebagai perpanjangan tangan rezim Suriah. Namun, pemerintah transisi Suriah membubarkan partai tersebut pada 29 Januari 2025, sesuai konstitusi sementara baru yang ditandatangani Presiden Ahmed al Sharaa pada 13 Maret.

Jika Suriah telah melarang Partai Ba’ath, maka Lebanon juga perlu menindak tegas pengaruh partai ini. Anggotanya tidak semestinya mencalonkan diri dengan nama baru dalam pemilu mendatang. Era partai-partai yang didukung Suriah sudah semestinya berakhir.

Damaskus yang berbeda?

Selama tiga bulan terakhir, kepemimpinan baru Suriah menunjukkan itikad baik terhadap Lebanon. Tidak seperti rezim sebelumnya yang memandang Lebanon sebagai bagian dari “Suriah Raya”, pemerintah baru menunjukkan sikap menghormati kedaulatan negara tetangga.

Salah satu langkah konkret adalah operasi militer terhadap jaringan penyelundupan narkoba di wilayah perbatasan—terutama di area yang dikuasai oleh Hezbollah dan sekutunya. Militer Suriah menutup fasilitas produksi dan jalur distribusi narkoba yang sebelumnya dilindungi oleh kelompok bersenjata. Ini menjadi perubahan besar dibanding era Assad yang justru menjadikan perdagangan narkoba sebagai sumber pendanaan perang.

Damaskus menyatakan tak ingin terlibat konflik dengan tentara Lebanon, dan berharap Beirut bertanggung jawab penuh atas keamanan perbatasannya. Sikap ini memberi sinyal positif bahwa campur tangan politik dari Suriah mungkin akan benar-benar berakhir.

Namun, kesepakatan perbatasan ini harus diikuti dengan implementasi nyata—bukan hanya simbolis. Selama bertahun-tahun, lemahnya pengawasan perbatasan telah membuka ruang bagi penyelundupan bahan bakar, senjata, dan narkoba.

Patroli bersama antara militer Lebanon dan Suriah dapat membantu menghentikan arus ilegal ini, sekaligus memperkuat ketertiban dan menopang ekonomi Lebanon yang terguncang oleh perdagangan gelap.

Shebaa Farms dan dalih Hezbollah

Salah satu isu paling sensitif adalah Shebaa Farms—wilayah sengketa yang saat ini diduduki Israel namun diklaim oleh Lebanon dan Suriah. Selama ini, Hezbollah menggunakan ketidakjelasan status wilayah ini sebagai alasan mempertahankan keberadaan militer mereka.

Jika penetapan batas wilayah memperjelas status Shebaa—apakah milik Lebanon atau Suriah—maka argumen Hezbollah untuk mempertahankan persenjataan akan kehilangan legitimasi. Hanya militer resmi Lebanon yang semestinya menjaga kedaulatan negara.

Menuntaskan batas selatan Lebanon

Di sisi lain, perbatasan selatan Lebanon dengan Israel masih belum terselesaikan. Berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1701, Lebanon seharusnya menyelesaikan penetapan batas ini—langkah yang juga akan menutup celah legal bagi kelompok bersenjata non-negara untuk beroperasi.

Jika Lebanon berhasil mendefinisikan batas wilayahnya secara menyeluruh, maka peran milisi di luar struktur negara dapat dipertanyakan secara sah. Untuk itu, angkatan bersenjata Lebanon perlu diperkuat agar mampu menjaga perbatasan secara mandiri.

Pemerintah baru Suriah kini memiliki peluang untuk membuktikan bahwa mereka bukan lagi kekuatan hegemonik di kawasan. Hal ini harus diwujudkan melalui penghormatan atas perjanjian perbatasan, penghentian campur tangan politik, dan pemutusan hubungan dengan aktor-aktor yang merusak stabilitas regional.

Lebanon sendiri harus bersikap tegas. Selama puluhan tahun, negara ini menjadi ajang perebutan pengaruh antara Suriah, Israel, dan Iran. Perjanjian demarkasi ini membuka peluang untuk memperkuat kedaulatan nasional.

Pertanyaannya kini: akankah para pemimpin Lebanon benar-benar memanfaatkan momentum ini, ataukah negeri ini akan kembali terjebak dalam pusaran konflik regional yang tak berkesudahan?

SUMBER:TRT World
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us