Apa yang terungkap dari pembebasan terdakwa serangan bom Mumbai 2006 tentang polisi dan bias anti-Muslim di India
DUNIA
7 menit membaca
Apa yang terungkap dari pembebasan terdakwa serangan bom Mumbai 2006 tentang polisi dan bias anti-Muslim di IndiaDua belas pria yang dibebaskan sebelumnya dituduh merencanakan dan meletakkan bom di beberapa kereta komuter yang menewaskan 187 orang dan melukai lebih dari 800 lainnya.
Tanveer Ansari, terdakwa dalam ledakan kereta Mumbai tahun 2006, Ia dibebaskan setelah bertahun-tahun dipenjara. / AP
30 Juli 2025

Pada 21 Juli, hujan mengguyur Mumbai saat Abdul Wahid Shaikh, 47 tahun, melangkah masuk ke Pengadilan Tinggi kota itu — bukan untuk memperjuangkan kebebasannya sendiri, melainkan untuk dua belas pria lain yang dulu pernah satu sel dengannya.

Pagi yang basah itu, Shaikh berdiri di ruang sidang yang penuh sesak saat para hakim menyatakan para terdakwa “tidak bersalah”. Putusan tersebut mengakhiri hampir dua dekade penahanan bagi para terdakwa.

Shaikh, seorang guru sekolah, merupakan satu dari tiga belas orang yang awalnya didakwa dalam kasus serangan terkoordinasi pada bom kereta Mumbai tahun 2006. Tujuh bom meledak dalam hitungan menit di kereta komuter pada jam sibuk sore hari, menewaskan lebih dari 187 orang dan melukai 800 lainnya.

Shaikh menghabiskan sembilan tahun di balik jeruji sebelum dibebaskan pada 2015. Saat wartawan menanyainya di luar pengadilan, ia berkata, “Kami sejak awal selalu bilang kami tidak bersalah.”

Ia bercerita bahwa ia menyaksikan para terdakwa lainnya menangis ketika mendengar putusan. “Saya pun tidak bisa menahan emosi. Saya keluar, salat, dan bersyukur pada Tuhan,” kata Shaikh kepada TRT World.

Putusan tersebut membatalkan vonis tahun 2015 dari pengadilan khusus yang menghukum mati lima orang dan menjatuhkan hukuman seumur hidup bagi tujuh lainnya.

Namun, pengadilan tinggi menyatakan polisi menyiksa para tersangka dan merekayasa bukti, “menciptakan kesan palsu bahwa kasus ini telah terpecahkan.”

Namun pada 24 Juli, Mahkamah Agung India menunda pelaksanaan pembebasan, dan menyatakan bahwa putusan pengadilan tinggi tidak boleh dijadikan preseden, sambil menunggu proses banding dari pemerintah Maharashtra. Meski begitu, pengadilan tertinggi memutuskan bahwa para pria yang telah dibebaskan tidak perlu kembali ke penjara.

Para ahli hukum menyebut pembebasan ini mengungkap cacat sistemik dalam cara kasus terorisme diselidiki — dan betapa mahalnya harga dari kegagalan tersebut.

“Pengadilan tinggi menyoroti banyak masalah dalam penyelidikan polisi, menolak bukti karena tidak bisa diandalkan, dan membebaskan semua terdakwa,” ujar pengacara hak asasi manusia Lara Jesani kepada TRT World.

“Pertanyaannya: bagaimana mungkin pengadilan khusus sebelumnya mengabaikan semua ini saat menjatuhkan vonis, bahkan hingga menghukum mati sebagian dari mereka?”

Menurut Apoorvanand Jha, dosen Universitas Delhi dan pengamat politik, prasangka seperti ini “mempengaruhi bukan hanya proses penyelidikan, tapi juga bagaimana publik melihat para terdakwa.”

“Alih-alih mengungkap siapa pelaku sebenarnya,” ujarnya pada TRT World, “sistem sering mencari sosok yang publik sudah percaya bersalah. Dan kenapa publik percaya? Karena sudah ada pola pikir bahwa Muslim bisa melakukan ini. Ada penerimaan sosial atas narasi semacam itu, sehingga terus diulang.”

Sejauh ini, belum ada tanggapan langsung dari petinggi Partai Bharatiya Janata (BJP) yang saat ini berkuasa terkait putusan pembebasan tersebut.

Kesalahan yang disengaja?

Dalam putusannya September 2015, pengadilan khusus menerima klaim Satuan Tugas Anti-Teror (ATS) bahwa 12 terdakwa merupakan anggota organisasi terlarang Students’ Islamic Movement of India (SIMI) dan memiliki hubungan dengan kelompok militan Lashkar-e-Taiba (LeT).

Lima orang dijatuhi hukuman mati, tujuh lainnya dihukum penjara seumur hidup. Salah satu terdakwa, Kamal Ansari, meninggal karena Covid-19 saat masih dalam tahanan pada 2021. Polisi menuduh Ansari pernah berlatih senjata di Pakistan, menyelundupkan dua militan Pakistan melalui perbatasan Indo-Nepal, dan menanam bom yang meledak di Stasiun Matunga.

Namun, pengadilan tinggi menyatakan jaksa gagal menunjukkan jenis bom yang digunakan, dan bukti yang diajukan tidak cukup kuat untuk menghukum para terdakwa.

Jesani mengatakan bahwa sekadar mengakui adanya ketidakadilan tidaklah cukup.

“Harus ada keadilan dan pertanggungjawaban. Bagaimana polisi akan dimintai tanggung jawab? Bagaimana dengan kompensasi bagi para terdakwa? Bagaimana mengukur ganti rugi untuk kehidupan mereka yang hancur total? Tanpa tindakan yang tegas dan memberi efek jera, penangkapan salah akan terus terjadi tanpa konsekuensi.”

Pola yang melampaui kasus teror

Abdul Wahid Shaikh, yang juga dikenal sebagai Wahid Deen Mohammad Shaikh, kembali bekerja sebagai guru sekolah dasar setelah dibebaskan. Ia juga telah menyelesaikan disertasi doktoralnya mengenai sastra tahanan politik sebelum dan sesudah pembagian India dan Pakistan.

Meski berpendidikan tinggi, Shaikh mengatakan ia dan keluarganya tetap distigmatisasi selama bertahun-tahun karena tuduhan terorisme. Bahkan setelah dibebaskan pada 2015, beberapa kerabat masih menjaga jarak.

“Saat saya keluar penjara dan mereka masih ditahan, beberapa orang tetap menjauh. Saya harap kali ini mereka bisa menerima kenyataan dan tidak memandang kami dengan stigma lagi,” katanya.

Meski sudah bebas, namanya masih tercantum dalam pemberitahuan resmi tahun 2019 yang memperpanjang larangan terhadap SIMI, sebagai salah satu terdakwa kasus bom kereta. Namanya baru dicabut setelah ia mengajukan petisi ke Pengadilan Tinggi Delhi. Namun, pelecehan tak berhenti sampai di situ. Ia mengaku baru mendapat respons dari Komnas HAM India pada 2022 — tiga tahun setelah mengadukan kasusnya.

Kasus bom kereta Mumbai bukan satu-satunya.

Di berbagai penjuru India, pengadilan telah membatalkan banyak vonis dalam kasus terorisme yang melibatkan terdakwa Muslim — sering kali bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun setelah kerusakan terjadi.

Misalnya, di Gujarat, pengadilan pada 2021 membebaskan 127 orang yang ditangkap dalam pertemuan mahasiswa tahun 2001 dan dituduh melanggar Unlawful Activities (Prevention) Act (UAPA) karena dugaan terkait dengan SIMI.

Hakim menyebut jaksa gagal menghadirkan bukti yang “meyakinkan dan dapat dipercaya”.

Para analis menyatakan pola ini menunjukkan bagaimana kecurigaan terhadap Muslim telah tertanam dalam sistem keamanan dan politik India sejak serangan 11 September, dan bagaimana pola itu terus bertahan di bawah berbagai pemerintahan.

“Setelah 9/11, kecurigaan terhadap Muslim menjadi bagian dari institusi; penyelidikan berdasarkan identitas dan ideologi menggantikan pembuktian yang solid,” kata analis kebijakan Asim Ali kepada TRT World.

Ia menambahkan, “Lembaga penyelidikan dan intelijen sering bertindak tanpa bisa dimintai pertanggungjawaban, bahkan oleh parlemen. Tidak ada kerangka hukum yang kuat untuk mengawasi mereka.”

Pola ini tidak hanya terbatas pada kasus teror.

Pada 2020, saat gelombang pertama Covid-19 melanda India, kelompok dakwah Muslim Tablighi Jamaat menjadi sasaran perburuan massal. Polisi mengajukan ratusan laporan terhadap anggotanya karena diduga melanggar protokol kesehatan dan menyebarkan virus.

Lima tahun kemudian, pada 17 Juli 2025, Pengadilan Tinggi Delhi membatalkan 16 laporan polisi dan dakwaan yang melibatkan 70 warga negara India. Saat itu, lebih dari 2.000 orang hadir dalam pertemuan tersebut, dan ketika kasus Covid meningkat, mereka dituduh sebagai “super-spreader” dan menjadi sasaran ujaran kebencian.

Media dan warganet menyebarkan istilah “Corona Jihad,” menggambarkan pertemuan itu sebagai bentuk perang biologis oleh umat Muslim — sebuah narasi yang menyulut Islamofobia dan memperdalam polarisasi di tengah pandemi.

Pengadilan menemukan bahwa polisi tidak memiliki bukti. Semua dakwaan dibatalkan.

Tak ada kompensasi yang cukup

Para pengamat politik mengatakan kasus ini mencerminkan bias yang lebih dalam dan meresap dalam cara polisi, pengadilan, dan media memperlakukan komunitas Muslim.

Berbicara tentang 12 pria yang baru dibebaskan, Jha mengatakan, “Kami sudah menunjuk kelemahan penyelidikan polisi sejak awal, tapi tak didengarkan. Jika mereka yang melakukan penyelidikan keliru tidak dihukum dan tak diwajibkan memberi ganti rugi atas 19 tahun hidup orang yang dirampas, maka kejadian seperti ini akan terus berulang.”

Putusan Pengadilan Tinggi menimbulkan pertanyaan baru: akankah lembaga keamanan dan pengadilan di India benar-benar ditekan untuk mengubah cara mereka menangani kasus teror, terutama yang melibatkan kelompok minoritas?

Namun Asim Ali menilai, diskusi itu belum juga dimulai. “Belum ada satu pun partai politik yang secara terbuka mengakui bahwa apa yang terjadi — pembebasan dua belas pria setelah hampir dua dekade di penjara — adalah sebuah kesalahan,” ujarnya.

“Di ranah politik, belum ada percakapan soal akuntabilitas atau reformasi. Dan dalam diskursus publik, anggapan bahwa ada bias dalam kerja polisi atau intelijen masih dianggap sebagai pandangan pinggiran.”

Di luar ruang sidang, Wahid Shaikh membagikan kotak mithai (manisan India) kepada teman dan pengacara yang tak pernah berhenti mempercayainya.

Namun, katanya, manisnya hari itu tetap dibayangi duka. “Hari itu sungguh menggetarkan hati — pahit dan manis sekaligus.”

SUMBER:TRT World
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us