Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, membuka kemungkinan serangan terhadap Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Khamenei. Dalam wawancara dengan saluran televisi KAN, ia menyatakan: "Saya telah memberikan perintah kepada militer: di Iran tidak ada yang tidak tersentuh. Selebihnya, akan ditentukan oleh peristiwa." Netanyahu menegaskan bahwa tujuan Israel bukanlah mengganti rezim di Iran, tetapi hal itu bisa saja terjadi "sebagai akibat dari perang."
Netanyahu juga mengonfirmasi bahwa Israel memiliki kemampuan untuk menyerang semua fasilitas nuklir Iran. Ia menambahkan bahwa operasi ini dilakukan tanpa menunggu "lampu hijau" dari Washington. Namun, ia menekankan bahwa pemerintahan Trump memberikan "dukungan besar" kepada Israel. Dukungan tersebut termasuk keterlibatan pilot Amerika dalam mencegat drone Iran serta penggunaan sistem pertahanan rudal THAAD untuk melindungi dari serangan udara.
Sebelumnya, Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menyatakan bahwa "seorang diktator seperti Khamenei tidak bisa terus berkuasa." Netanyahu sendiri, yang saat itu berada di rumah sakit Soroka di Beersheba setelah serangan Iran, mengonfirmasi bahwa ia mempertimbangkan semua opsi, termasuk serangan terarah.
Ketegangan militer dimulai pada 13 Juni dengan serangan Israel terhadap fasilitas nuklir dan komando militer Iran. Serangan tersebut menewaskan seorang jenderal militer, komandan IRGC, sembilan ilmuwan nuklir, dan lebih dari 200 warga sipil. Sebagai balasan, Iran meluncurkan serangan rudal balistik ke Israel, menewaskan 24 orang dan melukai lebih dari 500 lainnya. Sejumlah negara, termasuk Turkiye, mengecam tindakan Israel.