Seiring dengan berakhirnya pemerintahan Biden dan agenda global yang dipenuhi oleh krisis, termasuk perang di Timur Tengah dan Ukraina, tampaknya tantangan di wilayah lain, seperti wilayah Kaukasus Selatan, telah terabaikan.
Pada minggu pertama bulan Oktober, Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev mengeluarkan sebuah peringatan keras kepada Armenia dan negara-negara Barat atas upaya mereka mempersenjatai Yerevan di saat-saat genting dalam sejarah.
Aliyeh berbicara kepada para mantan pengungsi di kota Jabrail yang baru kembali dibangun setelah dibebaskan pada tahun 2020, setelah bertahun-tahun hancur total selama dibawah okupasi Armenia.
Dalam kunjungan tersebut, Presiden Aliyev mempertanyakan motif negara-negara Barat yang memasok senjata ke Armenia dan bertanya apakah mereka percaya bahwa Azerbaijan akan berpangku tangan dan menunggu sampai gedung-gedung baru yang sedang dibangun dihancurkan lagi oleh senjata-senjata tersebut.
Dia lebih lanjut menegaskan bahwa Azerbaijan akan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memastikan keamanan dan pembangunan negara di masa depan. “Di satu sisi, mereka berbicara tentang perdamaian dan bohong; di sisi lain, mereka terlibat dalam persenjataan skala besar,” tambah Aliyev.
Sebelumnya pada bulan September, ajudan Presiden menyarankan agar pembatasan proporsional diterapkan pada angkatan bersenjata Armenia, seperti yang diterapkan pada Irak setelah perang Irak-Kuwait.
Dia berpendapat bahwa tindakan seperti itu dapat dibenarkan karena Armenia adalah salah satu dari beberapa negara dalam sistem internasional pasca-Perang Dunia II yang berusaha merebut wilayah tetangganya secara paksa.
Pernyataan tersebut dan pernyataan serupa lain dari pejabat Azerbaijan bertentangan dan dibayangi oleh optimisme terhadap perdamaian yang baru-baru ini diekspresikan oleh Azerbaijan dan Armenia.
Namun, pernyataan seperti ini layak mendapatkan fokus perhatian yang lebih serius.
Prospek penyelesaian kedamaian yang masih rapuh terancam oleh lambatnya negosiasi dan militerisasi yang sedang berlangsung di Armenia. Media Azerbaijan melaporkan bahwa banyaknya pengiriman persenjataan ke Armenia, dan banyak ahli Azerbaijan percaya bahwa Armenia sengaja memperlambat negosiasi untuk mengulur-ulur waktu demi melakukan pembangunan militer dan potensi pergerakan balas dendam.
Terdapat juga kontradiksi lainnya. Sementara Armenia mengklaim bahwa anggaran militer Azerbaijan telah mencapai 14-15 persen dari PDB-nya, Yerevan sendiri telah meningkatkan pengeluaran militernya sebesar 46 persen dibandingkan tahun lalu, yang semakin membuktikan upaya militerisasi.
Terlepas dari kompleksitasnya lanskap global, Armenia berhasil memperoleh pasokan persenjataan dari berbagai sumber yang sedang berada dalam konflik di wilayah lain.
Selain menerima senjata dari Prancis - termasuk senapan otomatis Caesar - dan bantuan militer dari AS, Media Iran International melaporkan pada bulan Juli bahwa Teheran dan Yerevan menandatangani kesepakatan senjata yang signifikan senilai $500 juta.
Selain itu, sebagai anggota CSTO, Armenia juga telah melanjutkan pembelian peralatan militer ofensif dari Rusia.
Akankah Azerbaijan menyerang terlebih dahulu?
Saat Armenia meningkatkan pengembangan senjata provokatifnya, Azerbaijan tentunya akan terdorong untuk mengambil tindakan pencegahan.
Bahkan James Warlick, orang amerika yang merupakan mantan ketua OSCE Minsk Group, mencatat bahwa akuisisi Armenia atas senjata dari Prancis menyulut hubungan Armenia dan Azerbaijan menjadi lebih genting ketika mereka hampir menandatangani perjanjian perdamaian.
Menurutnya, Prancis seharusnya menyelesaikan kesepakatan senjata apa pun dengan Armenia hanya setelah perjanjian damai.
Meskipun konsep “perang preemptive” agak terdistorsi ketika diperkenalkan ke dalam kebijakan keamanan nasional AS oleh pemerintahan Bush sebelum invasi Irak dan Afghanistan, konsep ini berbeda dengan “perang preventif”.
Perbedaan utamanya terletak pada factor waktu: perang preemptif menangani ancaman yang akan segera terjadi, sementara perang preventif menargetkan ancaman potensial jangka panjang. Perbedaan ini sangat penting, karena banyak yang masih tidak dapat membedakan kedua hal ini.
Perang preemptive umumnya dipandang sebagai 'perang yang dibutuhkan' didasarkan oleh bukti langsung yang kredibel mengenai ancaman langsung dan hal ini dibenarkan oleh hukum internasional, tepatnya di Pasal 51 Piagam PBB.
Sebaliknya, perang preventif dipandang sebagai 'perang pilihan,' yang didorong oleh perhitungan strategis daripada preseden hukum, dan sering kali disamakan dengan agresi yang tidak sah oleh ilmuan kontemporer.
Mengingat upaya militerisasi oleh Armenia dan tanpa adanya kesepakatan perdamaian, setiap tindakan militer yang dilakukan oleh Azerbaijan akan lebih bersifat preemptive daripada preventif.
Hal ini juga didukung oleh okupasi Armenia di wilayah Azerbaijan yang diakui secara internasional selama 30 tahun, yang berakhir hanya karena kekalahan Yerevan pada perang tahun 2020, bukan karena penarikan diri secara sukarela.
Oleh karena itu, di bawah hukum internasional, Perang Karabakh Kedua adalah merupakan tindakan pertahanan self-defence sesuai dengan Pasal 51 Piagam PBB.
Setelah perang tahun 2020 berakhir, Presiden Aliyev di berbagai kesepatan memperingatkan bahwa jika Azerbaijan merasakan ancaman dari Armenia, Azerbaijan akan mengambil tindakan untuk menetralisasi ancaman tersebut di mana pun di wilayah Armenia.
Namun, ia juga menekankan bahwa Azerbaijan tidak memiliki rencana untuk menginvasi Armenia dan menjamin bahwa tidak akan ada perang ketiga.
Sebuah babak baru
Serangan preemptive terhadap target militer yang sah dapat menandai babak baru dalam konflik yang telah berlangsung lama antara Azerbaijan dan Armenia.
Sebelumnya, semua ketegangan operasi militer dengan segala kerusakan dan tragedi yang menyertainya terjadi di dalam wilayah Azerbaijan yang diakui secara internasional.
Namun, konfrontasi di masa depan mungkin terjadi di wilayah Armenia. Selama perang tahun 2020, tentara Azerbaijan dengan sengaja menghindari memasuki wilayah yang diakui Armenia, membatasi operasi militernya secara ketat di dalam perbatasan Azerbaijan.
Selain itu, mereka menahan diri untuk tidak memasuki daerah-daerah di Karabakh, di mana terdapat banyak penduduk Armenia dan menerima pengerahan pasukan penjaga perdamaian Rusia untuk melindungi warga sipil.
Meskipun memiliki kapasitas militer yang lebih baik untuk memenangkan, Azerbaijan memilih untuk menghindari daerah-daerah ini untuk mencegah jatuhnya korban sipil.
Selain itu, selama perang tahun 2020, operasi militer Azerbaijan hanya berfokus pada wilayah-wilayah yang secara historis merupakan mayoritas penduduk Azerbaijan.
Satu-satunya serangan yang diluncurkan ke dalam wilayah Armenia adalah ditujukan kepada target militer yang jauh dari wilayah sipil. Pada 14 Oktober 2020, Azerbaijan melumpuhkan sistem rudal Armenia yang digunakan untuk menargetkan warga sipil Azerbaijan.
Serangan ini bersifat preemptive, karena sistem rudal tersebut telah melancarkan beberapa serangan ke kota-kota yang jauh dari zona konflik, seperti Ganja, Barda, dan Qarayusufli, menewaskan banyak warga sipil, bahkan system rudal tersebut siap untuk melancarkan serangan baru sebelum terhancurkan.
Serangan-serangan ini termasuk penggunaan amunisi cluster dan rudal SCUD-B yang telah dilarang oleh hukum internasional.
Organisasi Human Rights Watch kemudian mengkonfirmasi bahwa pasukan Armenia telah melakukan serangan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil Azerbaijan selama konflik.
Dengan mengandalkan keamanan dibawah nangan CSTO, Armenia percaya bahwa serangannya ke daerah pemukiman jauh dari zona konflik tidak akan ada balasan, dengan asumsi bahwa Azerbaijan tidak akan dapat membalas atau tanggapan apa pun dapat memicu intervensi Rusia untuk melindungi sekutunya.
Dengan militerisasi yang sedang berlangsung sekarang, tampaknya Armenia berusaha untuk memperoleh dukungan Barat, hal ini berpotensi memprovokasi konfrontasi antara Azerbaijan dan negara Barat.
Pada Perang Karabakh Kedua, satu-satunya tindakan pencegahan yang dilakukan oleh Azerbaijan di dalam wilayah yang diakui Armenia terjadi pada 12 September 2022.
Pasukan Azerbaijan berhasil menghancurkan infrastruktur militer Armenia yang berada di wilayah Armenia yang diperkirakan bernilai lebih dari 1 miliar dolar AS tanpa korban sipil dengan menggunakan senjata berpemandu presisi.
Saat itu, infrastruktur ini menjadi ancaman besar bagi wilayah Kalbajar dan Lachin di Azerbaijan yang rentan dan baru saja dibebaskan.
Kekhawatiran utama Azerbaijan ada dua: Militerisasi Armenia dengan dukungan dari Prancis, India, Iran, dan AS, serta kebangkitan sentimen balas dendam (revanchis) di Armenia.
Pemerintah dan media Azerbaijan telah mengeluarkan peringatan kepada masyarakat Armenia dan simpatisan Armenia di luar negeri.
Karena masih ada rasa saling tidak percaya yang mendalam, Azerbaijan mendorong dua tuntutan utama untuk memastikan Armenia tidak memiliki agenda tersembunyi mengenai Karabakh: Pertama, Armenia harus menghapus klausul aneksasi dari konstitusinya. Kedua, kedua negara harus bersama-sama meminta pembubaran Minsk Group.
Rasa ketidakpercayaan Azerbaijan tidak hanya terhadap Armenia tetapi juga terhadap Negara Barat.
Bahkan sebelum perang tahun 2020, ada keyakinan yang kuat akan kemunafikan negara liberal Barat terkait konflik Karabakh di Azerbaijan.
Sentimen ini semakin meningkat dengan meningkatnya militerisasi Armenia dan dukungan yang diterimanya dari negara barat seperti Prancis dan Amerika Serikat.
Mengutuk dan memperingatkan Azerbaijan adalah satu hal, Namun juga secara aktif memasok senjata ke negara yang menduduki wilayah Azerbaijan adalah hal yang berbeda - hal ini sama sekali tidak membantu peningkatan perdamaian dan kepercayaan di wilayah tersebut.
Jika nagara Barat memang tertarik untuk melindungi Armenia dari 'serangan hayalan' Azerbaijan, ada banyak cara yang jauh lebih efektif untuk meningkatkan perlindungan daripada memasok senjata.
SUMBER: TRT WORLD