Pertemuan Menteri Luar Negeri BRICS yang berlangsung di Rio de Janeiro pada bulan April lalu menjadi momen penting bagi ambisi yang semakin berkembang dari blok tersebut, tetapi juga mengungkapkan batasan konsensus di tengah ruang yang semakin ramai. Meskipun pembicaraan menghasilkan keselarasan di beberapa bidang, ada isu-isu lain yang tetap tidak terselesaikan, menyoroti tantangan yang harus dihadapi sebelum KTT para pemimpin pada bulan Juli mendatang, yang juga akan diadakan di Brasil.
Sejak didirikan pada tahun 2009, BRICS telah berkembang secara signifikan dalam cakupan dan pengaruhnya. Pertemuan di Rio, yang melibatkan sepuluh anggota penuh dan 13 “negara mitra,” menunjukkan bobot geopolitik yang semakin besar dari blok ini sekaligus kompleksitas diplomatik yang muncul akibat ekspansi tersebut.
Seperti yang diperkirakan, kelompok negara anggota yang diperluas menyebabkan diskusi yang lebih panjang dan kompleks. Tidak semua usulan dalam pertemuan tersebut mendapatkan dukungan bulat dari semua peserta.
Namun demikian, konsensus berhasil dicapai pada dua agenda utama.
Fokus utama pertemuan adalah hambatan perdagangan baru yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump di AS. Secara khusus, setiap negara peserta secara kolektif mengecam “proteksionisme perdagangan” Amerika, sebuah frasa yang digunakan secara diplomatis untuk menghindari kritik langsung terhadap Presiden Donald Trump, meskipun kebijakannya jelas menjadi sasaran.
Menteri Luar Negeri Brasil sekaligus Ketua BRICS saat ini, Mauro Vieira, menyoroti “penentangan kuat” blok tersebut terhadap langkah-langkah proteksionis. Ia menekankan adanya “konsensus mutlak” terkait “konflik perdagangan dan tarif.” Pernyataan Brasil mencerminkan kekhawatiran serius para menteri luar negeri kelompok ini tentang potensi fragmentasi ekonomi global, dengan menempatkan BRICS sebagai pembela multilateralisme yang sedang terancam.
Kekhawatiran ini menjadi perhatian bersama, yang memungkinkan negara-negara dengan profil ekonomi yang sangat berbeda untuk berbicara dengan suara yang seragam. Bahasa yang digunakan sengaja netral, tetapi implikasinya jelas: BRICS sedang memposisikan diri sebagai penyeimbang terhadap unilateralisme yang semakin mendominasi kebijakan perdagangan Barat.
Topik lain yang mendapat perhatian adalah dorongan untuk lebih banyak menggunakan mata uang lokal dalam perdagangan bilateral. Kelompok ini menegaskan kembali minat mereka pada transaksi non-dolar, meskipun dengan pendekatan hati-hati terhadap peralihan cepat dari dolar AS.
Selama KTT di Rusia tahun lalu, para pemimpin BRICS membahas pentingnya mempromosikan transaksi ini. Hal ini memicu respons keras dari Trump, yang mengancam akan memberlakukan tarif 100 persen jika BRICS menjauhkan diri dari dolar AS, yang dapat membahayakan dominasi mata uang tersebut dalam pembayaran internasional.
Namun, di luar retorika ini, hanya sedikit indikasi perubahan struktural yang akan segera terjadi.
Kehati-hatian ini mencerminkan realitas yang sulit. Meskipun minat terhadap alternatif semakin meningkat, 75 persen perdagangan global masih menggunakan dolar AS. Tahun lalu, PBB melaporkan bahwa dari total volume perdagangan dunia sebesar $32 triliun, transaksi yang dilakukan dalam mata uang AS mencapai $24 triliun.
Pengaruh ekonomi China yang semakin besar mungkin pada akhirnya akan mengubah persamaan ini. Pada akhir 2024, PDB China diproyeksikan mencapai $18,57 triliun, sementara PDB AS berada di angka $29 triliun. Namun untuk saat ini, keinginan politik untuk mengurangi dominasi dolar masih lebih maju dibandingkan alternatif praktis yang tersedia.
Selain itu, ingatan tentang pembekuan aset dolar dan euro milik Rusia senilai $330 miliar oleh Barat pada tahun 2022 menyebabkan kerusakan parah, dengan dampak yang berpotensi menghancurkan reputasi “mata uang keras” dan sistem SWIFT. Tindakan ini menyoroti konsekuensi berbahaya dari penggunaan mata uang Barat sebagai senjata politik.
Pembekuan tersebut mendorong anggota BRICS untuk semakin waspada terhadap potensi langkah serupa yang dapat diterapkan di bawah tekanan politik Amerika. Akibatnya, pada April 2022, pejabat dari Kementerian Keuangan China dan regulator lainnya mengadakan pertemuan dengan bank domestik dan asing untuk membahas kemungkinan tindakan balasan terhadap sanksi Amerika.
Langkah-langkah yang diusulkan termasuk meningkatkan produksi domestik barang-barang antara yang penting seperti semikonduktor dan barang strategis lainnya, memperkuat ketergantungan ekonomi pada China untuk meminimalkan kemungkinan mereka mendukung rezim sanksi, serta mengurangi ketergantungan pada dolar sambil mendiversifikasi aset.
Negara-negara BRICS akan terus mengeksplorasi sistem pembayaran alternatif terhadap dolar. Namun, kecepatan tindakan mereka akan dipengaruhi oleh keputusan administrasi AS.
Sebuah jendela, bukan sebuah terobosan
Kesulitan mencapai konsensus semakin kompleks, terutama dengan anggota baru yang akan bergabung pada tahun 2024, masing-masing membawa pandangan mereka tentang masalah global. Meskipun ekspansi dapat meningkatkan pengaruh, hal ini juga membuat konsensus semakin sulit.
Indikasi paling jelas terlihat dalam diskusi tentang reformasi Dewan Keamanan PBB.
Secara signifikan, usulan untuk memasukkan Brasil dan India sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB mendapat dukungan bulat dari semua peserta. Sebelum pertemuan, banyak yang bertanya-tanya apakah China akan mendukung upaya India, mengingat hubungan yang tegang antara kedua negara. Namun, kepemimpinan China terbukti bijaksana dengan mendukung tujuan India. Delhi pasti akan mengapresiasi isyarat ramah ini.
Namun demikian, kelompok ini tidak mengeluarkan pernyataan bersama.
Mesir dan Ethiopia dilaporkan menolak frasa tertentu. Anggota baru dari Afrika tidak mendukung resolusi yang mengidentifikasi Afrika Selatan sebagai kandidat pilihan BRICS untuk Dewan Keamanan yang direformasi. Namun, laporan tersebut menyarankan masih ada kemungkinan kesepakatan pada bulan Juli, sejalan dengan pertemuan para pemimpin BRICS di Rio.
Fakta bahwa tidak ada deklarasi bersama yang dikeluarkan—hanya “pernyataan ketua” dengan status lebih rendah—sangat mencerminkan situasi ini.
Meskipun blok ini semakin vokal tentang masalah global di sektor perdagangan dan keuangan, dorongan nyata untuk reformasi institusional mungkin masih tertunda.
Fakta bahwa semua anggota mendukung upaya Brasil dan India untuk mengambil peran yang lebih signifikan dalam urusan global, khususnya di Dewan Keamanan, menunjukkan kesadaran bersama bahwa tatanan PBB pasca-1945 perlu dipikirkan ulang.
KTT BRICS berikutnya, yang dijadwalkan pada 6-7 Juli di Rio, akan menjadi ujian nyata.
Hingga saat itu, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menyelaraskan posisi para pihak. Bisakah blok ini mendamaikan kepentingan regional yang beragam untuk menyajikan kasus yang koheren untuk reformasi Dewan Keamanan? Dan akankah mereka semakin mendekati infrastruktur keuangan non-Barat—atau terus melangkah dengan hati-hati?
Perkembangan positif telah mulai saat BRICS bergerak menuju keanggotaan yang lebih luas, tetapi pertemuan bulan depan akan menjadi penunjuk, apakah BRICS siap menjadi sebuah kelompok yang lebih dari sekadar forum diskusi.