Pada siang yang panas dan lembap di Mokwa, Nigeria, Fatima dan Habiba Jibrin duduk di bawah pohon mangga, menunggu jasad-jasad yang mereka khawatir tak akan pernah ditemukan.
Kedua perempuan itu, istri dari pria yang sama, telah bermalam di sana sejak seminggu sebelumnya — saat banjir terburuk dalam sejarah hidup mereka menyapu sebagian besar kota, menghanyutkan rumah mereka, dua istri lain dari suami mereka, dan 16 anak.
Fatima, 26 tahun, kehilangan empat anak, sementara Habiba, 27 tahun, kehilangan enam.
Dari total 18 anggota keluarga yang diyakini meninggal, baru empat jasad yang berhasil ditemukan.
Kisah mereka — tentang hampir seluruh anggota keluarga yang lenyap dalam satu pagi — menjadi pemandangan umum di Mokwa, wilayah di negara bagian Niger tengah utara, di mana jumlah kematian resmi masih bertahan di angka sekitar 150. Namun, banyak yang meyakini korban sebenarnya jauh lebih banyak — bahkan mungkin melebihi total nasional sepanjang tahun 2024.
“Kami tidur di luar, di bawah pohon mangga, hanya beralas tikar dan kelambu,” kata Fatima kepada AFP. “Makanan pun kami tak punya.”
Karena hampir tak ada kehadiran pemerintah, mereka bergantung “sepenuhnya” pada warga yang beruntung selamat dan rumahnya tidak tersapu banjir.
Suami mereka, seorang guru di sekolah Islam, terus pergi setiap hari sejak banjir berlumpur menghancurkan lebih dari 250 rumah di komunitas itu, mencari 14 jasad anggota keluarganya yang belum ditemukan. Namun harapan kian menipis.
Berharap ada jasad yang ditemukan
Sedikitnya 15 tiang listrik roboh akibat banjir, membuat kota terbenam dalam kegelapan. Cuaca panas menyengat tanpa jeda sedikit pun.
Pasokan air bersih sangat terbatas, dan ada kekhawatiran wabah kolera — ancaman umum pasca banjir — akan memperparah keadaan dalam beberapa minggu ke depan.
Relawan dan tim tanggap bencana telah menemukan jasad hingga hampir 10 kilometer jauhnya, setelah terbawa arus ke Sungai Niger. Warga kepada AFP mengatakan beberapa jasad ditemukan di desa di negara bagian tetangga, Kwara, di seberang sungai besar tersebut.
Meski begitu, Fatima dan Habiba tetap berharap suami mereka kembali setiap hari — meskipun dengan kabar duka.
“Kami akan bersyukur jika dia bisa menemukan jasad mereka, supaya bisa kami makamkan,” ujar Fatima Jibrin.
Seperti mereka, Fatima Muhammed juga berharap jasad cucunya bisa ditemukan, entah hidup atau tidak.
Ia sedang menyiapkan sarapan pagi ketika banjir datang, mengalir melalui saluran sempit di depan rumahnya.
Ia tak tahu bahwa air, yang telah menumpuk selama beberapa hari di balik rel kereta api yang sudah lama ditinggalkan di pinggiran komunitas, akhirnya menjebol dinding tanah liat.
Dalam waktu kurang dari semenit, aliran kecil berubah menjadi arus yang ganas.
Ia berhasil lolos lewat pintu belakang, katanya kepada AFP, tetapi “cucuku tersapu saat berusaha mengejarku.”
Kini ia tinggal bersama putrinya, dan merasa menjadi beban.
Namun bantuan belum juga datang.
Bantuan pemerintah minim, kata warga
Banyak warga komunitas yang mayoritas Muslim ini marah karena merasa pemerintah belum memberikan cukup bantuan — apalagi hanya tinggal beberapa hari lagi menjelang Iduladha.
Wakil gubernur negara bagian sempat datang dan memberikan janji, dan pemerintah mengklaim sudah mengirimkan bantuan. Tapi banyak warga mengatakan tak pernah melihat apa pun.
Di tengah ketegangan, beberapa pemuda sempat mengancam hendak memukul jurnalis AFP, yang mereka kira pejabat pemerintah.
Upaya distribusi bantuan sempat dihentikan pada pagi harinya, setelah warga — curiga acara itu hanya untuk pencitraan — menuntut agar bantuan dibagikan secara terbuka.
Istri gubernur, Fatima Mohammed Bago, sempat mengunjungi area terdampak. Namun tak ada satu pun petugas darurat yang hadir hingga beberapa menit sebelum kedatangannya — dan mereka segera pergi setelahnya.
Fatima dan Habiba Jibrin, serta Fatima Muhammed, mengatakan istri gubernur tak pernah datang menemui mereka, dan mereka belum mendapat bantuan apa pun dari pemerintah.
“Tak ada yang bisa saya lakukan,” kata Mohammed Aliu, 36 tahun, seorang sopir angkutan, yang kehilangan anak, istri, dan rumahnya dalam banjir tersebut.
“Tapi saya akan senang jika bisa melihat jasad mereka.”