Musim Haji telah tiba, sebuah waktu suci ketika jutaan umat Muslim dari seluruh dunia berkumpul di Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Tahun ini, saat para jamaah melaksanakan rangkaian ibadah suci haji, pengalaman mereka terlihat sangat berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Aplikasi membantu mereka melalui ritual, kecerdasan buatan (AI) mengelola arus kerumunan, dan perangkat pintar memantau segala hal mulai dari kesehatan hingga pergerakan. Ibadah haji yang dulunya serba analog kini telah memasuki era digital.
Namun, perubahan ini tidak hanya terjadi di Makkah. Hal ini mencerminkan ketegangan yang lebih luas yang dirasakan banyak Muslim dalam kehidupan sehari-hari: antara penggunaan teknologi yang semakin meningkat dan hubungan spiritual dengan Tuhan.
Apakah saya lebih sering beralih ke ChatGPT daripada berdoa kepada Tuhan? Beberapa hari, jawabannya adalah ya. Kesadaran itu membuat saya berhenti sejenak. Di era teknologi yang berkembang pesat ini, saya pikir penting bagi kita untuk secara rutin merenungkan sejauh mana kita bergantung pada teknologi, dan seberapa sering kita berdoa kepada Tuhan. Jujur tentang apakah kita lebih sering menggunakan AI daripada berdoa membantu kita menjaga perspektif tentang apa yang benar-benar penting.
Selama Ramadan tahun ini, saya mengeksplorasi hal ini lebih jauh melalui sebuah lokakarya yang saya adakan tentang “meningkatkan kualitas doa” menggunakan ChatGPT. Kami mempelajari berbagai struktur untuk menulis doa, bagaimana memasukkan nama-nama Allah, dan bahkan menggunakan perintah seperti “buat daftar doa berdasarkan apa yang Anda ketahui tentang saya.”
Sungguh menarik melihat bagaimana AI dapat membantu mengingatkan hal-hal yang mungkin kita lupakan untuk dimasukkan dalam doa kita. Kadang-kadang hidup begitu sibuk sehingga kita kehilangan jejak apa yang ada di hati kita, dan memiliki alat yang dapat mengarahkan kita kembali menuju ketulusan bisa sangat membantu.
AI, alat untuk refleksi
Pada saat yang sama, saya percaya bahwa penting untuk menggunakan teknologi dengan penuh kesadaran. Teknologi dapat meningkatkan hubungan kita dengan iman jika digunakan secara moderat, tetapi juga bisa menjadi gangguan jika kita tidak berhati-hati.
Saya paling merasakannya di tempat-tempat suci, seperti saat saya bersiap untuk salat atau berada di masjid. Ponsel dapat menarik kita untuk menggulir layar daripada merenung. Menyadari hal ini sangat penting, terutama di momen-momen yang dimaksudkan untuk memperkuat spiritualitas.
Saya melihat ini dengan jelas ketika saya menunaikan Umrah pada tahun 2022. Sebelum perjalanan, saya dengan sadar memutuskan untuk mencetak daftar doa saya, sehingga saya tidak perlu bergantung pada ponsel. Saya tahu betapa mudahnya layar menjadi gangguan. Memiliki salinan fisik membantu saya tetap hadir sepenuhnya di momen itu, tanpa gangguan notifikasi atau godaan untuk menggulir layar. Hal ini membuat doa terasa lebih disengaja dan terhubung.
Namun demikian, saya pikir teknologi dapat menjadi alat yang hebat untuk menjaga konsistensi dalam iman kita. Aplikasi seperti Quranly dan Niyyah telah membantu saya tetap terlibat setiap hari. Saat ini, saya sedang menjalani 100 hari berturut-turut dengan Quranly, sebuah aplikasi pembangun kebiasaan membaca Al-Qur'an, yang dirancang untuk mendorong pembacaan teks suci secara teratur, sesuatu yang sebelumnya tidak pernah bisa saya pertahankan. Bahkan hanya membaca satu ayat sehari membantu menciptakan ritme koneksi.
Umat Muslim percaya bahwa Allah mencintai tindakan kecil yang konsisten, dan dengan cara ini, teknologi dapat mendukung kita dalam membangun kebiasaan tersebut. Kuis singkat dan pengingat harian dari Niyyah adalah contoh lain bagaimana kita dapat menyisipkan iman ke dalam kehidupan sehari-hari dengan cara yang sederhana.
Haji yang telah berubah secara digital
Dalam banyak hal, kita sudah melihat bagaimana teknologi mengubah bahkan pengalaman spiritual yang paling mendalam. Tidak ada tempat yang lebih terlihat daripada selama Haji, perjalanan sekali seumur hidup ke Makkah yang menarik jutaan Muslim setiap tahun, mencari kedekatan dengan Allah melalui serangkaian ritual yang sangat simbolis.
Tahun ini, Arab Saudi telah meningkatkan berbagai alat berbasis AI dan layanan digitalnya, yang dirancang untuk mendukung dan melindungi jamaah selama perjalanan mereka.
Aplikasi seluler kini membimbing jamaah melalui situs-situs suci yang luas, menawarkan petunjuk arah real-time dan penjelasan tentang setiap ritual. Gelang pintar memantau kesehatan dan pergerakan, memberikan ketenangan pikiran bagi individu dan keluarga.
Sistem manajemen kerumunan berbasis AI menganalisis pola arus untuk membantu mengurangi kemacetan dan melindungi jamaah selama hari-hari Haji yang secara fisik menuntut.
Bahkan chatbot multibahasa seperti Manarah 2 siap menjawab pertanyaan mendesak dan memberikan pengingat spiritual. Kemudian ada kartu pintar Nusuk yang membantu jamaah mengelola segala hal mulai dari pemesanan akses ke Masjid Nabawi hingga melacak akomodasi mereka, membuat pengalaman Haji modern hampir tidak dapat dikenali dibandingkan beberapa tahun yang lalu.
Apa yang dulunya merupakan pengalaman sepenuhnya analog — dipandu oleh pemandu, ingatan, dan catatan tulisan tangan — kini didukung di setiap langkah oleh sistem digital. Esensi dari ibadah haji tetap tidak berubah, tetapi cara mengalaminya telah berubah secara mendalam.

Namun, untuk semua manfaatnya, saya juga percaya kita perlu menyediakan ruang untuk refleksi yang tidak dimediasi oleh teknologi. Ada sesuatu yang tak tergantikan tentang duduk dengan tenang, berbicara kepada Tuhan dari hati, dan berdoa dengan kata-kata kita sendiri. Meskipun AI dapat menyarankan struktur dan pengingat yang indah, doa yang paling bermakna tetap berasal dari dalam diri kita. Meluangkan waktu jauh dari layar, baik dalam doa maupun refleksi, membantu menjaga hubungan itu tetap hidup.
Di Muslim Tech Fest — sebuah pertemuan global di mana para inovator, pembangun, dan kreatif Muslim bertemu di persimpangan antara iman, komunitas, dan teknologi — kami menciptakan ruang untuk percakapan yang jarang menemukan tempat di tempat lain. Teknologi adalah alat, bukan tujuan itu sendiri. Teknologi dapat mengalihkan perhatian kita atau melayani kita, tergantung pada bagaimana kita menggunakannya. Kuncinya terletak pada bagaimana kita mendekatinya dan tetap sadar akan keseimbangan itu.
Kami tidak di sini untuk menolak teknologi, juga tidak untuk menerimanya secara buta. Kami ingin menciptakan ruang di mana umat Muslim dapat merenungkan bagaimana alat-alat ini membentuk iman, komunitas, dan kehidupan sehari-hari kita. Di mana kita dapat mengajukan pertanyaan yang lebih dalam tentang bagaimana membangun dan menggunakan teknologi dengan cara yang selaras dengan nilai-nilai kita. Dan di mana kita dapat menyediakan ruang untuk inovasi dan landasan spiritual pada saat yang sama.
Bagi saya, ini tetap menjadi pekerjaan yang sedang berjalan. Beberapa hari, saya mendapati diri saya secara tanpa sadar mengambil ponsel ketika saya bisa meraih tasbih. Di hari lain, sebuah aplikasi mendorong saya menuju momen doa reflektif yang mungkin saya lewatkan. Ini adalah perjalanan yang terus berlangsung untuk menavigasi kedua dunia tersebut.
Saat jamaah berjalan di antara situs-situs suci di Makkah, dipandu oleh peta di layar tetapi tetap diangkat oleh doa di hati mereka, saya teringat seperti apa hidup di kedua dunia itu. Saat kita terus hidup di persimpangan kemajuan teknologi dan kehidupan spiritual, mungkin hal yang paling penting adalah tetap sadar akan pilihan kita. Untuk bertanya pada diri sendiri secara rutin: Apakah ini mendekatkan saya kepada Tuhan, atau menjauhkan saya?
Karena terkadang, hubungan yang paling kuat tidak memerlukan kabel atau layar, hanya momen yang tenang, dan hati yang tertuju ke arah Ilahi.
Muslim Tech Fest akan berlangsung pada Sabtu, 21 Juni 2025, di London.