Dalam laporan yang baru dirilis berjudul Starving a Generation: Israel’s Famine Campaign Targeting Palestinian Children in Gaza, organisasi Defence for Children International–Palestine (DCIP) bersama Doctors Against Genocide menegaskan bahwa otoritas Israel sengaja menjadikan kelaparan sebagai alat genosida.
Laporan ini mendokumentasikan 33 kasus kelaparan anak-anak di Gaza dari Oktober 2023 hingga Mei 2025, sembilan di antaranya meninggal dunia. Para korban berusia antara satu minggu hingga sepuluh tahun.
Korban termuda, Abdul Aziz Abdurrahman Saleem, lahir di Rumah Sakit Kamal Adwan dan meninggal satu minggu kemudian.
Laporan ini mengutip pernyataan Dr. Abu Hassam Safiya, direktur rumah sakit sekaligus dokter spesialis anak Palestina yang kini ditahan oleh pasukan Israel. Ia mengatakan rumah sakit menerima antara 70 hingga 100 anak kekurangan gizi setiap harinya.
“Sudah sangat jelas: Israel memang berniat membuat warga Palestina kelaparan sebagai cara untuk melenyapkan mereka,” kata Kathryn Ravey, salah satu penulis laporan dan petugas advokasi di DCIP.
Salah satu korban tewas adalah Mila Abdulnabi, bocah tiga tahun yang meninggal di Rumah Sakit Kamal Adwan pada malam 2 Maret 2024.
Menurut laporan tersebut, Mila mengalami defisiensi kalium dan magnesium parah setelah pasukan Israel memutus akses makanan di Gaza utara. Di hari-hari terakhirnya, ia dirawat dengan alat bantu pernapasan. Sang ibu, perawat ICU di rumah sakit itu, menemukan putrinya sudah dibungkus kain kafan.
“Saya pergi kerja hari itu, dan rekan-rekan saya menutup pintu agar saya tidak masuk. Tapi ketika saya berhasil masuk, saya temukan anak saya sudah meninggal,” katanya sambil mengenang momen memilukan yang membuatnya berhenti bekerja sebagai perawat.
“Putri saya meninggal di depan mata saya dan saya tidak bisa menyelamatkannya,” ujarnya.
Sejak awal 2024, kelaparan anak-anak di Gaza disebut menjadi taktik sengaja dalam kampanye Israel terhadap warga Palestina, dengan bayi dan anak-anak sakit kronis menjadi kelompok paling rentan. Laporan itu menyebut kegagalan komunitas internasional merespons telah memungkinkan krisis ini berlarut dan berdampak antargenerasi.
Apa yang membuat anak-anak ini sangat rentan?
Meski hampir setiap anak di Gaza kini mengalami kelaparan dalam berbagai tingkat, mereka yang meninggal biasanya berada dalam kondisi kerentanan ganda.
Bayi dan balita sangat berisiko. Dengan sistem kekebalan yang belum berkembang dan kebutuhan nutrisi yang lebih tinggi, mereka lebih mudah mengalami malnutrisi parah.
Banyak dari korban meninggal masih terlalu muda untuk disapih, namun para ibu tak lagi bisa menyusui.
Salah satu contohnya adalah Anwar Al-Khudari yang baru berusia tiga bulan, seperti dicatat dalam laporan DCIP.
“Tidak ada susu formula karena pengepungan militer,” kata ibunya kepada para peneliti. “Dan saya tidak bisa menyusui karena kekurangan gizi dan tidak adanya bantuan kemanusiaan yang masuk.”
Anwar menangis semalaman karena lapar. “Suhu tubuhnya naik, lalu dia mulai kejang-kejang,” kisah ibunya. “Empat hari kemudian, dia meninggal.”
Anak-anak lain memiliki penyakit kronis atau gangguan genetik langka yang membutuhkan nutrisi khusus atau perawatan medis berkelanjutan—semuanya mustahil dipenuhi dalam kondisi terkepung.
Salah satunya, Ali Abu Azra yang berusia sepuluh bulan dan mengidap sindrom Sanjad-Sakati. Berat badannya turun dua kilogram dan kondisinya terus memburuk meskipun sempat dirawat.
Faktor ekonomi juga berperan besar, di tengah kenyataan bahwa harga satu karung tepung bisa mencapai $500 dan sebotol minyak goreng dijual seharga $40, menurut kesaksian warga.
“Bagi keluarga miskin, bahkan satu kali makan pun tidak terjamin,” tulis Rasha Abou Jalal, warga Gaza yang telah mengungsi 11 kali selama perang Israel yang berlangsung selama 20 bulan.
“Dan mereka yang cukup mampu membeli dengan harga setinggi itu pun tidak kebal—karena kebanyakan barang sudah tidak tersedia di pasar.”
Menurut laporan DCIP, banyak anak yang meninggal karena kelaparan berasal dari keluarga yang juga kehilangan pencari nafkah utama akibat serangan udara Israel, membuat mereka tak mampu mendapatkan makanan bahkan yang dijual secara gelap.
Bantuan yang tak pernah bisa diraih
Ketika anggota keluarga yang tersisa nekat pergi mengambil bantuan dari Gaza Humanitarian Foundation (GHF) yang kontroversial, mereka menghadapi perjalanan berbahaya yang belum tentu berakhir dengan selamat.
Titik distribusi dijaga oleh kontraktor keamanan bersenjata, yang kabarnya direkrut dari mantan personel intelijen dan militer AS. Ratusan warga Palestina telah ditembak mati oleh pasukan Israel saat mencoba menjangkau lokasi-lokasi ini.
Mereka yang berhasil selamat pun belum tentu membawa makanan pulang. Geng-geng bersenjata kerap menghadang di jalan dan merampas paket bantuan untuk dijual kembali dengan harga selangit.
Gaza Humanitarian Foundation (GHF), organisasi terdaftar di AS dan beroperasi di bawah pengawasan Israel, mulai beroperasi pada 26 Mei 2025 setelah blokade berbulan-bulan yang mendorong warga Palestina ke ambang kelaparan.
Pusat distribusinya dijuluki “jebakan maut” oleh seorang pejabat PBB, sementara para pengkritik menyebut sistem ini sengaja didesain untuk mendorong warga sipil pindah ke selatan—sebuah langkah yang menurut organisasi hak asasi tergolong pemindahan paksa.
Pada 23 Juni, lima belas organisasi hak asasi manusia dan kemanusiaan mengeluarkan surat bersama yang ditujukan kepada GHF dan perusahaan afiliasinya, Safe Reach Solutions dan UG Solutions, menuntut agar mereka menghentikan operasi di Gaza atau menghadapi tuntutan hukum karena melanggar hukum internasional.
“Tidak bermoral dan tidak manusiawi ketika pelaku genosida justru bertindak sebagai pemberi makan kepada mereka yang telah mereka buat kelaparan,” kata Raji Sourani, direktur Palestinian Centre for Human Rights dan salah satu penandatangan surat tersebut.
Pada 13 Maret, laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkap bahwa 57 anak Palestina meninggal karena malnutrisi hanya dalam sebelas hari setelah blokade bantuan Israel dimulai pada 2 Maret, dengan rata-rata lebih dari lima anak meninggal setiap hari.
Meski belum ada pembaruan angka resmi sejak itu, kelompok hak asasi memperingatkan bahwa jumlah sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi. Runtuhnya layanan kesehatan membuat dokumentasi secara menyeluruh hampir mustahil dilakukan.