Apakah media Barat akhirnya meninggalkan Israel?
POLITIK
4 menit membaca
Apakah media Barat akhirnya meninggalkan Israel?Dari BBC hingga The Atlantic, sejumlah media mengecam strategi Israel di Gaza dalam sikap kolektif langka yang menentang dukungan AS terhadap perang genosida Tel Aviv.
Media-media Barat besar baru-baru ini mulai mempertanyakan amoralitas Israel selama perang dan mulai menarik kembali dukungan mereka yang sudah lama terhadap tindakan militer Israel. / AP
19 Mei 2025

Selama bertahun-tahun, media Barat mempertahankan narasi yang cukup konsisten soal Israel, dengan mengutamakan kekhawatiran keamanan Israel dan haknya untuk membela diri, sementara penderitaan rakyat Palestina seringkali hanya mendapat tempat kecil dalam liputan mereka.

Meski ada laporan yang memperkirakan kematian warga sipil Palestina antara 77.000 hingga 109.000 jiwa sejak kampanye militer Israel dimulai pada 7 Oktober lalu, publikasi-publikasi tersebut baru belakangan ini mulai mempertanyakan moralitas Israel dalam perang tersebut dan mulai mengurangi dukungan lama mereka terhadap tindakan militer Israel.

Sejak pekan lalu, sejumlah media seperti Financial Times dan The Economist menerbitkan kritik pedas terhadap rencana perang Perdana Menteri Benjamin Netanyahu serta enggan Amerika Serikat untuk ikut campur.

Thomas Friedman, kolumnis opini dari The New York Times yang selama ini mendukung Israel, kini memperingatkan bahwa “pemerintah Israel saat ini bukan sekutu kami” dan menuduhnya merusak kepentingan Amerika di kawasan.

Pada minggu yang sama, sebuah editorial di Financial Times mengutuk “keheningan memalukan Barat terhadap Gaza,” sementara The Atlantic mengaitkan janji Netanyahu tentang “kemenangan mutlak” dengan pembersihan etnis terhadap rakyat Palestina.

The Economist menyatakan bahwa perang “harus dihentikan” dan mendesak Presiden Donald Trump untuk memaksa tercapainya “gencatan senjata.”

Apa yang menjelaskan lonjakan tajam komentar kritis terhadap Israel dari media besar ini? Apakah ini menandai pergeseran mendasar dalam wacana internasional tentang Israel?

“Netanyahu bukan teman kami”

Perubahan signifikan yang terlihat belakangan ini dalam pemberitaan media Barat tentang Israel tampaknya bukan kebetulan semata.

Beberapa editorial tepat waktu mencerminkan sejumlah faktor, termasuk ketegangan publik antara Gedung Putih dan Netanyahu terkait strategi Gaza dan Iran, serta bukti yang makin kuat bahwa ofensif Israel mengalami kebuntuan secara militer dan malah berbalik merugikan secara politik. Lebih dari 60 persen warga Israel menolak serangan darat baru, dan panggilan untuk reservis pun banyak yang tak direspons.

Seiring meningkatnya korban sipil, sejumlah editorial memperingatkan bahwa invasi Israel di Gaza saat ini sedang berubah menjadi “genosida”.

Menurut jajak pendapat yang dikutip oleh BBC, hanya 46 persen warga Amerika kini mendukung Israel — angka terendah dalam 25 tahun terakhir — sementara dukungan untuk Palestina mencapai 33 persen, angka yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Perubahan sikap media ini juga bertepatan dengan ketegangan yang meningkat antara Netanyahu dan pemerintahan Trump, seperti yang dijabarkan dalam artikel Shalom Lipner di Foreign Policy tentang kemungkinan “benturan” antara Netanyahu dan Trump.

Artikel tersebut menyoroti bagaimana Perdana Menteri Israel “cepat menyadari bahwa kemampuannya bermanuver dalam ranah politik yang penuh ranjau ini kini sangat terbatas” di Washington, di mana dukungan Partai Republik kini “terikat kuat pada pengaruh Trump.”

Hal ini diperkuat lagi oleh keputusan Presiden AS untuk melewatkan Israel dalam tur Timur Tengahnya karena “tidak ada yang bisa dia dapatkan dari kunjungan ke Israel saat ini.

Tulisan Friedman di The New York Times pada hari yang sama menyoroti Presiden Trump secara langsung, dengan mengatakan, “pemerintah Israel saat ini bertindak dengan cara yang mengancam kepentingan keras Amerika di kawasan. Netanyahu bukan teman kami.”

Ia berargumen bahwa prioritas pemerintah Netanyahu bukanlah perdamaian, melainkan “aneksasi Tepi Barat, pengusiran warga Palestina di Gaza, dan pendirian kembali permukiman Israel di sana.”

Namun, perubahan sikap ini bukan hanya karena alasan politik, tetapi juga karena tantangan militer.

Pada awal Mei, sebuah misil Houthi berhasil menembus sistem pertahanan THAAD buatan AS milik Israel dan memaksa Bandara Ben Gurion ditutup serta semua penerbangan dibatalkan. Pelanggaran dari kelompok Yaman ini mengungkap kelemahan tak terduga pada sistem pertahanan misil yang dipasok Amerika tersebut. Situasi ini diperparah dengan hilangnya 3 pesawat tempur dan 7 drone Reaper.

Serangkaian kemunduran ini merugikan kepentingan Washington di kawasan dan membantu menjelaskan mengapa media kini mulai mempertimbangkan ulang sikap mereka terhadap perang Israel.

Dalam upaya membatasi kerusakan, Amerika Serikat kemudian menyetujui “gencatan senjata antara Washington dan otoritas terkait di Sanaa” yang membatasi serangan Houthi terhadap kapal AS, sementara Israel dibiarkan sendiri tanpa dukungan.

Cerita lama yang terulang

Arwa Damon, mantan koresponden internasional CNN sekaligus pendiri International Network for Aid, Relief and Assistance (INARA), melihat perubahan sikap media Barat terhadap Israel saat ini mengingatkan pada pola yang sudah pernah terjadi dalam pemberitaan pasca-invasi Irak tahun 2003.

“Ini mirip dengan yang kita saksikan setelah 9/11, ketika media Barat yang awalnya mengikuti narasi perang dari pemerintahan Bush mulai menjadi lebih kritis terhadap invasi pimpinan AS ke Irak, mempertanyakan dan mengkritik pemerintahan yang narasinya tak sesuai dengan apa yang media lihat langsung di lapangan,” ujarnya kepada TRT World.

Menurut Damon, pola serupa berlangsung lebih lambat di Gaza karena jurnalis asing dilarang masuk, dan satu-satunya saksi mata yang konsisten hanyalah jurnalis lokal yang karyanya sering diragukan kredibilitasnya oleh banyak editor.

“Dalam kasus Israel dan Gaza, perubahan sikap ini butuh waktu lebih lama. Media asing memang tidak diizinkan Israel masuk ke Gaza untuk alasan ini, dan sayangnya jurnalis Palestina yang melakukan pekerjaan luar biasa masih dilihat dengan keraguan soal kredibilitas mereka,” kata Damon.

SUMBER:TRT World and Agencies
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us