Warga Iran menyerukan pembalasan pada Jumat, menuntut respons cepat atas gelombang serangan udara Israel yang mengejutkan. Sebagian turun ke jalan untuk memprotes, sementara lainnya tetap berlindung di rumah, tak pasti apa yang akan terjadi selanjutnya.
Serangan udara tersebut menewaskan sejumlah petinggi militer, menargetkan sejumlah ilmuwan terkemuka, serta menghantam situs militer dan nuklir di seluruh Iran dalam serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya—menyulut amarah di berbagai penjuru negeri.
"Berapa lama lagi kita harus hidup dalam ketakutan?" tanya Ahmad Moadi, seorang pensiunan berusia 62 tahun. "Sebagai orang Iran, saya percaya harus ada respons yang luar biasa, respons yang menyengat."
Serangan ini tampaknya mendorong dua musuh lama itu ke dalam konflik terbuka setelah bertahun-tahun menjalankan perang bayangan melalui proxy.
Iran secara rutin menangkap individu yang dituduh menjadi mata-mata Israel, di tengah rentetan pembunuhan terarah dan sabotase terhadap program nuklirnya dalam beberapa tahun terakhir.
Sedikitnya enam ilmuwan yang terlibat dalam program nuklir Iran tewas dalam serangan Jumat.
"Mereka sudah membunuh begitu banyak profesor dan peneliti universitas, dan sekarang mereka ingin berunding?" ujar Moadi, merujuk pada seruan agar Iran tetap melanjutkan pembicaraan nuklir dengan sekutu Israel, Amerika Serikat, yang dijadwalkan akhir pekan ini.
Sementara Iran terus mengevaluasi kerusakan, sejumlah warga turun ke jalanan Teheran meneriakkan, "Matilah Israel, matilah Amerika," sambil mengibarkan bendera Iran dan memegang potret Pemimpin Tertinggi Ali Khamenei.
Televisi pemerintah melaporkan unjuk rasa serupa terjadi di berbagai kota lainnya di seluruh negeri.
Serangan Israel itu terjadi setelah berbagai ancaman yang dilontarkan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang tampaknya menandai puncak dari ambisi bertahun-tahun untuk menghantam program nuklir Iran.
"Kita tidak bisa membiarkan ini terus terjadi, atau nasib kita akan seperti Gaza," kata Abbas Ahmadi, warga Teheran berusia 52 tahun, dari balik kemudi mobilnya.
"Iran harus menghancurkannya, harus bertindak."
‘Tinggal selangkah menuju akhir’
Serangan pada Jumat terjadi setelah lebih dari setahun ketegangan meningkat, seiring Israel berhadapan dengan sekutu-sekutu regional Iran seperti Hizbullah di Lebanon dan Houthi di Yaman.
Di tengah situasi memanas itu, Israel dan Iran saling melepaskan serangan udara dua kali tahun lalu, meski belum sampai ke tahap perang besar-besaran.
Namun setelah serangan Jumat, semua prediksi buyar. Khamenei memperingatkan bahwa Israel akan menghadapi nasib yang "pahit dan menyakitkan", sementara militer Iran menyatakan tidak akan ada "batas" dalam tanggapan mereka.
Terlepas dari protes yang tersebar di beberapa titik, jalanan Teheran sebagian besar sepi, kecuali antrean panjang di SPBU—pemandangan yang sudah biasa muncul di masa-masa krisis.
Lalu lintas udara dihentikan di Bandara Internasional Imam Khomeini di Teheran di tengah kekacauan yang melanda kawasan.
Di distrik elit Nobonyad di Teheran utara, tim penyelamat masih menyisir puing-puing dua blok apartemen yang menjadi sasaran serangan Israel.
Keluarga-keluarga berkumpul di dekat lokasi dengan wajah berlinang air mata.
"Mereka ingin mencabut kemampuan nuklir kita — itu tidak bisa diterima," kata Ahmad Razaghi, 56 tahun, dengan tenang mengulang pernyataan resmi pemerintah.
Bagi Farnoush Rezaei, seorang perawat berusia 45 tahun yang mengenakan hijab berwarna cerah, serangan Jumat merupakan tindakan terakhir Israel — negara yang "tinggal selangkah lagi menuju akhir".
Para pemimpin Iran selama beberapa dekade telah bersikeras bahwa Israel akan "segera lenyap". "Jika Tuhan menghendaki, setidaknya sedikit ketenangan bisa datang dari semua ini," ujar Rezaei.