Di Gaza, permainan anak-anak telah berubah. Anak-anakku dulu bermain rumah-rumahan, suka bermain bola, dan menghabiskan waktu berjam-jam di taman bermain dekat rumah kami. Sekarang, bahkan tak ada lagi ruang untuk menendang sisa bola kempis.
Alih-alih berlari untuk bersenang-senang, mereka berlari dari suara bom. Permainan kini hanyalah membentuk potongan plastik di sela-sela ketakutan dan perjuangan bertahan hidup. Masa kecil di Gaza bukan sekadar menyusut—ia tengah dihapuskan.
Aku adalah seorang pekerja kemanusiaan di Save the Children, tapi di atas segalanya, aku adalah seorang ayah dari lima anak. Anak bungsuku berusia dua belas tahun, yang sulung dua puluh dua. Seperti hampir seluruh dari 2,1 juta penduduk Gaza, kami kesulitan memenuhi kebutuhan dasar: makanan, air bersih, dan tempat untuk mencuci diri.
Perang ini membalikkan hidup kami. Kami kehilangan segalanya—rumah yang kami cintai, tempat kerja, sekolah anak-anakku. Semua hilang. Kini kami tunawisma. Kami tinggal di wilayah yang disebut sebagai ‘zona kemanusiaan’. Tapi tak ada yang manusiawi di sana.
Saat sebagian dunia memperingati Hari Anak Internasional pada 1 Juni dengan permainan, hadiah, dan tawa, anak-anak Gaza justru kehilangan unsur paling dasar dari masa kecil. Hak mereka untuk bermain, makan, bahkan hidup, terus-menerus dilanggar.
Meski berada dalam situasi yang sangat tidak manusiawi, aku dan istriku tetap berusaha membuat hidup terasa lebih layak. Kami bercerita, bermain, tertawa dalam momen kecil. Kami menanam beberapa bunga di dekat tenda kami. Kami melihat burung terbang, memotret matahari terbenam. Kami memberi makan kucing-kucing liar dan mencoba menghadirkan kebahagiaan di mana pun kami bisa.
Anak-anak akan selalu menjadi anak-anak. Mereka ingin bermain, merasa bebas. Tapi kini, segalanya di sekitar kami penuh bahaya. Keluar rumah saja bisa mengancam nyawa.
Masa kecil yang dirampas
Seluruh dari 1,1 juta anak di Gaza terkena dampak perang ini. Setiap taman bermain, sekolah, dan tempat yang dulu memberi mereka ruang untuk belajar, tumbuh, dan bernapas, kini tak bisa diakses.
Sekolah-sekolah berubah jadi tempat pengungsian yang sesak, dan banyak yang dibom saat keluarga berada di dalamnya. Hampir semua (95 persen) bangunan sekolah di Gaza rusak, termasuk seluruh sekolah di Gaza Utara. Ini bukan sekadar serangan militer. Ini adalah perang terhadap masa kecil.
Hak anak untuk bermain bukanlah pilihan. Itu dilindungi oleh hukum internasional. Pasal 31 Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak menyatakan, setiap anak berhak untuk beristirahat dan bermain. Bahkan di masa perang.
Anak-anak harus dilindungi dan dijamin akses terhadap makanan, air, perawatan medis, dan hak untuk bermain. Di Gaza, hak itu terus-menerus ditolak. Bermain bukanlah kemewahan—itu adalah kebutuhan penting bagi perkembangan dan pemulihan emosional anak. Itu cara mereka memahami dunia, membangun koneksi, dan mulai menyembuhkan diri.
Suatu hari, anakku berkata, “Ayah, aku benci Gaza. Aku tidak mau tinggal di sini lagi.” Aku tak bisa berkata apa-apa. Apa yang bisa kau katakan ketika bahkan janji akan rasa aman atau masa kecil pun tak bisa kau berikan?
Di Gaza, anak-anak hanya mencoba bertahan hidup. Banyak keluarga yang terpaksa mengandalkan anak-anak mereka untuk mengambil air dari jarak jauh, membawa jeriken berat di bawah terik matahari. Yang lain mengirim anak-anak ke titik distribusi makanan yang penuh sesak—tempat yang berisiko tinggi bagi anak untuk terluka, dieksploitasi, bahkan lebih buruk.
Anak-anakku—seperti banyak anak lainnya—bukan hanya kehilangan rumah, tapi juga semangat mereka.
Anakku membuat layang-layang dari kertas hitam. Aku memperhatikannya dari kejauhan dan melihat sesuatu yang ganjil: semua layang-layang berwarna hitam. Anak-anak biasanya memilih warna cerah. Tapi mungkin layang-layang ini mencerminkan betapa beratnya hidup saat ini. Di Gaza, bahkan permainan pun membawa beban perang.
Selama jeda singkat pertempuran awal tahun ini, Save the Children membantu membangun ruang ramah anak—tenda dan kelas darurat tempat anak-anak bisa menggambar, bermain, menyanyi, dan menari. Tapi saat bom kembali jatuh, tempat-tempat aman itu hancur lagi.
Masa depan yang hancur
Sebagai manajer perlindungan anak, aku melihat sendiri betapa dalam dampak perang ini terhadap anak-anak. Aku bekerja dengan anak-anak yang sulit tidur, mengompol, menempel terus pada orang tua atau tiba-tiba marah tanpa sebab. Ada yang jadi pendiam, ada yang cemas sepanjang waktu. Stres toksik—yang dipicu oleh perang dan pengungsian—mengganggu perkembangan otak. Tapi kau tak perlu jadi ahli untuk melihat dampak jangka panjang perang ini.
Dampak jangka panjang dari hilangnya permainan juga sangat menghancurkan. Anak jadi sulit fokus, sulit mengingat, sulit belajar. Risiko depresi, kecemasan, dan penyakit kronis di masa depan meningkat. Semua ini merusak masa depan mereka—dan masa depan masyarakat kita secara keseluruhan. Anak-anak adalah masa depan kita. Masa depan seperti apa yang akan mereka punya dengan awal hidup seperti ini?
Anak-anak yang tak bisa bermain kehilangan ruang untuk memproses trauma, membangun persahabatan, dan membayangkan sesuatu yang lebih baik. Di Gaza, tanpa mainan, tanpa privasi, tanpa rasa aman, anak-anak dirampas bukan hanya dari kebahagiaan, tapi juga dari alat untuk memulihkan diri. Anak-anak dengan disabilitas terdampak lebih parah lagi.
Namun meski begitu, anak-anak Gaza tetap berusaha menjadi anak-anak. Aku melihat mereka bermain dengan sisa-sisa kain, plastik, dan puing lainnya, bernyanyi pelan, dan mencoba menemukan kebahagiaan di tengah kehancuran. Tapi mereka seharusnya tidak perlu berjuang sekeras ini hanya untuk merasa menjadi anak-anak.
Hanya ada satu cara untuk melindungi anak-anak dan masa depan mereka di Gaza: gencatan senjata permanen dan menyeluruh.
Bom harus berhenti. Anak-anak di Gaza tidak butuh jeda sementara. Mereka butuh kedamaian yang abadi, masa kecil yang utuh, dan akses kemanusiaan penuh agar kami bisa membawa bantuan dan dukungan yang mereka butuhkan.
Hidup dan masa depan lebih dari satu juta anak bergantung padanya.
Namun meski semua ini, aku masih percaya bahwa hidup itu indah dan bahwa kami akan bertahan—entah bagaimana caranya.
Hari ini, saat dalam perjalanan ke kantor, aku melihat sekelompok remaja putri berjalan bersama, mengenakan seragam sekolah dengan anggun. Aku bertanya, “Kalian mau ke mana sepagi ini?” Mereka bilang, seseorang telah mendirikan tenda tempat mereka bisa belajar pelajaran sekolah lagi. Ini inisiatif sederhana, tapi membuatku kembali punya harapan. Generasi ini kuat. Mereka akan memimpin perubahan. Mereka akan membangun kembali Gaza.