Gaza menghadapi kelaparan yang dipicu oleh blokade Israel dan diperkirakan akan meninggalkan dampak psikologis serta sosial yang mendalam. Sementara lebih dari dua juta warga Palestina hidup dalam kondisi yang terus memburuk, bantuan kemanusiaan masih terhambat.
Sejak Oktober 2023, sedikitnya 122 warga Palestina—termasuk 83 anak-anak—meninggal karena kelaparan akibat pembatasan ekstrem terhadap distribusi makanan dan bantuan, menurut organisasi bantuan. Lembaga internasional memperingatkan bahwa ratusan ribu lainnya berada di ambang kematian karena konvoi bantuan masih tertahan di luar wilayah Gaza.
“Ada dampak sosial lintas generasi. Trauma, rasa terhina, dan kehilangan martabat akibat pengalaman kelaparan akan terus membekas dalam ingatan masyarakat,” ujar Alex de Waal, direktur World Peace Foundation di Tufts University dan penulis Mass Starvation: The History and Future of Famine, kepada Anadolu Agency.
Ia membandingkan situasi Gaza dengan Kelaparan Besar Irlandia tahun 1840-an. “Saya khawatir trauma dan dehumanisasi di Gaza akan menjadi luka yang membutuhkan waktu beberapa generasi untuk sembuh,” lanjutnya.
Anak-anak menjadi kelompok paling terdampak. PBB memperkirakan lebih dari satu juta anak menghadapi kelaparan dan malnutrisi yang semakin parah. Dalam dua minggu pertama Juli, hampir 5.000 dari 56.000 anak di bawah usia lima tahun yang diperiksa di Gaza Tengah dan Selatan mengalami malnutrisi akut.
Anak-anak paling terdampak
Pakar kelaparan Ingrid de Zwarte, dosen sejarah ekonomi dan lingkungan di Universitas Wageningen, menyatakan bahwa dampak terhadap anak-anak bisa berlangsung seumur hidup.
“Ada dampak fisik akibat kekurangan gizi seperti kelelahan, penurunan fungsi tubuh dan daya tahan, serta peningkatan risiko penyakit,” ujarnya. “Anak-anak kecil sangat rentan.”
Ia menambahkan bahwa kelaparan pada masa kanak-kanak, seperti yang terjadi di Belanda pada musim dingin 1944–1945, berkaitan dengan peningkatan risiko diabetes, obesitas, penyakit jantung, gangguan kejiwaan, bahkan kematian dini.
“Bertindak cepat dan efektif tidak hanya menyelamatkan mereka yang menderita saat ini, tapi juga melindungi generasi berikutnya dari dampak kelaparan jangka panjang.”

Runtuhnya masyarakat Gaza
De Waal menegaskan bahwa anak-anak Gaza akan membawa luka ini sepanjang hidup mereka. Kedua ahli juga memperingatkan bahwa Gaza tengah mengalami keruntuhan sosial.
“Kelaparan berarti kehancuran total masyarakat—komunitas hancur, pasar tak lagi berfungsi, harga melonjak tajam, pencurian dan kekerasan meningkat, serta terjadi migrasi besar-besaran,” jelas de Zwarte.
De Waal menggambarkan situasi Gaza secara gamblang: “Infrastruktur dasar telah dihancurkan. Tidak ada air bersih, sanitasi, tempat tinggal, maupun bahan bakar untuk memasak... Tatanan sosial juga runtuh.”
“Ketika masyarakat Gaza jatuh ke dalam kelaparan massal dan penderitaan ekstrem... trauma yang lebih besar bisa muncul.”
Ia memperingatkan bahwa Gaza mungkin sudah mencapai titik kritis seperti yang terlihat dalam kelaparan besar lain dalam sejarah. “Biasanya ada titik di mana masyarakat tak bisa lagi bertahan, dan penderitaan meningkat bukan secara bertahap, melainkan melonjak tajam. Saya sangat khawatir Gaza sudah mencapai titik itu.”
Ia menambahkan bahwa perawatan anak-anak yang mengalami malnutrisi tidak bisa dilakukan sembarangan. “Anak-anak malnutrisi parah tidak bisa diberi makanan kering seperti pasta. Mereka butuh perawatan terapeutik khusus.”
‘Kami tahu ini kelaparan’
Meski PBB baru menyatakan kelaparan setelah memenuhi ambang data tertentu, de Waal menegaskan bahwa para ahli di lapangan sudah melihat kenyataan itu.
“Para spesialis di Famine Review Committee PBB merasa frustrasi. Mereka tahu apa yang terjadi, tapi tidak bisa secara resmi menyatakan, ‘Ini kelaparan,’” katanya.
“Kalau kita sudah melihat orang mengais makanan di tempat sampah, makan pakan ternak, menyembunyikan makanan dari tetangga, dan berebut bantuan makanan—itu adalah kelaparan. Kita tak perlu menunggu data.”
De Waal menambahkan bahwa biasanya kelaparan menimpa sebagian populasi, dan PBB menggunakan tolok ukur jika 20 persen rumah tangga mengalami kelaparan ekstrem. Namun di Gaza, “kelaparan terjadi secara menyeluruh di seluruh wilayah.”
Meski demikian, de Zwarte menekankan bahwa deklarasi resmi tetap penting, meski sulit dilakukan karena kurangnya data.
Kelaparan yang disengaja
De Waal menyebut Gaza sebagai salah satu contoh kelaparan yang disengaja paling parah dalam sejarah modern.
“Teknik kelaparan sebagai senjata yang digunakan di Gaza juga pernah terlihat di Ethiopia, Yaman, Myanmar, Suriah, dan Sudan. Tapi yang membuat Gaza unik adalah letaknya—hanya satu jam dari pusat organisasi internasional yang punya semua kemampuan untuk memberi bantuan,” katanya.
“Yang dibutuhkan hanya satu pernyataan dari Perdana Menteri Benjamin Netanyahu: ‘Setiap anak di Gaza akan sarapan besok pagi.’ Dan itu bisa terjadi.”
Ia juga menunjukkan bahwa Israel pernah bertindak cepat ketika ancaman menyangkut kepentingan mereka sendiri. “Saat Israel khawatir akan wabah polio tahun lalu yang bisa mengancam tentaranya, mereka bekerja sama dengan WHO untuk memvaksinasi 95 persen anak-anak Gaza dalam hitungan hari.”
Gaza juga unik karena kelaparan biasanya terjadi di wilayah pedesaan. “Jarang terjadi kelaparan di wilayah urban, apalagi di kalangan masyarakat kelas menengah yang sebelumnya memiliki pendapatan.”
Pendekatan global harus berubah
De Waal menegaskan bahwa pendekatan global terhadap kelaparan harus berubah.
“Selama ini, pemerintah dan lembaga baru menyatakan ada kelaparan saat sudah terlambat—saat kuburan anak-anak sudah bisa dihitung,” ujarnya.
“Kewajiban kita bukan hanya mengatasi kelaparan, tapi mencegahnya. Selama 18 bulan terakhir sudah banyak peringatan kredibel, tapi tidak ada atau sangat sedikit yang dilakukan untuk menghentikannya.”
“Beberapa langkah memang diambil untuk memperlambatnya, tapi tak ada yang benar-benar menghentikan mesin besar kelaparan ini yang menggilas rakyat Gaza.”
De Zwarte menutup dengan menyerukan pertanggungjawaban hukum: “Komunitas internasional harus menegakkan komitmennya di bawah Resolusi Dewan Keamanan PBB 2417, yang secara tegas mengecam penggunaan kelaparan sebagai alat perang.”
“Komitmen ini harus ditegakkan melalui sanksi dan penuntutan hukum, agar kejahatan kelaparan bisa dicegah dan dihentikan.”