Melanjutkan kerja sama dengan IAEA
“Kami menggunakan kata ‘tidak dapat diterima’ karena Iran memilih untuk menghentikan kerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) saat sebenarnya ada peluang untuk mengubah haluan dan memilih jalan damai dan makmur,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Tammy Bruce dalam sebuah briefing.
AS mendesak Iran agar segera kembali bekerja sama dengan badan tersebut. Bruce menambahkan bahwa sebelum “operasi militer sukses” AS, Iran sedang menimbun uranium yang diperkaya hingga 60%, tanpa alasan damai yang kredibel.
Pada 25 Juni, sehari setelah kesepakatan gencatan senjata dengan Israel tercapai, parlemen Iran memutuskan menghentikan kerja sama dengan IAEA. Pada 2 Juli, Presiden Masoud Pezeshkian menandatangani keputusan tersebut.
Menjelang operasi Israel, IAEA merilis laporan yang mempertanyakan tujuan damai program nuklir Iran. Sebuah surat kabar utama Iran bahkan menyerukan agar kepala IAEA Rafael Grossi ditahan dan dihukum mati atas tuduhan berkolaborasi dengan Israel jika berkunjung ke Iran.
Ada juga seruan di Iran untuk menarik diri dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), dengan alasan perjanjian tersebut seharusnya menjamin keamanan Iran, bukan justru menjadi alasan negara itu tersisih.
Sinyal dari Washington
Secara keseluruhan, pemerintahan Presiden Donald Trump mengirimkan sinyal yang bertolak belakang soal kesiapan mereka mengajak Tehran kembali ke meja perundingan. Awalnya, Trump mengatakan akan mempertimbangkan pelonggaran sanksi jika Iran menunjukkan niat damai dan tidak berbuat kerusakan lagi.
Namun sehari kemudian, dia menegaskan bahwa Washington tidak siap memberi konsesi apa pun kepada Iran.
Trump menyatakan sikap tegas itulah yang membedakan pemerintahannya dengan pemerintahan Barack Obama yang “mengizinkan Iran menerima miliaran dolar lewat kesepakatan nuklir.”
Pemimpin AS itu juga menegaskan bahwa Amerika “telah menghancurkan fasilitas nuklir Iran sepenuhnya” dan dirinya sendiri “tidak pernah berbicara dengan Iran.”
Sementara itu, Tehran menegaskan dialog hanya mungkin dilanjutkan jika AS berhenti memberi tekanan psikologis dan menjamin tidak melanjutkan aksi militer.
Pemerintah Iran juga menegaskan haknya untuk menjalankan program pengayaan uranium sendiri. Wakil tetap Iran di PBB, Amir Saeed Iravani, mengatakan bahwa pengayaan uranium “tidak akan pernah berhenti.”
Menurut media AS, Utusan Khusus Presiden Steve Witkoff kemungkinan segera bertemu pejabat Iran untuk membahas kesepakatan nuklir.
Meskipun selama 12 hari terjadi serangan bom Israel dan bom penghancur bunker AS, Tehran berhasil mempertahankan kapasitas nuklirnya dan mungkin sudah menjalankan beberapa rangkaian sentrifugal untuk memproduksi uranium yang diperkaya dalam beberapa bulan mendatang, kata kepala IAEA Rafael Grossi.
Tehran juga menyatakan siap berdialog, tapi karena serangan Israel dan AS, “kondisi belum memungkinkan untuk putaran baru” sehingga tidak berharap dialog dengan AS segera dilanjutkan.
Namun, Wakil Menteri Luar Negeri Iran dalam wawancara dengan media Barat tidak menutup kemungkinan melanjutkan negosiasi, dengan syarat ada jaminan agar tidak terjadi eskalasi lebih lanjut.
Tehran juga menilai sinyal yang dikirim Presiden AS tidak jelas dan lebih merupakan “permainan psikologis dan media” daripada ajakan berdialog.
Secara keseluruhan, Donald Trump tertarik melanjutkan dialog dengan Iran, demi memperkuat citranya sebagai pemimpin tegas yang meraih perdamaian lewat kekuatan, menggabungkan serangan terhadap fasilitas nuklir dan diplomasi.
Pendapat para ahli
Alexey Naumov, ahli Amerika dan pakar Dewan Urusan Internasional Rusia (RIAC), menilai bahwa dalam konflik Iran-Israel, Trump berusaha memainkan peran yang sama seperti saat konflik Rusia-Ukraina: sebagai mediator dengan kepentingan sendiri.
“Harus ada perdamaian antara kedua negara, dan Iran tidak boleh punya program nuklir, jadi kami akan menjatuhkan 14 bom. Setelah itu, kami buat perdamaian — siapa yang bisa melarang? Apa yang bisa kalian lakukan? Di Rusia-Ukraina, dia mencoba moderasi yang sama — harus ada perdamaian, tapi pertempuran dibekukan di garis konflik saat ini,” jelasnya.
Namun, menurut Naumov, perbedaan utama adalah Trump bisa memberi tekanan efektif pada Israel dan Iran, tapi tidak pada Rusia.
“Itulah sebabnya upaya perdamaian ‘dengan tinju’ Trump berhasil di Timur Tengah, tapi tidak di Eropa Timur,” tambahnya.
Wakil Presiden Eksekutif Quincy Institute for Responsible Government berpendapat Trump benar-benar ingin melanjutkan proses negosiasi dan mencapai gencatan senjata.
“Untuk itu, dia harus tidak hanya menekan Israel sekali, tapi secara konsisten. Dia sudah membuktikan bisa memengaruhi Israel, tapi belum bisa membuat pemerintah Israel mematuhinya. Misalnya, di Gaza, dia memaksa Netanyahu setuju gencatan senjata, tapi gagal membuat pemerintah Israel menjalankannya,” ujarnya.
Menurut pakar tersebut, agar tekanan berhasil, Trump harus menemukan cara mencapai kesepakatan dengan Iran.
“Iran harus menunjukkan kesiapan untuk dialog baru dan pendekatan kreatif agar kedua pihak bisa mengaku tidak mundur dari ‘garis merah’ masing-masing. Namun, Trump harus menyampaikan kepada Iran bahwa dia siap kembali ke ‘garis merah’ aslinya: tidak ada tindakan yang mengubah program nuklir jadi militer,” katanya.
Ia menilai untuk itu perlu meninggalkan “garis merah” Israel — yaitu larangan pengayaan uranium.
“Sebab akar konflik terbaru, dosa asalnya, adalah karena versi ‘garis merah’ Israel diadopsi,” tutup analis tersebut.