Selama tiga tahun berturut-turut, bank sentral dunia membeli emas dalam jumlah besar, tampaknya sebagai upaya untuk mengantisipasi ketidakpastian politik dan ekonomi global.
Gelombang pembelian besar-besaran ini mulai serius pada kuartal ketiga 2022. Sejak saat itu, harga emas telah melonjak lebih dari dua kali lipat hingga menembus $3.300 per ons.
“Bank sentral telah mengakumulasi lebih dari 1.000 ton emas setiap tahun selama tiga tahun terakhir, naik tajam dibanding rata-rata 400–500 ton per tahun dalam dekade sebelumnya,” ujar Juan Carlos Artigas, Kepala Riset Global di World Gold Council (WGC) kepada TRT World.
Didorong oleh perang di Gaza dan Ukraina, serta ketidakpastian ekonomi seperti kebijakan tarif yang tidak menentu selama pemerintahan Trump, lonjakan permintaan emas dari bank sentral mendorong harga emas ke level tertinggi sepanjang masa.
Pembelian besar-besaran yang terus terjadi dari tahun ke tahun ini turut berdampak pada pasar ritel, di mana harga emas yang semakin mahal telah menekan permintaan untuk perhiasan.
Shabbir Hussain Imam, jurnalis multibahasa yang berbasis di Peshawar, Pakistan utara, mengatakan kepada TRT World bahwa masyarakat mulai berhenti membeli perhiasan karena harga yang melonjak.
“Dulu, masyarakat di Peshawar rutin membeli emas dalam jumlah kecil, entah untuk menambah koleksi perhiasan keluarga atau sebagai hadiah. Kini tradisi itu mulai memudar,” ujarnya.
Data menunjukkan tren ini. Permintaan global untuk perhiasan emas “turun drastis” awal tahun ini di tengah “lingkungan harga yang mencetak rekor.” Harga emas ritel bagi konsumen Pakistan naik 2,5 kali lipat dalam tiga tahun terakhir.
Lonjakan harga ini membuat banyak keluarga terpaksa “menyewa” perhiasan imitasi untuk pesta pernikahan—sesuatu yang “hampir tak pernah terjadi” sebelumnya. “Dalam tiga dekade meliput berita, saya belum pernah melihat tekanan ekonomi seperti ini,” kata Imam.
Berdasarkan survei prospektif, tren bank sentral dunia menimbun emas tampaknya bukan fenomena sesaat.
Survei WGC 2025 Central Bank Gold Reserves menunjukkan bahwa 95 persen responden memperkirakan cadangan emas global akan meningkat dalam 12 bulan ke depan.
Rekor 43 persen bank sentral yang disurvei WGC juga mengantisipasi pertumbuhan dalam cadangan emas mereka selama periode yang sama.
Menariknya, tak satu pun dari bank sentral tersebut memperkirakan adanya penurunan dalam kepemilikan emas mereka.
Apa yang memicu kegilaan emas ini?
Emas telah menjadi penyimpan nilai selama ribuan tahun. Hingga 1971, sistem ekonomi global mengadopsi standar emas, di mana mata uang dapat dikonversi menjadi emas dengan harga tetap. Ini membuat negara-negara terdorong untuk menstabilkan mata uang mereka dengan membangun cadangan emas.
Namun, semua itu berubah lebih dari lima dekade lalu ketika Presiden Richard Nixon secara sepihak meninggalkan standar emas demi mengendalikan inflasi di AS. Sejak saat itu, uang fiat yang diterbitkan pemerintah—terutama dolar AS—menggantikan emas sebagai aset utama dalam cadangan devisa bank sentral dunia.
Meski demikian, sebagian besar bank sentral tetap menyimpan sebagian cadangannya dalam bentuk emas. Mereka melakukan ‘diversifikasi’ untuk menghindari nasib seperti Rusia, Iran, dan Afghanistan—negara-negara yang kehilangan akses terhadap cadangan mereka sendiri, yang nilainya mencapai ratusan miliar dolar, akibat sanksi dari AS.
Artigas mengatakan, bank sentral memandang emas sebagai aset strategis dan andal saat krisis, sehingga menjadi alasan utama pembelian besar-besaran.
Ricardo Evangelista, direktur di perusahaan pialang ActivTrades, juga mengungkapkan hal serupa. Serangan Rusia ke Ukraina serta “sanksi dan pembekuan aset yang dijatuhkan Barat — membuat banyak negara memilih menjauh dari dolar dan beralih ke emas sebagai penyimpan nilai,” katanya kepada TRT World.
Peran emas sebagai lindung nilai terhadap inflasi dan aset aman di tengah ketidakpastian geopolitik semakin memperkuat daya tariknya, tambahnya.
Siapa yang memimpin pembelian emas dunia?
Meski tren ini terjadi secara global, bank sentral negara berkembang tampak paling gencar dalam memborong emas.
Artigas mencatat bahwa sejak 2010, negara-negara seperti China, Polandia, Turkiye, dan India termasuk yang paling agresif dalam membeli emas.
Evangelista menambahkan bahwa negara-negara Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab, Qatar, dan Oman juga masuk dalam daftar, mengingat pembelian signifikan mereka sejak 2022.
“Negara maju umumnya sudah memiliki cadangan emas dalam jumlah besar, sementara banyak negara berkembang baru mencari cara untuk mendiversifikasi cadangan mereka sejak pergantian abad,” jelas Artigas.
Motivasi di balik pembelian ini mencerminkan strategi politik dan ekonomi negara-negara tersebut. Bagi China, pembeli emas terbesar dunia dalam beberapa tahun terakhir, langkah ini merupakan bagian dari upaya besar untuk mengurangi ketergantungan pada dolar—mata uang yang mendominasi perdagangan global namun penuh risiko di era sanksi dan ketegangan geopolitik.
Polandia, misalnya, menyebut emas sebagai instrumen penting untuk memperkuat keamanan nasional dan ketahanan ekonomi, terutama dalam bayang-bayang perang Rusia-Ukraina.
“Perubahan ini mencerminkan tujuan strategis untuk mendiversifikasi cadangan, mengurangi ketergantungan pada dolar, dan melindungi aset di tengah ketidakpastian geopolitik dan ekonomi,” kata Evangelista.
Pernyataan kedaulatan
Permintaan yang terus-menerus dari bank sentral terbukti memiliki dampak nyata terhadap harga emas. Artigas menyebut bank sentral sebagai “sumber permintaan penting” selama tiga tahun terakhir yang telah “berkontribusi signifikan” terhadap kenaikan harga emas.
Inflasi global yang melonjak pasca pandemi Covid dan gangguan rantai pasok telah menggerus daya beli mata uang fiat.
Para analis menilai, inilah sebabnya bank sentral memandang emas sebagai penyeimbang andal terhadap mata uang fiat. Emas tak memiliki risiko pihak lawan—tak ada yang bisa gagal bayar emas—dan stabilitas historisnya menjadikannya aset unik di tengah gejolak pasar global.
Bagi negara berkembang, dorongan untuk mengumpulkan emas juga merupakan bentuk pernyataan kedaulatan. Dengan mengurangi ketergantungan pada dolar, negara seperti China dan India menunjukkan kendali lebih besar atas kebijakan ekonomi mereka.
“Kami masih memperkirakan permintaan dari bank sentral akan tetap kuat tahun ini dan memberi dampak positif terhadap performa emas, meski mungkin tak setinggi dua tahun sebelumnya,” pungkas Artigas.