Saat rencana distribusi bantuan baru yang didukung Amerika Serikat dimulai di Gaza pada Senin, situasi kemanusiaan terus memburuk seiring serangan militer terbaru Israel. Inilah kenyataan memilukan yang dihadapi warga Palestina yang terjebak di Gaza: terlantar, kelaparan, dan ditinggalkan, ini terekam jelas dalam foto-foto berikut.
Martabat yang hilang
Putus asa telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Gaza. Warga harus mengantre berjam-jam—seringkali tanpa hasil—demi mendapatkan sekarung tepung atau sepotong roti. Menurut PBB, lebih dari 1,1 juta orang—setengah dari populasi Gaza—menghadapi tingkat kerawanan pangan yang ekstrem, dengan kelaparan yang nyaris tak terelakkan jika bantuan tidak segera ditingkatkan. Blokade Israel, yang diperketat sejak 7 Oktober, sangat membatasi masuknya makanan, air, dan obat-obatan, mendorong wilayah ini ke jurang krisis kemanusiaan. Situasi memburuk sejak 2 Maret 2025, saat blokade baru menutup hampir seluruh perbatasan dan menghentikan sebagian besar pengiriman bantuan.
Satu generasi yang lumpuh
Di Gaza utara, rumah sakit kewalahan merawat anak-anak yang mengalami malnutrisi berat, banyak di antaranya menderita wasting dan dehidrasi. Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) melaporkan puluhan anak telah meninggal akibat komplikasi yang terkait dengan kelaparan. Blokade terbaru Israel sejak 2 Maret telah menyebabkan 326 kematian dan lebih dari 300 kasus keguguran, menurut Kantor Media Gaza pada Selasa lalu. Akses bantuan ke wilayah utara sebagian besar masih terblokir, dan lembaga kemanusiaan memperingatkan bahwa wilayah ini mungkin telah memasuki fase kelaparan diam-diam di mana kelaparan membunuh tanpa sorotan media.
Diperlakukan seperti hewan
Dengan pasar yang kosong dan pengiriman makanan yang tersendat, banyak keluarga terpaksa merebus rumput liar, dedaunan, dan pakan ternak untuk bertahan hidup. "Saya merasa sangat malu karena tidak bisa memberi makan anak-anak saya," ujar Mevat Hijazi, seorang ibu dari sembilan anak, kepada Reuters dari tenda yang mereka dirikan di tengah reruntuhan Kota Gaza. "Saya menangis di malam hari saat bayi saya menangis karena sakit perut akibat lapar."
Air di depan mata, tapi tak bisa diminum
Truk-truk berisi bantuan kemanusiaan masih tertahan di perbatasan Rafah, Mesir, dengan akses yang sering tertunda atau ditolak karena pemeriksaan keamanan Israel dan hambatan administratif. Program Pangan Dunia menyatakan bahwa hanya kurang dari seperempat bantuan makanan yang dibutuhkan yang berhasil masuk ke Gaza. Hingga pekan ini, hanya sedikit truk bantuan yang masuk, jauh di bawah rata-rata harian yang dibutuhkan untuk mencegah bencana kelaparan.
Wajah kelaparan
Biaya kemanusiaan dari kelaparan bukan lagi ancaman yang membayangi—ini sudah menjadi kenyataan. Seorang anak Palestina berusia 10 tahun, Yazan al-Kafarna, yang lahir dengan cerebral palsy, meninggal pada Maret 2024 akibat kondisi otot yang sangat mengecil karena kekurangan makanan, menurut dokter yang merawatnya. Gambar mengharukan Yazan yang tinggal tulang terbaring di rumah sakit di Rafah pada 3 Maret 2024 menyebar luas di media sosial, menjadi peringatan nyata akan krisis pangan di Gaza. Menurut Save the Children, angka kematian anak akibat kelaparan terus meningkat, dengan ratusan lainnya dalam kondisi berisiko. Ini adalah kematian yang bisa dicegah—bukan karena bencana alam, tetapi akibat pengepungan buatan manusia.
Penantian yang panjang
Bahkan ketika bantuan berhasil masuk, jumlahnya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Warga harus mengantre berjam-jam, bahkan tidur semalaman di dekat titik distribusi demi memperbesar peluang mereka. Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) memperingatkan bahwa stok mereka semakin menipis, karena gudang-gudang mereka menjadi sasaran serangan dan jalur akses sangat berbahaya. “Kami harus memilih siapa yang bisa makan,” kata seorang petugas PBB dengan nada getir, “karena kami tidak bisa memberi makan semuanya.”
Cukup sudah!
Di tengah meningkatnya kemarahan global, organisasi kemanusiaan menyerukan gencatan senjata segera dan akses bantuan tanpa hambatan. “Ini bukan soal logistik. Ini soal kemauan politik,” ujar Martin Griffiths, Koordinator Bantuan Darurat PBB. Tanpa intervensi diplomatik yang mendesak, kelompok-kelompok bantuan memperingatkan bahwa ribuan orang lainnya akan meninggal karena kelaparan—bahkan jika perang dihentikan besok.