Mengapa Palestina memperingati Naksa pada 5 Juni?
Mengapa Palestina memperingati Naksa pada 5 Juni?
Naksa atau "hari kemunduran" mengacu pada perang tahun 1967 di mana Israel menyerbu Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur, yang mengakibatkan perpindahan ribuan warga Palestina dari rumah mereka.
5 Juni 2025

Warga Palestina memperingati hari ke-58 Naksa — "hari kemunduran" — pada 5 Juni, hari di mana puluhan ribu dari mereka terusir dari tanah air mereka pada akhir Perang Enam Hari tahun 1967.

Naksa adalah istilah yang relatif jarang digunakan, tetapi sama pentingnya bagi warga Palestina seperti Nakba, atau 'malapetaka', yang diperingati setiap tahun pada 15 Mei, hari yang bertepatan dengan deklarasi kemerdekaan Israel.

Tahun ini, Naksa diperingati di tengah perang genosida Israel di Gaza yang telah menewaskan hampir 55.000 orang sejak 7 Oktober 2023.

Perang Enam Hari

Juga dikenal sebagai Perang Juni, berakhir dengan kekalahan pasukan Mesir, Yordania, dan Suriah oleh Israel.

Israel mengambil alih wilayah Tepi Barat dan Gaza yang dihuni warga Palestina, Semenanjung Sinai milik Mesir, dan Dataran Tinggi Golan milik Suriah.

Pengusiran pertama warga Palestina terjadi pada Mei 1948, tak lama setelah berdirinya negara Yahudi.

Pengusiran besar-besaran kedua terjadi pada tahun 1967.

Banyak resolusi PBB yang meminta Israel mundur dari wilayah-wilayah yang didudukinya gagal dilaksanakan. Israel terus menduduki semua wilayah tersebut kecuali Semenanjung Sinai, yang ditariknya pada tahun 1982 setelah perjanjian damai dengan Mesir.

Pertempuran dimulai dengan serangan udara mendadak Israel terhadap pangkalan udara Mesir di Sinai pada 5 Juni 1967.

Perang yang berlangsung selama enam hari ini menewaskan hampir 20.000 orang Arab (tentara dan warga sipil). Israel juga kehilangan 800 tentara dan warga sipil.

Diperkirakan 70 hingga 80 persen peralatan militer pasukan Arab hancur, sementara Israel hanya kehilangan 2-5 persen dari persenjataannya.

Pengungsian massal

Sekitar 300.000 warga Palestina terusir dari Gaza dan Tepi Barat, sebagian besar melarikan diri ke Yordania.

Israel masih menduduki 85 persen wilayah Palestina historis (27.000 km persegi).

Hanya 15 persen tanah yang tersisa untuk Palestina, sebagian besar juga berada di bawah pendudukan Israel.

Pada November 1967, Dewan Keamanan PBB melalui resolusi nomor 242 mendesak Israel untuk mundur dari wilayah yang didudukinya dalam perang tahun 1967.

Namun, Israel menolak mundur dari Dataran Tinggi Golan milik Suriah dan wilayah lainnya seperti yang disebutkan dalam resolusi PBB.

Dataran Tinggi Golan

Israel menduduki Dataran Tinggi Golan pada tahun 1981 melalui undang-undang yang disahkan oleh Knesset (parlemen Israel).

Komunitas internasional tidak mengakui pencaplokan tersebut.

Pada Desember 1981, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi nomor 497 menentang pencaplokan Israel.

Pada 25 Maret 2019, Presiden AS Donald Trump menandatangani proklamasi resmi yang menyatakan Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah Israel.

Deklarasi AS ini ditolak oleh semua negara Arab dan sebagian besar pemangku kepentingan internasional. PBB juga menegaskan bahwa mereka masih menganggap Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah Suriah di bawah pendudukan Israel.

Pendudukan langsung Israel atas Tepi Barat dan Gaza berlanjut hingga pembentukan Otoritas Palestina pada tahun 1993 setelah penandatanganan Kesepakatan Oslo antara Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Israel.

Menurut Kesepakatan Oslo, negara Palestina seharusnya diumumkan pada Mei 1999.

Namun, Israel mengingkari komitmennya dan justru memperkuat aktivitas pembangunan pemukiman di Tepi Barat yang diduduki.

Upaya perdamaian juga mengalami kemunduran setelah rencana Trump, yang semakin mengurangi hak-hak Palestina.

‘Kesepakatan Abad Ini’

Rencana yang disebut "kesepakatan abad ini" oleh AS diumumkan pada 28 Januari 2020, di mana Yerusalem disebut sebagai "ibu kota Israel yang tidak terbagi" dan mengakui kedaulatan Israel atas sebagian besar wilayah Tepi Barat yang diduduki.

Rencana tersebut menyerukan pembentukan negara Palestina dalam bentuk kepulauan yang dihubungkan oleh jembatan dan terowongan di bawah kendali keamanan Israel.

Warga Palestina secara luas menolak rencana AS ini, yang menurut pejabat Palestina, akan membuat Israel mencaplok 30–40 persen wilayah Tepi Barat dan seluruh Yerusalem Timur.

(Artikel ini pertama kali diterbitkan pada Juni 2020 dan diperbarui untuk mencerminkan situasi terkini di Gaza.)

SUMBER:TRT World and Agencies
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us