Selama bertahun-tahun, penderitaan Kashmir terus berlangsung perlahan, mengendap di bawah radar kesadaran global. Isu ini hanya muncul sesekali ke permukaan ketika tragedi yang cukup parah terjadi dan berhasil menggugah nurani dunia lewat tajuk utama media.
Diperlukan pembunuhan 26 warga sipil dalam serangan teroris di sebuah resor wisata populer, serta nyaris meletusnya perang antara dua negara bersenjata nuklir — India dan Pakistan — agar kawasan ini kembali mendapat sorotan internasional.
Seperti letusan mendadak dari gunung berapi yang lama tertidur, situasi yang berkembang ini mengguncang ilusi akan normalitas. Sekali lagi, kita diingatkan betapa rapuhnya kawasan tersebut dan betapa sentralnya peran Kashmir dalam konflik berkepanjangan antara India dan Pakistan.
Konflik-konflik yang saling terkait ini adalah warisan kolonial, lahir dari proses kemerdekaan India dari Kekaisaran Inggris, yang mengorbankan kesatuan wilayah menjadi dua negara: India dan Pakistan.
Sejak pemisahan yang penuh luka dan darah itu, Kashmir — dengan statusnya yang tak kunjung jelas — menjadi baik penyebab maupun akibat dari rivalitas berkepanjangan antara India dan Pakistan. Hasilnya: tiga perang, bentrokan yang tak terhitung jumlahnya, pemberontakan, dan kehancuran kemanusiaan yang terus berulang.
Konflik Kashmir hampir setua konflik Palestina. Dan meskipun beberapa akademisi menemukan gema yang serupa antara perjuangan di Kashmir dan Palestina, sejarah masing-masing wilayah, dinamika konflik, serta politik perlawanan mereka tetap berbeda.
Begitu juga dengan skala dan frekuensi intensitas konflik masing-masing.
Mungkin inilah salah satu alasan mengapa Kashmir jarang mendapatkan perhatian dunia sebesar Palestina.
Dengan perhitungan konservatif sekalipun, hampir 53.000 orang telah tewas sejak 7 Oktober 2023 dalam perang genosida Israel terhadap warga Palestina. Jumlah korban jiwa dalam perang Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung bahkan disebut lebih tinggi.
Sementara itu di Kashmir, wilayah berpenduduk mayoritas Muslim, estimasi kasar menyebutkan bahwa antara 40.000 hingga 70.000 orang — termasuk warga sipil, tentara, dan militan — telah kehilangan nyawa dalam 35 tahun terakhir.
Di dunia yang dilanda berbagai krisis—krisis iklim, darurat pengungsi, pemulihan pasca-pandemi, dan konflik bersenjata di berbagai benua—perhatian publik menjadi terbatas dan sering kali diliputi kelelahan.
Kekerasan yang muncul secara sporadis di Kashmir, diselingi oleh masa-masa tenang yang relatif, gagal menghasilkan sorotan media yang berkelanjutan seperti konflik internasional lain yang memiliki titik balik yang jelas dan eskalasi dramatis.
Tanpa pemicu berupa eskalasi besar atau perkembangan baru yang mencolok, konflik lama seperti Kashmir mudah tenggelam di latar belakang kesadaran global.
Metrik konvensional menutupi trauma
Selama lebih dari tujuh dekade, konflik di Kashmir telah menimbulkan trauma mendalam lintas generasi bagi penduduk yang terjebak di antara ambisi nasionalisme yang saling berbenturan.
Keluarga-keluarga telah terpisah secara brutal oleh batas-batas yang dibuat sewenang-wenang, dengan ratusan ribu orang terpaksa mengungsi selama puluhan tahun akibat perang yang berulang, ketegangan militer, dan kekerasan pemberontakan.
Warga di kawasan ini menjalani hidup yang penuh penderitaan—dibayangi pengawasan konstan, penggerebekan tengah malam, penghilangan paksa, serta pembatasan sistematis atas kebebasan dasar—di salah satu wilayah paling termiliterisasi di dunia, yang juga merupakan titik nyala nuklir.
Namun tetap saja, hal ini jarang dianggap layak diberitakan.
Dunia cenderung mengukur konflik lewat jumlah korban jiwa. Di luar angka kematian, yang sering luput dari perhatian adalah jutaan orang yang hidup di bawah penindasan setiap hari.
Skala penderitaan manusia yang sebenarnya tetap tak terlihat ketika fokus hanya tertuju pada hitungan korban tewas. Jarang ada ruang untuk membicarakan trauma diam-diam: keluarga yang terusir selama beberapa generasi, anak-anak yang tumbuh tanpa mengenal kepastian, komunitas yang hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan pengawasan.
Ini bukan sekadar catatan kaki dari sebuah konflik. Ini adalah warisan yang terus hidup.
Bahkan ketika erosi demokrasi dan penindasan fisik memadamkan harapan jauh lebih efektif daripada peluru, semua itu tetap tak menghasilkan tajuk berita dramatis—karena metrik konvensional gagal menangkap trauma kolektif yang bersifat mendalam dan berkelanjutan.
Nilai berita dari sebuah perang juga sering kali ditentukan oleh pergeseran geopolitik.
Meskipun Kashmir—yang berada di persimpangan India, Pakistan, China, dan Asia Tengah—memiliki posisi penting dalam peta strategi geopolitik yang lebih besar, kawasan ini tetap sering luput dari perhatian karena dinamika hubungan internasional yang terus berubah.
Persaingan AS-Uni Soviet selama era Perang Dingin turut membentuk dinamika hubungan India-Pakistan dalam soal Kashmir.
Dalam beberapa dekade terakhir, Pakistan makin mendekat ke China, sementara hubungannya dengan AS kian renggang. Pada saat yang sama, posisi India yang terus naik sebagai kekuatan global secara efektif melindunginya dari tekanan internasional yang berarti terkait Kashmir.
Sebagai negara demokrasi terbesar di dunia dan mitra ekonomi serta diplomatik yang semakin penting bagi negara-negara Barat, India berhasil membingkai isu Kashmir sebagai urusan domestik semata—narasi yang sebagian besar diterima oleh negara-negara Barat, terutama AS, yang ingin menjaga hubungan strategis dengan India sebagai penyeimbang terhadap China.
Organisasi internasional pun menemui jalan buntu.
Dewan Keamanan PBB, tempat keputusan berarti memerlukan konsensus, terus buntu karena tarik-menarik kepentingan geopolitik.
Kekuatan diplomasi India berhasil menetralkan kemungkinan intervensi internasional, sementara narasi mereka soal “perang melawan terorisme” selaras dengan kekhawatiran keamanan negara-negara Barat.
Sorotan media yang terus melemah
Konflik Kashmir juga menderita karena kurangnya representasi di media.
Selama puluhan tahun, media arus utama di India dan Pakistan memandang Kashmir lewat kacamata ultra-nasionalis. Liputan lebih banyak berkisar pada narasi negara bagian New Delhi dan Islamabad, sementara perang dan permusuhan mereka dijalankan di atas penderitaan rakyat Kashmir di kedua sisi perbatasan.
Media lokal di dua Kashmir tidak punya banyak daya, dan sebagian besar ditekan.
Di pihak India, sejak otonomi Kashmir dicabut pada 2019 dan wilayah itu berada langsung di bawah pemerintahan pusat, kebebasan media dihancurkan hingga nyaris tidak ada pemberitaan tentang Kashmir—kecuali narasi resmi yang menawarkan gambaran manis, menutupi penindasan harian yang dirasakan warga.
Liputan media India mereduksi Kashmir menjadi sekadar destinasi wisata, dan surat kabar lokal, di bawah tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya, berubah menjadi semacam brosur iklan yang memperbesar propaganda pemerintah.
Sementara media asing dilarang masuk ke Kashmir, media nasional India dan media lokal Kashmir sama-sama meniadakan laporan langsung dari komunitas. Narasi yang seharusnya berlapis, hilang sama sekali.
Situasi di sisi Pakistan kurang lebih serupa. Kekosongan informasi semacam ini mencegah cerita-cerita manusia yang kuat sampai ke audiens global.
Kashmir adalah rumah bagi 20 juta orang, yang terbagi di kedua sisi Garis Kontrol, dengan wilayah yang dikelola oleh India dan Pakistan, dan lebih lanjut terbagi menjadi Azaad Kashmir dan Gilgit-Baltistan (di sisi Pakistan) serta Jammu Kashmir dan Ladakh (di sisi India).
Jumlah populasi yang hidup dalam ketidakpastian terus-menerus, yang terpengaruh secara langsung atau tidak langsung oleh konflik yang sudah berlangsung tujuh dekade, jauh lebih besar dibandingkan banyak wilayah konflik berkepanjangan lainnya di dunia.
Konflik ini juga mengkhawatirkan karena menjadi perselisihan antara dua negara bersenjata nuklir, dan situasi saat ini menyoroti bahaya yang bisa ditimbulkan kawasan ini bagi dunia.
Selama kompas moral dunia bertindak sesuai dengan kepentingan strategis sementara, jumlah korban jiwa dan kekosongan informasi yang tercipta di bawah penindasan, Kashmir akan terus menjadi berita utama sesaat, hanya sesekali.