Pada 1 Mei tahun ini, sejumlah tokoh Muslim ternama di Amerika Serikat dijadwalkan berkumpul di Gedung Putih untuk bertemu Presiden Joe Biden dan merayakan Idul Fitri, yang menandai akhir bulan suci Ramadan.
Salah satu tamu undangan adalah Mohamed Khairullah, pria berpostur tegap dengan kepala plontos yang menjabat sebagai wali kota Prospect Park di negara bagian New Jersey.
Namun, setengah jam sebelum tiba di Gedung Putih, Khairullah menerima telepon yang menyampaikan bahwa ia tak lagi diizinkan hadir — Dinas Rahasia menolak memberinya akses masuk.
Khairullah kemudian menghubungi Dewan Hubungan Amerika-Islam (Council on American-Islamic Relations / CAIR) dan mendapati bahwa pelarangan itu terjadi karena status rahasia yang telah disematkan FBI padanya bertahun-tahun sebelumnya — tanpa pemberitahuan atau penjelasan.
"Aku tidak tahu bagaimana bisa masuk daftar itu," ujarnya kepada TRT World. "Tapi mayoritas orang dalam daftar itu adalah Muslim atau Arab, yang artinya, aku bisa saja masuk hanya karena bersin dengan cara yang salah."
Laporan terbaru dari CAIR menyoroti tingginya proporsi Muslim dalam Terrorism Screening Database dan No-Fly List milik FBI.
Menurut laporan itu, lebih dari 98 persen orang dalam daftar pengawasan FBI adalah Muslim — bahkan 99 persen dari No-Fly List (daftar orang yang dilarang naik pesawat komersial) juga merupakan Muslim.
Khairullah, yang mengungsi ke AS setelah melarikan diri dari kekerasan di Suriah pada 1990-an, tak pernah membayangkan akan berakhir dalam daftar tersebut.
Dalam wawancara dengan TRT World, ia menjelaskan dampak yang ia rasakan sebagai politisi, ayah, dan bagian dari komunitas Muslim atas status yang disematkan FBI padanya.
Karier politik berawal dari mimpi jadi pemadam kebakaran
Khairullah mengingat masa kecilnya yang penuh semangat untuk menjadi petugas pemadam kebakaran — dan bagaimana langkah itu justru membawanya ke dunia politik di Amerika Serikat.
“Semenjak kecil, yang selalu ingin saya lakukan adalah menjadi pemadam kebakaran. Amerika memberi saya kesempatan menjadi relawan, dan itulah awal saya mengenal sistem politik," kenangnya.
Namun karena menjadi petugas pemadam kebakaran mengharuskan kewarganegaraan AS, Khairullah diberi tahu bahwa aturan lokal bisa diubah oleh pemerintah kota.
"Itulah yang membuat saya tertarik dengan politik lokal,” katanya.
Setelah menjadi warga negara pada tahun 2000, Khairullah terpilih menjadi anggota Dewan Kota. Pada 2005, ia dipercaya untuk menggantikan wali kota sebelumnya yang pindah kota. Sejak saat itu, ia telah terpilih lima kali, dengan masa jabatan masing-masing empat tahun.
“Saya percaya kita bisa mengubah narasi dengan terlibat dalam sistem. Mereka tak bisa lagi berkata ‘Mohammed itu seperti yang kita lihat di TV,’ karena Mohammed di Prospect Park, NJ, adalah orang yang kita kenal, yang membantu warga dan menggalang dana untuk korban bencana,” ujarnya.
“Mereka mengenal kita (Muslim) dari siapa kita sebenarnya, bukan dari apa yang disampaikan media.”
Reformasi daftar pengawasan FBI sangat mendesak
Wali Kota Khairullah menegaskan bahwa reformasi terhadap proses penyusunan daftar pengawasan FBI harus menjadi prioritas dalam Pemilu 2024.
"Ini sangat penting bagi organisasi-organisasi Muslim dan komunitas Muslim untuk menjadikannya isu utama," katanya.
“Bagaimana seseorang bisa masuk daftar itu, kami tidak tahu. Sampai kebocoran data terjadi, pemerintah bahkan tak mengakui keberadaan daftar tersebut. Bahkan sekarang pun mereka seolah masih menyangkal.”
“Ini aneh di Amerika — negara yang katanya menjunjung institusi dan konstitusi yang melindungi hak-hak sipil. Saya dianggap bersalah atas sesuatu yang bahkan tak dijelaskan, tapi itu cukup untuk mencabut hak saya sebagai warga negara biasa. Bagi saya, itulah inti masalah dari daftar ini.”
Menurut Khairullah, pejabat terpilih sekalipun tidak mendapat penjelasan dari agen federal mengenai daftar ini — termasuk anggota Kongres dan Senat.
"Mereka bahkan tidak menjawab anggota Kongres atau senator... Kalau mereka saja tak bisa mendapat jawaban, bagaimana dengan saya — seorang pelayan masyarakat — atau warga biasa lainnya?"
Khairullah menyerukan reformasi mendalam dan proses transparan agar individu yang masuk daftar bisa membela diri dan, jika tak terbukti bersalah, dapat dihapus dari daftar tersebut.
Dampaknya terhadap kehidupan Muslim sehari-hari
Dampak masuk dalam daftar FBI tak hanya terasa dalam karier politik Khairullah. Ia bercerita pernah ditahan selama 3–4 jam di sebuah ruang kaca saat melintasi perbatasan Kanada.
“Anak saya yang masih balita bertanya, ‘Kenapa ayah nggak bisa ke sini?’” kenangnya.
"Itu bukan pengalaman yang ingin saya wariskan pada anak-anak saya, atau anak siapa pun, karena itu membuat mereka merasa seperti warga kelas dua atau tiga."
Meski kasus Khairullah menyorot perhatian publik, ia menekankan bahwa ada ratusan ribu orang lain yang mengalami penderitaan serupa secara diam-diam.
“Penerbangan dari New York ke Chicago bisa kurang dari dua jam, tapi ada orang-orang yang lebih memilih berkendara 16 jam karena tidak ingin mengalami pelecehan di bandara.”
Laporan CAIR juga menunjukkan dampak buruk daftar tersebut terhadap Muslim lainnya. Salah satu kasus adalah Saadiq Long, veteran Angkatan Udara AS tanpa catatan kriminal, yang dilarang terbang dan gagal menjenguk ibunya yang sakit parah di Oklahoma.
Banyak Muslim bahkan tetap mengalami perlakuan kasar di perbatasan meski menghindari bandara. Beberapa ditodong senjata, diborgol, diinterogasi berjam-jam, bahkan ditahan dalam kondisi tak manusiawi.
Anas Elhady, mahasiswa asal Michigan, sempat ditahan pada 2015 setelah pulang dari Kanada. Ia dikurung dalam sel dingin dengan hanya memakai baju tipis dan kaus kaki — hingga kehilangan kesadaran akibat suhu ekstrem sebelum akhirnya dibawa ke rumah sakit.
Dipaksa jadi informan FBI
Salah satu taktik FBI terhadap mereka yang masuk daftar adalah mendorong mereka menjadi informan.
Khairullah pun mengaku pernah ditawari menjadi mata-mata.
“Saya pernah diwawancarai agen federal dan mereka meminta saya jadi informan,” ujarnya. Karena ia pernah ke Suriah, agen meminta dia mencari informasi di media sosial tentang komunitas Muslim di sana.
Ia menolak. “Kalau ada hal penting buat negara, tentu saya akan laporkan. Tapi saya tidak akan buka media sosial dan ‘ngorek-ngorek’. Itu bukan tugas saya.”
Taktik seperti ini juga diterapkan ke anak muda Muslim. Laporan CAIR menyoroti kasus Osama Ahmed, warga AS berusia 18 tahun yang ditahan dan diinterogasi selama 7 jam setibanya dari Yaman pada 2011. Beberapa hari kemudian, agen FBI datang ke rumahnya dan memaksanya jadi informan di Yaman, bahkan menawarkan pelatihan terjun payung. Mereka bilang namanya bisa dihapus dari No-Fly List jika ia mau bekerja sama.
Adakah orang kulit putih dalam daftar ini?
Meskipun lembaga penegak hukum AS telah mengidentifikasi supremasi kulit putih sebagai ancaman terbesar bagi keamanan nasional, daftar FBI justru masih didominasi oleh Muslim.
Khairullah pun mempertanyakan hal ini.
“Apakah John Doe, warga kulit putih, bisa mengalami hal yang sama? Tahun 2020 lalu, mereka hampir menghancurkan demokrasi dengan menyerbu Capitol,” katanya, merujuk pada bias rasial dalam sistem politik AS.
Siapa target FBI selanjutnya?
Baik Khairullah maupun laporan CAIR memperingatkan bahwa daftar rahasia FBI selama dua dekade terakhir telah menimbulkan ketakutan dan penderitaan luas bagi komunitas Muslim.
Namun laporan itu juga memperingatkan: "Target sejuta orang berikutnya dari FBI kemungkinan bukan lagi Muslim. Ketika kabut ‘perang melawan teror’ memudar, daftar rahasia FBI akan beralih pada target baru — sesama warga Amerika sendiri."
Khairullah menyerukan agar komunitas Muslim aktif berkontribusi dalam kegiatan sosial dan politik.
“Saya mengajak semua orang untuk menjadi relawan di komunitas lokal. Itu bisa mengubah narasi tentang Muslim. Kita semua harus ikut terlibat, agar saat kita bicara soal diskriminasi, kita sudah dikenal dan didengar.”