Surplus perdagangan Indonesia diperkirakan mengalami penurunan secara bulanan pada Juni 2025 menjadi $3,45 miliar, menurut jajak pendapat Reuters yang dirilis Kamis (31/7). Penurunan ini didorong oleh peningkatan laju impor, meski ekspor juga tetap tumbuh.
Pada Mei, surplus perdagangan tercatat sebesar $4,3 miliar.
Sejak 2020, ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini secara konsisten mencatat surplus perdagangan bulanan, berkat lonjakan harga komoditas global. Namun, tren tersebut mulai melambat seiring melemahnya permintaan dunia.
Impor tumbuh lebih cepat dibanding bulan sebelumnya
Survei terhadap 17 ekonom yang dilakukan oleh Reuters bulan ini memperkirakan impor Indonesia pada Juni tumbuh sebesar 6,5 persen secara tahunan, meningkat dari pertumbuhan 4,14 persen yang tercatat pada Mei.
Di sisi lain, ekspor diproyeksi tumbuh sebesar 10,41 persen secara tahunan pada Juni—lebih tinggi dibanding 9,68 persen pada bulan sebelumnya. Kinerja ekspor yang masih positif ini menjadi penopang utama neraca perdagangan, meski laju impor mulai mengimbangi.
“Meski ekspor tetap kuat, akselerasi impor, terutama bahan baku dan barang modal, menjadi sinyal bahwa permintaan domestik mulai pulih lebih kuat dari perkiraan,” kata ekonom senior Bank Permata Josua Pardede kepada Reuters.
Stabilitas perdagangan masih bergantung pada faktor global
Meskipun Indonesia terus mencatat surplus, tekanan dari pelemahan permintaan global, terutama dari mitra dagang utama seperti China dan Amerika Serikat, masih membayangi prospek ekspor ke depan.
“Pasar global yang masih bergejolak dapat menahan ekspansi ekspor, khususnya di sektor non-komoditas,” ujar Faisal Rahman, ekonom Bank Mandiri, kepada Reuters.
Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan akan merilis data resmi neraca perdagangan untuk Juni pada Jumat (2/8), bersamaan dengan data inflasi konsumen untuk bulan Juli.
