DUNIA
7 menit membaca
China vs. Amerika Serikat: Siapa yang mulai mendominasi di Asia Tengah?
Saat AS mengurangi program kemanusiaan dan kehilangan pengaruh ekonominya di Asia Tengah, China justru memperluas kehadirannya di berbagai sektor — dari perdagangan dan logistik hingga keamanan dan teknologi.
China vs. Amerika Serikat: Siapa yang mulai mendominasi di Asia Tengah?
China vs. Amerika Serikat: Siapa yang mulai mendominasi di Asia Tengah? / Reuters
16 Juli 2025

Kebijakan isolasionis Donald Trump memberikan pukulan yang terarah namun sensitif terhadap pengaruh Amerika di Asia Tengah. AS memangkas dukungan untuk LSM lokal, menghentikan program pendidikan, dan mengurangi kehadiran diplomatiknya hanya menjadi kunjungan formal serta pernyataan hati-hati. Pada 2025, ketika Washington akhirnya memutuskan untuk menghentikan kegiatan USAID di kawasan tersebut, satu hal menjadi jelas: Amerika sedang kehilangan pijakan. Bukan sementara, tapi permanen.

Kehadiran yang memudar ini hanyalah dokumentasi dari proses yang sudah berlangsung selama satu dekade. AS secara bertahap kehilangan pengaruh, sementara China secara metodis memperkuat posisinya. Ketika dana dari Barat menghilang, hibah dari China justru mengalir masuk. Ketika diplomat AS berbicara soal nilai-nilai, Beijing menawarkan pinjaman, kereta api, jalan, dan stabilitas — tanpa syarat dan tanpa banyak kata.

Kepergian USAID menjadi simbol yang mencolok. Sekolah dan rumah sakit kehilangan dukungan. Proyek budaya, pendidikan, dan lingkungan hidup tak lagi mendapat pendanaan. Namun kekosongan itu tidak berlangsung lama. Dalam hitungan bulan, terlihat siapa yang siap mengambil alih. China melakukannya dengan cepat, sistematis, dan di semua lini — mulai dari ekonomi dan infrastruktur hingga teknologi dan keamanan. Dan kini, mereka bukan sekadar memperbesar pengaruh. Mereka tengah membentuk ulang arsitektur kawasan itu sendiri.

Angka-angka berbicara dalam bahasa China

Saat ini sudah jelas: baik AS maupun Rusia tidak lagi memainkan peran utama dalam perekonomian Asia Tengah. Kehadiran Amerika terbatas pada proyek-proyek kecil, dan total volume perdagangan AS dengan seluruh kawasan pada 2024 tak melebihi $6 miliar. Bahkan di Kazakhstan — mitra utama Washington di kawasan — nilainya hanya mencapai $3,4 miliar. Di Uzbekistan, Kirgizstan, Tajikistan, dan Turkmenistan, angkanya jauh lebih kecil.

Rusia masih mempertahankan posisi yang cukup terlihat, terutama dalam sektor energi, migrasi, dan beberapa sektor perdagangan. Namun pilihannya semakin terbatas karena kesulitan ekonomi dalam negeri akibat perang di Ukraina serta meningkatnya kehati-hatian dari para elit Asia Tengah. Moskow kini lebih sering terlihat tertinggal: dalam hal perdagangan dan investasi, Beijing sudah unggul.

Sebaliknya, China menguat di semua lini — dan melakukannya tanpa tekanan atau slogan-slogan besar, melainkan melalui proyek nyata. Pada 2024, volume perdagangan China dengan lima negara di kawasan mencapai $94,8 miliar, naik lebih dari $5 miliar dibanding tahun sebelumnya. Kazakhstan menyumbang hampir setengah dari jumlah tersebut — $43,8 miliar. China berinvestasi di sektor transportasi, energi, dan logistik.

Proyek rel kereta China-Kirgizstan-Uzbekistan terus berjalan. Pembangunan jalur keempat pipa gas yang memotong Rusia hampir rampung. Pusat pengolahan, gudang logistik, dan kawasan industri mulai bermunculan — semua di bawah kendali Beijing.

Dalam KTT Xi'an pada Mei 2023, Presiden China Xi Jinping berjanji mengalokasikan 26 miliar yuan untuk memperkuat kerja sama dengan Asia Tengah. Dana ini ditujukan untuk proyek infrastruktur, ekspansi perdagangan, logistik, digitalisasi, serta dukungan inisiatif bisnis dan program kemanusiaan. China menegaskan: ia bukan hanya mitra dagang, tapi investor masa depan kawasan.

Dua tahun kemudian, pada Juni 2025, ditandatangani Perjanjian Persahabatan Abadi di Astana. Dokumen ini menjadi simbol bukan hanya kedekatan ekonomi, tapi juga politik. Dalam beberapa bulan pertama 2025 saja, volume perdagangan antara China dan negara-negara Asia Tengah meningkat 10% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Ini bukan lonjakan sesaat — ini adalah restrukturisasi yang berkelanjutan atas keseimbangan kawasan.

Jika AS tetap menjadi pengamat luar dan Rusia kehilangan kecepatan, maka China serius membangun kawasan ini untuk jangka panjang. Tuas ekonomi mereka bekerja tanpa gembar-gembor dan tanpa paksaan — hanya angka, kontrak, dan jalan yang membentuk model kemitraan baru.

Keamanan di bawah naungan China

Model Amerika untuk menjamin keamanan di Asia Tengah kini tinggal sejarah. Setelah menarik pasukan dari Afghanistan, AS menghentikan program militer di kawasan, termasuk latihan bersama, pertukaran intelijen, dan kerja sama kepolisian. Arsitektur yang dibangun pada awal 2000-an dibiarkan tanpa dukungan. Saat itulah China masuk ke ruang yang kosong — bukan dengan pasukan, tapi dengan konsep, teknologi, dan bahasa diplomasi baru.

Beijing mengusung Global Security Initiative (GSI), dengan konsep “keamanan yang tak terpisahkan.” Artinya, keamanan satu negara tidak boleh dibangun atas penderitaan negara lain. Filosofi ini menjadi dasar pendekatan China. Mereka tidak membangun pangkalan atau campur tangan langsung, tapi menawarkan pendekatan menyeluruh: pertukaran keamanan, bantuan peralatan, latihan bersama, dan pembangunan saluran kepercayaan.

China sangat aktif di Tajikistan, negara yang berbatasan langsung dengan Afghanistan yang tidak stabil. Menurut Carnegie Endowment, China telah mengadakan 36 latihan bersama di kawasan dalam 20 tahun terakhir, sebagian besar dalam kerangka SCO. Fokusnya adalah melawan terorisme, separatisme, dan ekstremisme.

Perjanjian Persahabatan Abadi yang ditandatangani di Astana juga menjadi simbol arsitektur keamanan baru. Perjanjian ini tidak menjanjikan pertahanan bersama atau membentuk aliansi, tapi memberikan kerangka kerja bagi China untuk bertindak sebagai penjamin stabilitas eksternal.

Secara formal, perjanjian ini menekankan prinsip non-intervensi, penghormatan terhadap kedaulatan, dan penolakan kekerasan. Tapi secara esensial, ini adalah undangan bagi China untuk memasuki ruang strategis kawasan. Tidak seperti AS yang kerap mengaitkan bantuan dengan tuntutan reformasi politik, China tidak memberi syarat. Ia tidak mencampuri, melainkan membangun zona stabilitas melalui jalur diplomatik, infrastruktur pengawasan, dan kerja sama teknologi yang erat.

Peran Rusia masih ada, namun semakin tersisih. Moskow memang menguasai aspek militer melalui CSTO dan SCO, tapi semakin banyak isu tentang stabilitas perbatasan, keamanan informasi, dan pencegahan ancaman yang kini dikoordinasikan bersama China. Ini terutama terlihat seiring meningkatnya ketidakstabilan dalam negeri Rusia dan menurunnya kepercayaan terhadap kemampuannya mengelola risiko lintas batas.

Dengan demikian, China tengah membentuk model keamanan baru di Asia Tengah — bukan berbasis militer atau aliansi, melainkan kelembagaan dan kontraktual.

Pengaruh kemanusiaan dan soft power

Dengan hengkangnya USAID, kawasan ini tidak hanya kehilangan dana, tetapi juga seluruh ekosistem kemanusiaan yang selama ini dikenal. Pusat bahasa Inggris ditutup, beasiswa dihentikan, dan program untuk mendukung LSM serta inisiatif lokal dihentikan. Proyek-proyek kesehatan dan lingkungan pun dibatalkan. Saat itulah China masuk — diam-diam, cepat, dan tanpa syarat ideologis.

China memulainya lewat pendidikan. Universitas-universitas China kini meroket di peringkat internasional: Universitas Peking dan Tsinghua masuk 20 besar dunia. Prestise ijazah China meningkat, dan arus pelajar Asia Tengah makin deras. Puluhan ribu mahasiswa kawasan belajar di China setiap tahun melalui beasiswa pemerintah. China bukan hanya mengajar — tapi membentuk jaringan kader sendiri. Para lulusan kembali ke negaranya dengan ijazah, bahasa, koneksi, dan rasa terima kasih. Mereka adalah generasi yang sudah menyatu dalam sistem koordinat Beijing.

Lalu datang sektor kesehatan dan lingkungan. Investasi China masuk ke pembangunan rumah sakit dan klinik, khususnya di pedesaan. Solusi medis inovatif diperkenalkan, dan alat diagnostik modern disalurkan.

China juga mendanai proyek lingkungan, seperti penghijauan, modernisasi sistem irigasi, dan teknologi penghematan air. Semua ini dulunya merupakan bidang fokus USAID. Kini berada di tangan China.

Sektor masyarakat sipil pun tidak ditinggalkan. Yayasan-yayasan China menggelar seminar, pelatihan, dan mendukung inisiatif lokal — bukan soal hak asasi manusia, tapi tentang pembangunan berkelanjutan, manajemen proyek, dan digitalisasi. Aktivis dilatih oleh LSM China, mendapat akses ke hibah dan platform, serta mengikuti forum bersama. Ini bukan soft power klasik ala Washington. Ini adalah infiltrasi sosial yang tenang tapi sistemik.

China tidak menuntut reformasi, tidak memaksakan model. Ia menawarkan sumber daya dan dukungan — tanpa mencampuri politik. Inilah keunggulan utamanya setelah AS pergi. Di ranah kemanusiaan, China bergerak seperti di ekonomi: berinvestasi dalam infrastruktur, meluncurkan proyek bersama, dan menguat lewat manfaat bersama.

Apa imbal baliknya?

Pertumbuhan cepat pengaruh China di Asia Tengah dipandang banyak pihak sebagai peluang pembangunan — infrastruktur, investasi, logistik. Namun, di kawasan ini kini juga mulai tumbuh pertanyaan: apa harga dari semua dukungan ini?

China memang tidak mengajukan syarat politik terang-terangan. Berbeda dari AS yang dulu mengaitkan bantuan kemanusiaan dengan tuntutan reformasi, transparansi, dan perubahan kebijakan domestik, Beijing bertindak melalui pinjaman, pembangunan, dan pertukaran. Tapi justru di sini letak dualismenya: ketergantungan bisa hadir bukan dalam bentuk tekanan, tapi dalam ikatan ekonomi yang sangat dalam.

Beberapa pengamat menyoroti bahwa proyek-proyek China seringkali melibatkan kontraktor, pemasok, dan teknologi China sendiri. Artinya, uang memang datang — tapi juga kembali ke ekonominya sendiri. Muncul pertanyaan soal akses yang setara, lokalisasi produksi, dan transparansi kontrak. Diskusi ini belum menjadi wacana politik, tapi sudah terdengar di kampus, dunia usaha, dan kalangan pakar.

China menawarkan stabilitas — tapi penting bagi kawasan agar itu tidak berarti kehilangan kemandirian. Dan meskipun pendekatan China jauh lebih lunak dan pragmatis dibanding model Amerika awal 2000-an, justru kini, di tengah perubahan prioritas geopolitik, penting bagi Asia Tengah untuk tidak hanya menerima, tapi juga bernegosiasi — atas dasar kepentingannya sendiri.

SUMBER:TRT Russian
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us