Di tengah iklim geopolitik yang tegang dan cepat berubah, Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz jika Amerika Serikat secara resmi terlibat dalam perang dengan mendukung Israel.
Meski para analis energi menilai langkah tersebut kurang mungkin terjadi, mereka memperingatkan bahwa blokade penuh terhadap jalur maritim strategis ini akan memicu guncangan ekonomi dengan dampak global yang luas.
Selat Hormuz adalah perairan sempit—hanya 33 km di titik tersempitnya—yang menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman dan Laut Arab.
Terletak di antara Iran di satu sisi dan Oman serta Uni Emirat Arab di sisi lain, selat ini menjadi titik rawan minyak paling penting di dunia. Namun, Selat Hormuz bukan sekadar jalur pelayaran vital; ia juga menjadi pusat konflik geopolitik global.
Di tengah ketegangan yang meningkat antara Iran dan Israel, stabilitas selat ini kembali terancam. Ancaman blokade dari Teheran menambah kekhawatiran, karena gangguan serius di jalur ini bisa berdampak ke seluruh ekonomi dunia.
Selat Hormuz sangat penting bagi pasar energi dan sangat vital bagi negara-negara pengimpor energi, yang akan sangat terdampak bila terjadi krisis ekonomi.
Hampir seperlima pasokan minyak dunia setiap hari, serta seluruh ekspor gas alam cair (LNG) Qatar, melewati koridor ini — yang dianggap sebagai arteri utama energi global.
“Gangguan di sini bukan hanya masalah regional—tetapi akan mengguncang seluruh dunia,” ujar Dr. Mevlut Tatliyer, profesor ekonomi di Universitas Marmara, Istanbul, kepada TRT World. “Ini adalah aliran darah energi dunia. Jika aliran terhenti, seluruh tubuh melemah.”
Menurut Badan Energi Internasional, bahkan gangguan sementara di Selat Hormuz bisa membawa “konsekuensi parah” bagi pasar minyak.
Saat perang Iran-Irak pada 1980-an, serangan berulang terhadap kapal tanker menyebabkan gangguan pasokan global. Meski situasi geopolitik kini berbeda, taruhannya tetap sangat tinggi.
Ancaman Iran muncul di tengah ketegangan militer yang terus meningkat di kawasan. Para ahli mengatakan penutupan selat akan memicu respons militer internasional yang cepat, sekaligus segera mengguncang harga energi dan rantai pasok.
“Jika gangguan pasokan nyata dan berkepanjangan terjadi, harga minyak Brent bisa melonjak jauh di atas angka $100—mungkin sampai $110,” ujar Oguzhan Akyener, ketua Pusat Riset Strategi dan Politik Energi Turkiye (TESPAM), dalam wawancara eksklusif dengan TRT World.
“Tapi jika hanya insiden singkat—misalnya beberapa kapal tanker terlambat atau rusak—harga kemungkinan naik secara psikologis ke $85-90 sebelum kembali normal.”
Angka penting
Akyener memberikan data produksi regional sebagai gambaran ancaman.
Per Mei 2025, Arab Saudi memproduksi sekitar 9,18 juta barel minyak per hari. Irak memproduksi 3,9 juta barel, Iran 3,3 juta barel (hanya 1,4 juta barel yang diekspor), dan Kuwait serta UEA bersama-sama mencapai sekitar 5,3 juta barel.
Jumlah total produksi harian ini lebih dari 21 juta barel, mayoritas diekspor lewat Selat Hormuz. Bahkan Arab Saudi, yang memiliki jalur pipa alternatif ke Laut Merah, hanya bisa mengalihkan sekitar sepertiga produksinya lewat jalur tersebut.
“Itu artinya masih ada lebih dari 17 juta barel per hari melewati Selat Hormuz,” kata Akyener. “Kalau ketegangan makin parah, titik penyumbatan alternatif seperti Bab el-Mandeb juga bisa terancam, membuat pengalihan rute makin sulit.”
Berlawanan dengan asumsi umum, Eropa bukan yang paling rentan terhadap penutupan Selat Hormuz dalam hal minyak.
“Asia yang paling dulu kena dampak — China, Jepang, India, Korea Selatan, Pakistan. Negara-negara ini sangat bergantung pada minyak mentah dan LNG dari Teluk,” jelas Akyener.
“Eropa memang kurang terpapar minyak, tapi sangat bergantung pada LNG Qatar. Gangguan apa pun—bahkan yang hanya spekulatif—akan mendorong harga gas naik tajam.”
Pasar gas alam, berbeda dengan minyak, terfragmentasi secara regional dan kendala infrastruktur membuat pencarian pasokan alternatif sulit dalam waktu cepat.
Mevlut Tatliyer memperingatkan: “Saat harga energi naik, itu menjadi cerita inflasi global. Inflasi yang naik akan memengaruhi semua sektor—makanan, transportasi, dan manufaktur. Dari situ, gangguan lokal bisa berubah jadi perlambatan ekonomi dunia.”
Dampak strategis
Meski mengancam, Iran kemungkinan akan ragu-ragu mengambil langkah penutupan total.
“Langkah drastis itu akan membuat Teheran terisolasi secara diplomatik,” kata Akyener. “Penolakan pertama dan paling keras akan datang dari China, mitra dagang terbesar Iran yang sangat bergantung pada Selat Hormuz.”
Selain itu, OPEC tampaknya sudah melakukan langkah antisipasi. Kartel ini mengumumkan peningkatan produksi mulai Juli, sebagai strategi mengantisipasi volatilitas pasar.
Namun sistem global tetap rentan. Setiap hari diproduksi sekitar 101 juta barel minyak dunia, dan lebih dari 20 persen perdagangan minyak lewat laut melewati Hormuz. Gangguan besar akan menekan logistik energi, menaikkan biaya asuransi dan pengangkutan, serta menguji aliansi diplomatik.
Bukan hanya minyak, produk petrokimia, barang konsumen, dan berbagai bahan baku untuk Asia dan Eropa juga melewati Hormuz.
Penutupan berkepanjangan akan mengacaukan jadwal pelayaran, menaikkan harga kontainer, dan memicu kekurangan stok, terutama pada industri yang mengandalkan produksi tepat waktu seperti elektronik dan otomotif.
Beberapa analis memprediksi penurunan PDB global antara 1 hingga 2 persen jika Selat Hormuz tertutup lama.
Inflasi global mungkin naik lagi dan memicu spiral resesi.
Akhirnya, Selat Hormuz lebih dari sekadar jalur sempit antar laut — ia adalah garis hidup ekonomi modern dunia. Meskipun penutupan total masih kecil kemungkinannya, ancamannya cukup untuk mengguncang pasar dan mengusik pembuat kebijakan.
Dengan keamanan energi, aliansi geopolitik, dan stabilitas ekonomi yang terjalin erat di jalur rapuh ini, gangguan apa pun — nyata atau sekadar dugaan — bisa dengan cepat mengubah pola perdagangan global.
Di dunia yang sudah berjuang dengan inflasi, ketidakpastian rantai pasok, dan pergeseran kekuatan, Selat Hormuz berdiri sebagai simbol sekaligus garis retak ketergantungan global.