Indonesia telah meluncurkan dua instrumen obligasi syariah global dalam denominasi dolar Amerika Serikat: sukuk bertenor lima tahun dengan panduan imbal hasil awal 4,85 persen, serta sukuk hijau berdurasi sepuluh tahun dengan tingkat imbal hasil sekitar 5,5 persen.
Meskipun rincian nilai emisi belum diumumkan, penerbitan ini merupakan bagian dari strategi pembiayaan negara. Sukuk hijau ditujukan khusus untuk mendanai atau membiayai kembali proyek-proyek ramah lingkungan yang memenuhi kriteria keberlanjutan nasional.
Penerbitan sukuk dilakukan melalui entitas Perusahaan Penerbit SBSN Indonesia III, dengan pemerintah Indonesia sebagai penjamin. Kedua sukuk dijadwalkan akan dicatatkan di Bursa Efek Singapura dan Nasdaq Dubai.
Langkah ini berlangsung di tengah ketegangan perdagangan dengan Amerika Serikat, setelah Presiden AS mengumumkan pemberlakuan tarif baru sebesar 19 persen atas produk asal Indonesia. Angka ini menurun signifikan dari proposal awal 32 persen, yang diumumkan melalui unggahannya di platform Truth Social.

Pasar saham merespons positif
Pemerintah Indonesia menyambut baik penurunan tarif tersebut, yang diumumkan menjelang pertemuan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia. Pasar domestik merespons positif kabar ini, dengan indeks saham naik ke level tertinggi dalam sebulan terakhir, mencerminkan optimisme terhadap kondisi ekonomi nasional.
Dari sisi peringkat kredit, instrumen ini mengikuti peringkat utang Indonesia yang saat ini berada pada level Baa2 dari Moody's, BBB dari Standard & Poor's, dan BBB dari Fitch Ratings—semuanya mencerminkan status layak investasi.
Deutsche Bank dan HSBC bertindak sebagai koordinator utama untuk struktur sukuk hijau. Sementara itu, peran penjamin emisi utama dipegang oleh Bank of America, Deutsche Bank, Dubai Islamic Bank, HSBC, dan Mandiri Sekuritas. Adapun BRI Danareksa Sekuritas dan Trimegah Sekuritas Indonesia berperan sebagai co-manager.
