Pada awalnya, hanya dianggap sebagai keterlambatan biasa.
Bhoomi Chauhan, 30 tahun, berdiri di dekat konter check-in Air India yang sudah sepi di Bandara Internasional Sardar Vallabhbhai Patel, Ahmedabad, memohon kepada petugas maskapai agar mengizinkannya naik ke penerbangan menuju London.
Ia datang terlambat hanya sepuluh menit setelah konter ditutup. Ia memohon. Ia beralasan. Bahkan ia meminta berbicara dengan supervisor. Namun jawabannya tetap sama: daftar boarding sudah final, tidak ada pengecualian.
“Aku bilang kalau aku bisa melewati imigrasi dalam 10 sampai 15 menit. Aku satu-satunya yang tersisa. Tapi mereka tetap tidak mengizinkan,” ujar Bhoomi kepada TRT World lewat telepon, suaranya masih bergetar.
Beberapa menit kemudian, ia keluar dari bandara dengan perasaan kecewa dan frustasi. Ia nyaris saja naik pesawat itu. Kurang dari setengah jam kemudian, pesawat yang sama jatuh tak lama setelah lepas landas.
Bhoomi masih tak percaya seharusnya dia naik pesawat itu. “Aku seperti tidak merasakan apa-apa. Aku tidak tahu harus merasa apa,” tambahnya.
Penerbangan yang ketinggalan dan menyelamatkan nyawanya
Pesawat Air India Boeing 787 Dreamliner itu menuju Bandara Gatwick London, membawa 230 penumpang dan 12 awak kabin.
Laporan awal menyebutkan kegagalan mesin yang sangat parah tak lama setelah lepas landas, diikuti dengan penurunan tajam dan ledakan di sebuah kawasan padat penduduk di dekat bandara.
Pihak berwenang masih bekerja mengonfirmasi jumlah korban jiwa, namun pejabat setempat menyebut ini sebagai salah satu bencana penerbangan paling mematikan dalam sejarah India baru-baru ini.
Bhoomi tidak tercantum dalam daftar penumpang.
Warga London selama dua tahun terakhir ini baru saja kembali ke Ahmedabad untuk menghabiskan waktu beberapa minggu bersama keluarga. “Ini cuma liburan,” katanya. “Aku akan kembali ke suamiku.”
Pagi itu, dia sempat singgah sebentar ke rumah sakit sebelum menuju bandara. Namun kemacetan lalu lintas membuatnya terlambat dan mengacaukan rencana perjalanan. Saat tiba di bandara sekitar pukul 12.30 siang, check-in sudah ditutup, katanya.
“Aku datang terlambat sepuluh menit. Aku terus bilang tidak ada orang lain yang tersisa, tolong izinkan aku masuk,” katanya. “Tapi mereka bilang daftar boarding sudah dicetak, jadi aku harus pulang.”
“Saat ini, aku merasa apapun yang terjadi pasti ada alasannya,” katanya dengan suara bergetar. “Tapi tetap saja ini sangat buruk. Banyak orang yang meninggal.”
Di luar terminal, Bhoomi mendengar sirene meraung dan mobil polisi melaju ke arah landasan pacu. “Waktu itu aku tidak tahu apa yang terjadi. Lalu aku lihat ponsel dan tahu kalau pesawat yang seharusnya aku tumpangi itu sudah jatuh.”
‘Tubuhku langsung gemetar’
Pada detik-detik awal, ia terpaku dalam ketidakpercayaan. “Tubuhku mulai gemetar,” ungkap Bhoomi. “Aku tidak tahu harus menangis atau diam saja. Aku melewatkan penerbangan itu, tapi sekarang... aku sadar aku selamat dari sesuatu yang tak terbayangkan.”
Walau terhindar dari trauma fisik, beban emosional langsung menyergap.
“Aku tidak merasa bangga ketinggalan penerbangan itu,” tambahnya dengan nada sedih. “Aku aman, tapi ada keluarga yang kehilangan orang tercinta. Jadi aku tidak bisa bilang aku bahagia... cuma bersyukur kepada Tuhan.”
Kecelakaan ini mengguncang seluruh negeri. Keluarga korban berkumpul di rumah sakit dan bandara berharap mendapat kabar. Hingga kini, hanya satu korban selamat yang diidentifikasi.
Media sosial ramai dipenuhi pesan duka, doa, dan tuntutan pertanggungjawaban. Kisah Bhoomi mulai tersebar setelah ia diwawancarai oleh sebuah saluran TV lokal. Dalam hitungan jam, ia berubah dari penumpang yang sedih menjadi simbol kekuasaan takdir.
Perdana Menteri Narendra Modi menyebut kecelakaan itu “sangat memilukan tak terlukiskan” dan menyatakan dirinya memantau ketat upaya penanganan korban.
“Tragedi di Ahmedabad membuat kami terpukul dan sedih. Sungguh sangat memilukan. Pada saat duka ini, pikiranku bersama semua yang terdampak. Saya sudah berkomunikasi dengan para Menteri dan pihak berwenang yang bekerja membantu para korban,” tulisnya di X.
Sementara berita kecelakaan mendominasi headline dan banyak penghormatan mengalir, Bhoomi mendapati dirinya menjadi pusat perhatian yang tak terduga. Kisahnya soal ketinggalan pesawat yang naas itu menyebar cepat, menarik simpati sekaligus kekaguman. Namun di balik sorotan itu, Bhoomi mengatakan ia sedang berusaha menerima beban emosional dari apa yang ia lalui.
Baginya, perjuangan belum selesai. Meski lolos dari maut, rasa bersalah sebagai penyintas masih menghantui. “Orang bilang aku beruntung, diselamatkan, tapi bagaimana aku bisa merayakan ketika yang lain tidak selamat?” tuturnya.
Saat bersiap memesan ulang penerbangan kembali ke London, prioritas Bhoomi berubah. “Dulu aku suka terburu-buru, harus tepat waktu, takut ketinggalan pesawat atau kereta. Tapi sekarang aku merasa hidup ini bukan sepenuhnya ada di tangan kita. Kita hanya bisa bersyukur atas apa yang kita punya.”