Ekonom terkenal asal Amerika Serikat, Jeffrey D. Sachs, mendesak Presiden AS Donald Trump untuk menutup pangkalan militer Amerika di seluruh Asia. Menurutnya, pangkalan-pangkalan ini lebih berfungsi sebagai alat proyeksi kekuatan Amerika daripada sebagai kekuatan pelindung bagi negara-negara sekutu.
Dalam pesan email kepada TRT World, Sachs menganjurkan pergeseran dari pendekatan militerisasi ke diplomasi sebagai strategi optimal untuk menciptakan perdamaian di kawasan tersebut. Ia mengulangi seruan yang sama yang disampaikannya pada Forum Diplomasi Antalya ke-4 awal bulan ini.
Trump sebelumnya telah menyatakan keberatan kuat terhadap biaya tinggi yang diperlukan untuk mempertahankan pangkalan militer AS di Asia. Sebagai bagian dari negosiasi tarif terbaru dengan Jepang dan Korea Selatan, ia menuntut kedua negara tersebut untuk menanggung lebih banyak beban finansial dalam mendukung keberadaan pasukan Amerika di negaranya.
“Berikut ide yang jauh lebih baik: tutup pangkalan-pangkalan itu dan kembalikan tentara AS ke Amerika Serikat,” tulis Sachs.
Saat ini, Amerika Serikat memiliki sekitar 50.000 tentara di Jepang dan 28.500 di Korea Selatan, didukung oleh pangkalan besar seperti Pangkalan Angkatan Laut Yokosuka, Pangkalan Udara Kadena, dan Camp Humphreys—yang terakhir merupakan instalasi militer AS terbesar di luar negeri dengan biaya pembangunan lebih dari $11 miliar, yang sebagian besar ditanggung oleh Korea Selatan.
Konteks sejarah dan persepsi ancaman yang keliru
Sachs, seorang profesor di Universitas Columbia dan penasihat senior PBB, menantang anggapan bahwa pangkalan AS diperlukan untuk melindungi Jepang dan Korea Selatan dari China, dengan mengutip sejarah ribuan tahun yang sebagian besar diwarnai oleh koeksistensi yang damai.
“AS bertindak seolah-olah Jepang perlu dilindungi dari China. Mari kita lihat. Selama 1.000 tahun terakhir, di mana China menjadi kekuatan dominan di kawasan ini kecuali dalam 150 tahun terakhir, berapa kali China mencoba menyerang Jepang?” tanya Sachs secara retoris.
“China tidak pernah menyerang Jepang—bahkan sekali pun dalam 1.000 tahun terakhir, kecuali selama dinasti Yuan yang dipimpin oleh Mongol,” tambahnya. Sebaliknya, Sachs mengingat beberapa invasi historis oleh Jepang ke China, termasuk invasi tahun 1937 yang menghancurkan dan menandai dimulainya Perang Dunia II di kawasan Asia Pasifik.
Demikian pula, ia berpendapat bahwa satu-satunya waktu China melakukan intervensi militer di Korea adalah selama Perang Korea pada tahun 1950—ketika militer AS mendekati perbatasan China. “Jenderal Douglas MacArthur bahkan mengusulkan penggunaan bom atom terhadap China, sebuah rencana yang untungnya ditolak oleh Presiden Truman,” kata Sachs.
Pangkalan militer AS: Penangkal atau pemicu ketegangan?
Sambil mengakui ancaman yang ditimbulkan oleh meningkatnya persenjataan nuklir Korea Utara, Sachs berpendapat bahwa keberadaan militer AS justru memperburuk ketegangan daripada meredakannya.
“Korea Selatan memang membutuhkan penangkal terhadap Korea Utara, tetapi itu akan jauh lebih efektif dan kredibel melalui sistem keamanan regional yang mencakup China, Jepang, Rusia, Korea Utara, dan Korea Selatan,” sarannya.
Menurutnya, AS telah mendorong pengembangan senjata Korea Utara dengan memposisikan dirinya sebagai kekuatan yang bermusuhan melalui latihan militer bersama dan sanksi.
Analis militer sering mendukung gagasan bahwa pangkalan AS adalah aset strategis untuk dominasi Amerika di Indo-Pasifik. Namun, Sachs melihat posisi ini sebagai provokatif. “Pangkalan-pangkalan ini dipandang oleh China dan Korea Utara bukan sebagai pertahanan, tetapi sebagai ofensif—memungkinkan potensi serangan ‘pemenggalan kepala’ dan mengurangi waktu respons terhadap provokasi atau kesalahpahaman,” ia memperingatkan.
Hal ini mencerminkan kekhawatiran yang diangkat oleh Moskow atas perluasan NATO ke timur—yang memuncak dalam ketegangan terkait Ukraina. Sachs menarik perbandingan langsung: “NATO menempatkan sistem rudal yang sangat dekat dengan Rusia. Hasilnya? Partisipasi aktif dalam perang Ukraina melalui senjata, intelijen, dan dukungan strategis.”
Sachs mencatat bahwa Trump saat ini terfokus pada dua fasilitas pelabuhan kecil di Panama yang dioperasikan oleh perusahaan berbasis di Hong Kong, dengan menuduh bahwa fasilitas tersebut mengancam keamanan nasional AS dan mendorong agar dijual kepada perusahaan Amerika.
“AS, di sisi lain, mengelilingi China dengan pangkalan militer besar di Jepang, Korea Selatan, Guam, Filipina, dan Samudra Hindia yang dekat dengan jalur laut internasional China,” ia menunjukkan, mempertanyakan rasionalitas strategis dari keputusan ini.
Jejak global yang mahal
Di luar geopolitik, Sachs menyoroti biaya ekonomi dari jangkauan militer Amerika. Saat ini, AS mengoperasikan sekitar 750 pangkalan militer di lebih dari 80 negara. Menurut studi tahun 2021 oleh Quincy Institute, postur militer luar negeri Pentagon menghabiskan sekitar $150 miliar per tahun dari pembayar pajak AS.
Sementara itu, defisit anggaran federal AS telah melonjak melewati $2 triliun per tahun, yang setara dengan lebih dari enam persen dari PDB. “Menutup pangkalan luar negeri akan membantu meringankan beban fiskal ini sekaligus mengurangi ketegangan global,” kata Sachs.
Ia merujuk pada upaya awal Trump untuk meninjau kembali pengeluaran militer tetapi mencatat bahwa Partai Republik di Kongres justru mendorong peningkatan anggaran pertahanan. “Mencoba membuat negara tuan rumah membayar untuk kehadiran yang tidak membantu mereka—atau AS—adalah pemborosan diplomasi, waktu, dan sumber daya,” tegas Sachs.
Dari Asia ke Timur Tengah: Seruan untuk reel diplomasi
Awal bulan ini, Sachs menghadiri Forum Diplomasi Antalya keempat di Türkiye, di mana ia menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan AS dan Israel di Timur Tengah. Ia mengklaim bahwa perang di Suriah, Libya, Lebanon, Irak, Somalia, dan Sudan adalah hasil dari “strategi jangka panjang” yang dilakukan oleh kedua negara untuk membentuk ulang kawasan melalui intervensi militer dan perubahan rezim.
“Kita tidak akan memiliki perdamaian di kawasan ini sampai kita memiliki diplomasi publik yang didasarkan pada diplomasi nyata, bukan pada operasi CIA,” katanya kepada audiens di forum tersebut.
Sachs menyebut konflik-konflik ini sebagai “perang pilihan, bukan kebutuhan,” dan menyalahkan ambisi imperial Amerika serta dukungan tanpa syarat untuk Israel. “Israel tidak akan pernah bisa melakukan perang-perang ini sendirian. Ini adalah perang Amerika,” ia menekankan. “Israel tidak akan bisa bertahan satu hari pun tanpa dukungan AS.”
Ia mengusulkan solusi sederhana: memberikan Palestina keanggotaan penuh di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
“Yang diperlukan, menurut saya, adalah Amerika Serikat mengubah vetonya terhadap Palestina sebagai negara anggota PBB ke-194... dan perang di seluruh kawasan ini akan berhenti,” ia menyatakan. “Sampai itu terjadi, kita tidak akan memiliki perdamaian.”
Paradigma diplomasi baru?
Untuk stabilitas regional dan global jangka panjang, Sachs menyerukan pengaturan timbal balik di antara kekuatan global seperti AS, China, dan Rusia: “Kalian jaga pangkalan militer kalian diluar dari lingkungan kami, dan kami akan menjaga pangkalan kami diluar dari lingkungan kalian.”
Ia mengutip Krisis Rudal Misil Kuba tahun 1962—ketika penempatan nuklir Soviet di Kuba hampir memicu perang nuklir—sebagai pelajaran penting.
Rekomendasinya sejalan dengan seruan yang semakin meningkat untuk mengurangi militerisasi global di tengah risiko eskalasi yang tinggi. Bulletin of the Atomic Scientists baru-baru ini menetapkan Jam Kiamat pada 89 detik menuju tengah malam, yang merupakan jarak terdekat menuju bencana global.
“Menutup pangkalan militer AS di seluruh Asia dan pengaturan timbal balik di antara kekuatan besar akan menghemat triliunan dolar pengeluaran militer selama dekade mendatang dan, yang lebih penting, akan memundurkan Jam Kiamat dari 89 detik menuju Armagedon nuklir,” Sachs menyimpulkan.