Aku pernah melihatnya sekilas: Seorang pria berpakaian putih yang menanggung duka dunia
Aku pernah melihatnya sekilas: Seorang pria berpakaian putih yang menanggung duka dunia
Paus Fransiskus, yang lahir dengan nama Jorge Mario Bergoglio pada tahun 1936, berjalan bersama kaum terpinggirkan, tidak memilih mahkota, tidak memilih kubur - hanya debu dan doa. Dari pinggiran ke kepausan, Fransiskus kini kembali, dengan rendah hati, ke bumi yang tak pernah berhenti dikasihinya.
23 April 2025

Washington, DC — Pria yang berani berpakaian sederhana, hidup bersahaja, dan berkata jujur kepada kekuasaan — Paus Fransiskus — telah tiada. Paus yang selalu berpihak pada mereka yang terpinggirkan itu kini terbaring dalam persemayaman.

Namun bahkan dalam kematiannya, Fransiskus tetap membelokkan arah sejarah.

Misa Requiem menggema di berbagai benua — masing-masing menjadi nyanyian perpisahan yang lembut dan pilu. Di katedral dan kapel, di kota maupun pelosok desa, umat berkumpul. Ada yang dalam diam. Ada yang dalam tangis.

Di seluruh dunia, bendera diturunkan setengah tiang. Di Washington, DC, gedung-gedung pemerintahan terdiam, ditandai suasana berkabung. Amerika Serikat bergabung dengan deretan negara yang menetapkan hari-hari duka resmi — saat diplomasi dan ketuhanan bersatu dalam kesedihan bersama.

Di Vatikan, surat wasiat terakhir Sang Paus dirilis. Dan seperti dirinya, wasiat itu menggugah lewat kesederhanaannya.

Ia tidak memilih ruang bawah tanah Basilika Santo Petrus. Bukan pula makam-makam megah para paus pendahulunya. Tapi tanah di Basilika Santa Maria Maggiore — tempat suci yang tidak dilambangkan oleh kuasa, melainkan oleh belas kasih Maria.

“Makam harus berada di tanah; sederhana, tanpa hiasan khusus,” tulisnya. “Cukup namaku saja. Franciscus. Tidak lebih.”

Sede Vacante, takhta yang kini kosong

Gereja Katolik kini memasuki masa yang disebut Sede Vacante. Takhta Santo Petrus kosong. Cincin Nelayan — cincin khas yang dikenakan setiap paus — telah dihancurkan oleh camerlengo. Ini menandai berakhirnya era Fransiskus.

Dan akhir ini berbeda.

Fransiskus telah menulis ulang tata upacara pemakamannya sendiri — paus modern pertama yang melakukannya. Ia menyingkirkan segala lapisan kemegahan, menghapus kebiasaan-kebiasaan imperium yang telah berakar selama berabad-abad. Tanpa panggung tinggi. Tanpa prosesi tertutup untuk para kardinal dan pejabat. Tanpa pembalseman. Tanpa tontonan.

Jasadnya akan disemayamkan dengan sederhana. Sebuah peti kayu biasa. Tanpa kemegahan. Tanpa seremonial. Sebuah rogito — biografi singkat dan kesaksian pengabdiannya — akan dibacakan, lalu disegel di dalam peti.

Tradisi tiga lapis peti — dari kayu cemara, timah, dan kayu elm — pun ditinggalkan. Ia hanya meminta satu peti. Satu perjalanan. Satu kembali ke debu.

Pemakaman Paus rakyat

Pemakaman ini bukan tentang mahkota dan dupa. Ini tentang kerendahan hati.

Fransiskus memahami sesuatu yang mendasar: otoritas sejati bukan berasal dari lembaga, tapi dari moralitas. Selama dua belas tahun, ia memimpin lewat teladan — tinggal bukan di Istana Apostolik, melainkan di wisma tamu yang sederhana. Menolak jubah emas, berjalan tanpa pengawal, membuka gerbang Vatikan bagi para migran dan mereka yang terpinggirkan.

Dalam surat wasiatnya, ia hanya meminta kesederhanaan. Sebuah doa, peti kayu, dan agar dikenang sebagai “seorang pendosa yang ditebus.” Ia tak pernah melihat dirinya sebagai raja. Hanya seorang pria yang mencoba mengikuti Sang Nazaret.

Dan mungkin, pandangannya yang paling jernih tentang kematian tidak diukir di marmer, melainkan dalam kata-kata. Dalam pengantar buku Kardinal Angelo Scola, ia menulis: “Kematian bukanlah akhir dari segalanya, tapi awal dari sesuatu yang baru.”

Konklaf

Ketika upacara pemakaman berakhir pada hari Sabtu, satu tradisi lain pun dimulai.

Para kardinal, terikat sumpah untuk tidak mengungkapkan apa pun, memasuki Kapel Sistina di bawah tatapan penuh luka dari lukisan Pengadilan Terakhir karya Michelangelo. Mereka akan memberikan suara. Dua kali di pagi hari. Dua kali lagi di sore hari. Lembaran kertas. Dilipat. Ditandai. Dibakar.

Asap hitam menandakan kegagalan. Asap putih — keberhasilan.

Dan ketika saat itu tiba, lonceng Basilika Santo Petrus akan berdentang. Sebuah tradisi yang telah berlangsung lebih dari seribu tahun. Dunia akan menatap ke sebuah balkon.

Tirai akan tersingkap.

Seorang kardinal akan melangkah maju dan mengucapkan kata-kata yang tak berubah selama dua milenium:

Habemus Papam.

Kita memiliki seorang paus.

TRT Global - Para pemimpin AS berduka atas Paus Fransiskus - namun mereka memilih untuk mengabaikan permohonannya terkait genosida di Gaza saat ia masih hidup

Paus Agung adalah suara yang membela untuk Palestina, mengecam "kekejaman" Israel, dan menyebut apa yang tidak ingin diakui orang lain - sebuah kompas moral langka di dunia yang memalingkan wajahnya ketika seharusnya memberikan perhatian.

🔗

Ruang air mata

Namun sebelum paus baru muncul di hadapan dunia, ia akan dibawa ke sebuah ruangan kecil di samping Kapel Sistina — sala delle lacrime, ruang air mata.

Di sanalah kesadaran itu akan menghantam. Selalu begitu.

Karena mengenakan jubah putih bukan sekadar soal pakaian. Itu tentang memikul beban kemanusiaan. Kepedihan dunia. Luka-luka. Intrik politik. Skandal. Perang. Dan tetap, percaya pada belas kasih.

Ia mungkin akan menangis. Atau duduk dalam diam. Atau berdoa.
Lalu, ia akan keluar — berpakaian putih.

Warisan yang ditinggalkan Fransiskus

Paus Fransiskus bukanlah sosok dari marmer. Ia adalah daging dan darah. Seorang putra imigran asal Argentina. Seorang Yesuit yang pernah menyapu lantai dan naik bus umum. Ia menolak gelar-gelar mulia. Ia menyambut presiden dan narapidana dengan kehangatan yang sama.

Aku pernah melihatnya sekali — di Abu Dhabi, tahun 2019. Kota itu berkilau oleh kaca dan ambisi. Dan di sanalah ia, kecil secara fisik, berpakaian putih sederhana, melambaikan tangan lembut dari sebuah mobil biasa. Sebuah keheningan dalam gerak. Di tanah penuh kemegahan, ia membawa jeda.

Seolah mengingatkan kerumunan yang beraroma parfum — dan diriku — bahwa kuasa bisa berlutut, dan kesucian bisa berbisik. Aku ingat berpikir: inilah wajah kesederhanaan ketika ia berjalan tanpa gentar.

Di lain waktu, ia berdiri di antara para pengungsi Rohingya di Bangladesh dan mengucapkan kata yang terlarang — "Rohingya" — yang enggan diucapkan oleh para penguasa. Ia membuka Gereja untuk pertanyaan, perdebatan, dan mereka yang selama ini tersingkir.

Dan ia tak pernah menolehkan wajah dari Gaza. Sebidang tanah sempit penuh nestapa. Anak-anaknya ia bawa dalam doa, sering ia sebut dalam pidato. Saat bom berjatuhan, ia menyerukan keheningan — bukan hanya senjata yang harus diam, tapi juga sikap masa bodoh.

Sering dicemooh oleh sayap kanan, dan tak jarang disalahpahami oleh kiri, Paus tetap melangkah. Menuju pinggiran. Selalu ke sana.

Apa yang akan datang

Konklaf akan menentukan masa depan. Mungkin kelanjutan. Mungkin perubahan arah.

Namun Fransiskus telah menanam benih. Benih kesederhanaan. Benih kasih.

Dan lama setelah asap putih memudar, dan sebuah nama baru terdengar dari balkon Romawi kuno itu, dunia akan mengenangnya — bukan sekadar sebagai reformis atau pembangkang — tapi sebagai seorang saksi.

Seorang yang terus mengingatkan kita siapa dirinya — dengan suara lembut, keras kepala, dan penuh kasih — sahabat bagi mereka yang tertindas, miskin, dan tak bersuara.

Bagi rakyat Palestina, para pengungsi, dan mereka yang hidup di pinggiran dunia.

SUMBER:TRT World
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us