KONFLIK ISRAEL-IRAN
5 menit membaca
Bermain api nuklir: Mungkinkah gencatan senjata cegah bencana ala Chernobyl di Timur Tengah?
Serangan terbaru terhadap situs nuklir Iran telah membawa Timur Tengah ke ambang bencana. Gencatan senjata mungkin dapat menghentikan serangan, tetapi risiko dan potensi eskalasi masih tetap ada.
Bermain api nuklir: Mungkinkah gencatan senjata cegah bencana ala Chernobyl di Timur Tengah?
Tanda radiasi di dekat Chernobyl berdiri sebagai pengingat suram akan bencana nuklir. / AP
24 Juni 2025

Pada 13 Juni, Israel melancarkan serangan militer sepihak ke wilayah Iran. Dalam beberapa hari berikutnya, serangan diarahkan secara berulang ke infrastruktur nuklir Iran. Sembilan hari kemudian, Amerika Serikat ikut serta lewat Operasi Midnight Hammer, menargetkan tiga fasilitas nuklir utama Iran: Natanz, Isfahan, dan Fordow. Serangkaian serangan ini memicu ketakutan akan bencana nuklir besar-besaran dengan dampak yang bisa melampaui kawasan.

Setelah serangan AS, Rafael Mariano Grossi, Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA), mengadakan pertemuan darurat dewan, menyebut situasi ini sebagai “sangat mendesak.” Ia menegaskan kembali prinsip hukum internasional yang telah lama dipegang: “Fasilitas nuklir tidak boleh menjadi sasaran serangan.”

Kini, setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan “berakhirnya perang 12 hari,” sebuah jeda rapuh tercipta. Namun, tanpa adanya kesepakatan damai yang mengikat atau mekanisme akuntabilitas, gencatan senjata ini mungkin hanya menunda eskalasi, bukan mencegahnya.

Strategi militer AS-Israel dalam konflik singkat namun intens ini berisiko menimbulkan konsekuensi bencana—termasuk bagi Israel sendiri. Potensi kontaminasi luas, kerusakan lingkungan, dan ketidakstabilan kawasan adalah ancaman yang sangat nyata.

Para ahli memperingatkan bahwa bahaya belum usai. Situs nuklir Iran, yang menyimpan hampir 400 kilogram uranium yang telah diperkaya, masih rentan. Meski fasilitas pengayaan seperti Natanz dan Fordow terletak di bawah tanah dan relatif terlindungi, serangan langsung ke reaktor nuklir—terutama di Bushehr atau Pusat Riset Nuklir Teheran—dapat menimbulkan dampak yang jauh lebih parah.

Dalam skenario semacam itu, paparan radiasi lokal dapat memaksa evakuasi massal, mencemari pasokan makanan, dan menimbulkan krisis kesehatan masyarakat sebagaimana terjadi usai bencana Chernobyl pada 1986 yang merenggut banyak nyawa dan menjadikan wilayah luas tak layak huni.

Bushehr: Chernobyl Timur Tengah?

IAEA maupun negara tetangga seperti Arab Saudi belum melaporkan adanya lonjakan radiasi sejak serangan terbaru AS.

Para ahli sejauh ini menilai bahwa serangan Israel belum menimbulkan risiko kontaminasi yang besar. Namun, bayang-bayang serangan ke Bushehr—satu-satunya pembangkit listrik tenaga nuklir aktif Iran—menghadirkan skenario yang jauh lebih mengkhawatirkan.

Alexey Likhachev, kepala badan nuklir Rusia Rosatom, memperingatkan bahwa serangan ke reaktor aktif seperti Bushehr bisa memicu bencana setara dengan Chernobyl.

Bushehr, reaktor berkapasitas 1.000 megawatt, mulai dibangun oleh perusahaan Jerman pada 1975, terhenti setelah Revolusi 1979, dan kemudian diselesaikan oleh insinyur Rusia pada 2013. Menariknya, Bushehr selama ini relatif terhindar dari sengketa nuklir Barat-Iran karena siklus bahan bakarnya dikelola oleh Rusia.

Presiden Vladimir Putin baru-baru ini mengonfirmasi bahwa 250 teknisi Rusia saat ini bekerja di fasilitas tersebut.

Juru bicara militer Israel sempat mengklaim bahwa Bushehr telah diserang, namun kemudian menarik kembali pernyataan itu. Ambiguitas ini menimbulkan kekhawatiran besar.

Sementara dunia mengecam militerisasi pembangkit nuklir Zaporizhzhia oleh Rusia di Ukraina, aksi Israel di Iran sejauh ini tak memicu respons internasional setegas itu.

Standar ganda ini menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi kebijakan nuklir global dan kemauan negara-negara Barat untuk meminta pertanggungjawaban sekutunya.

Arsenal bayangan Israel

Israel selama ini menjalankan kebijakan “ambiguitas nuklir”—tidak pernah mengakui atau membantah memiliki senjata nuklir. Namun, secara luas diyakini Israel memiliki 80 hingga 400 hulu ledak nuklir. Sebagai negara non-penandatangan Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT), arsenal tak resminya menjadi perhatian internasional.

Pada 2023, Amichai Eliyahu—menteri dari Partai Otzma Yehudit yang tergabung dalam pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu—sempat menyatakan bahwa menjatuhkan bom nuklir di Gaza adalah “salah satu kemungkinan.”

Meski segera dibantah pejabat Israel lainnya, pernyataan itu menunjukkan adanya kalangan yang bersedia mempertimbangkan penggunaan senjata nuklir, terutama dalam kondisi geopolitik ekstrem seperti saat ini.

Jika skenario terburuk terjadi

Bencana nuklir di Bushehr, atau fasilitas nuklir Iran lainnya, akan mengguncang seluruh Timur Tengah. Korban jiwa dari paparan radiasi bisa mencapai ratusan ribu. Dampak lingkungan pun akan berlangsung dalam jangka panjang.

Ancaman lain adalah pelepasan gas uranium heksafluorida secara tidak sengaja. Jika gas ini bereaksi dengan air, akan terbentuk asam hidrofluorat—zat sangat beracun yang berbahaya bagi pekerja dan masyarakat sekitar.

Negara-negara Teluk telah menyuarakan kekhawatiran karena Bushehr lebih dekat ke ibu kota Arab yang menjadi sekutu AS ketimbang ke Teheran sendiri.

Dewan Kerja Sama Teluk (GCC)—yang mencakup Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab—telah mengaktifkan Pusat Manajemen Darurat di Kuwait untuk menyusun dan menerapkan “langkah-langkah pencegahan” di bidang lingkungan dan radiasi.

Qatar, seperti sebagian besar negara Teluk lainnya, sepenuhnya bergantung pada air hasil desalinasi. Tanpa sumber air alami, gangguan pada sistem desalinasi bisa menimbulkan krisis air. PM Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani, memperingatkan bahwa kebocoran radioaktif bisa mencemari air minum seluruh kawasan dalam waktu 72 jam.

Di Oman, warga mulai menyebarkan panduan kesiapsiagaan nuklir lewat aplikasi perpesanan, seperti menyarankan untuk berlindung di ruangan tertutup tanpa jendela dan menutup ventilasi udara. Bahrain disebut telah menyiapkan 33 tempat penampungan darurat dan menggelar uji sirene di seluruh negeri.

Serangan terhadap situs nuklir di bawah pengawasan IAEA bisa melemahkan kepercayaan terhadap rezim non-proliferasi internasional. Negara-negara non-nuklir mungkin akan menyimpulkan bahwa kerja sama dengan badan pengawas global tidak memberikan perlindungan nyata, apalagi ketika anggota tetap Dewan Keamanan PBB pun mengabaikan norma tersebut. Hal ini berpotensi melemahkan upaya transparansi dan pengendalian nuklir selama puluhan tahun terakhir.

Dampak ekonomi pun tak kalah besar. Selat Hormuz—jalur bagi 26 persen ekspor minyak global dan seperlima pasokan LNG dunia—berada tepat di jalur konflik. Gangguan apa pun bisa memicu lonjakan harga minyak global, bahkan diperkirakan bisa menyentuh $350 per barel, mengguncang pasar dunia dalam semalam.

Serangan Israel ke fasilitas nuklir Iran telah membawa kawasan ke tepi jurang. Meski gencatan senjata memberikan kelegaan sementara, dunia tak bisa kembali lengah. Ambiguitas, standar ganda, dan ketiadaan akuntabilitas masih membayangi.

Kita sudah melihat seberapa dekat kawasan ini ke bencana nuklir. Risikonya masih nyata. Ambiguitas strategis harus digantikan dengan transparansi. Agresi harus diganti dengan diplomasi. Dan kekuatan besar dunia harus tunduk pada standar yang sama yang mereka tuntut dari negara lain. Aksi internasional kini bukan lagi pilihan. Ini sebuah keharusan.

SUMBER:TRT World
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us